Quote:JAKARTA. Penetapan dua orang pegawai negeri sipil (PNS) DKI Jakarta sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada kasus pengadaan bus Transjakarta dan bus kota terintegrasi busway (BKTB) berkarat memunculkan berbagai spekulasi.
Koordinator Traffic Demand Management (TDM), Ahmad Syafrudin, mengatakan kasus tersebut tidak lepas dari kebijakan hulu. Menurut dia, dokumen pengadaan barang dan jasa yang bernilai di atas Rp 1 triliun pasti diketahui Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. "Tidak mungkin proses tender sebesar itu tidak diketahui gubernur dan wakil gubernur," kata pria yang akrab disapa Puput itu kepada wartawan di Jakarta, Minggu (30/3/2014).
Pengadaan bus Transjakarta dan BKTB sebagai salah satu program unggulan ibu kota seharusnya mendapat pengawasan intensif dari pimpinan daerah. Puput menjelaskan, apabila ada tim pengawas maupun gubernur dan wakil gubernur yang mengawasi proses pengadaan bus, mulai dari kegiatan lelang tender, maka tidak akan ada komponen bus yang berkarat.
Ia menengarai Jokowi-Basuki sengaja melakukan pembiaran proses tender berjalan begitu saja. Dengan itu, maka ada pembiaran terjadinya pelanggaran hukum.
Target pengadaan bus itu terbilang cepat dengan jumlah bus yang fantastis pula. Tahun ini, Jokowi-Basuki menargetkan pengadaan Transjakarta hingga 1.000 unit dan BKTB 3.000 unit. Dengan keadaan yang terdesak itu, proses pengadaan bus tidak sempurna dan terjadi penyalahgunaan anggaran.
Anggaran pengadaan bus itu, kata Puput, mencapai 2 persen dari total APBD DKI 2013, yang mencapai Rp 50,1 triliun.
Ia mengimbau Kejagung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyidik lebih dalam kasus tersebut. Sebab, di balik DA dan ST (dua tersangka) ada yang lebih mendapat keuntungan dari persoalan ini.
Hal senada disampaikan Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi. Ia menilai kasus korupsi yang nilainya lebih dari Rp 1 triliun tidak mungkin hanya dilakukan pejabat eselon III. Pihak agen tunggal pemegang merek (ATPM) dan makelar proyek yang sebelumnya mengaku sebagai tim sukses Jokowi juga harus diperiksa. Bahkan, Uchok menyebut dua tersangka itu sebagai "boneka" saja.
"Bukan mereka yang mendesain korupsi, malah cuma jadi kambing hitam saja. Kalau Kejagung hanya menetapkan mereka bedua sebagai tersangka, seolah-olah Kejagung bermain mata dan melepas kasus itu," kata Uchok.
Uchok lebih menunggu hasil penyidikan KPK. Sebab, kasus yang selama ini ditangani oleh Kejagung, banyak intervensi politiknya. Kasus ini mestinya tidak hanya berhenti di Dinas Perhubungan DKI saja. Soanya, pengadaan ribuan bus itu telah dirancang di DPRD DKI, bersama satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, serta para pengusaha. (Kurnia Sari Aziza)
sumber/
Koordinator Traffic Demand Management (TDM), Ahmad Syafrudin, mengatakan kasus tersebut tidak lepas dari kebijakan hulu. Menurut dia, dokumen pengadaan barang dan jasa yang bernilai di atas Rp 1 triliun pasti diketahui Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. "Tidak mungkin proses tender sebesar itu tidak diketahui gubernur dan wakil gubernur," kata pria yang akrab disapa Puput itu kepada wartawan di Jakarta, Minggu (30/3/2014).
Pengadaan bus Transjakarta dan BKTB sebagai salah satu program unggulan ibu kota seharusnya mendapat pengawasan intensif dari pimpinan daerah. Puput menjelaskan, apabila ada tim pengawas maupun gubernur dan wakil gubernur yang mengawasi proses pengadaan bus, mulai dari kegiatan lelang tender, maka tidak akan ada komponen bus yang berkarat.
Ia menengarai Jokowi-Basuki sengaja melakukan pembiaran proses tender berjalan begitu saja. Dengan itu, maka ada pembiaran terjadinya pelanggaran hukum.
Target pengadaan bus itu terbilang cepat dengan jumlah bus yang fantastis pula. Tahun ini, Jokowi-Basuki menargetkan pengadaan Transjakarta hingga 1.000 unit dan BKTB 3.000 unit. Dengan keadaan yang terdesak itu, proses pengadaan bus tidak sempurna dan terjadi penyalahgunaan anggaran.
Anggaran pengadaan bus itu, kata Puput, mencapai 2 persen dari total APBD DKI 2013, yang mencapai Rp 50,1 triliun.
Ia mengimbau Kejagung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyidik lebih dalam kasus tersebut. Sebab, di balik DA dan ST (dua tersangka) ada yang lebih mendapat keuntungan dari persoalan ini.
Hal senada disampaikan Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi. Ia menilai kasus korupsi yang nilainya lebih dari Rp 1 triliun tidak mungkin hanya dilakukan pejabat eselon III. Pihak agen tunggal pemegang merek (ATPM) dan makelar proyek yang sebelumnya mengaku sebagai tim sukses Jokowi juga harus diperiksa. Bahkan, Uchok menyebut dua tersangka itu sebagai "boneka" saja.
"Bukan mereka yang mendesain korupsi, malah cuma jadi kambing hitam saja. Kalau Kejagung hanya menetapkan mereka bedua sebagai tersangka, seolah-olah Kejagung bermain mata dan melepas kasus itu," kata Uchok.
Uchok lebih menunggu hasil penyidikan KPK. Sebab, kasus yang selama ini ditangani oleh Kejagung, banyak intervensi politiknya. Kasus ini mestinya tidak hanya berhenti di Dinas Perhubungan DKI saja. Soanya, pengadaan ribuan bus itu telah dirancang di DPRD DKI, bersama satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, serta para pengusaha. (Kurnia Sari Aziza)
sumber/