Nah, ini gan, nemu artikel cakep. Dunia telekomunikasi di Indonesia bisa jadi belum aman dari penafsiran Hukum. Sebagai salah satu dari sekitar 300 ISP yang menggunakan pola bisnis yang sama, IM2 dihukum dalam kerjasama penggunaan jaringan 2,1 GHz/3G. Coba liat artikelnya Arman Dhani ini:
Balada Kasus Hukum IM2
Unjuk rasa para karyawan Indosat Mega Media untuk pembebasan Indar Atmanto/ANTARA FOTO
Kriminalisasi dan ancaman hukum mengintai orang tak bersalah dan investor di Indonesia.
Pengusaha dan investor industri berbasis internet di Indonesia dibuat resah oleh kasus yang menimpa Indosat Mega Media (IM2). Tak hanya itu, kasus ini sampai menarik perhatian dunia, bahkan New York Times menjadikannya sebagai berita utama. Kasus ini menjadi pertimbangan dan kegelisahan banyak pihak, karena diwarnai banyak kejanggalan.
Seperti diketahui, IM2 menjalankan bisnisnya dengan menyewa bandwidth 3G ke operator Indosat. Tindakan itu dianggap korupsi oleh kejaksaan. Akibatnya, Direktur Utama IM2, Indar Atmanto, dijatuhi hukuman 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dia ditetapkan bersalah dalam pengadaan jaringan 2,1 GHz/3G di Indosat.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyatakan kasus ini jelas mengganggu iklim investasi di Indonesia. Bahkan tidak mustahil kasus ini bisa menimpa 300-an ISP (penyelenggara layanan internet) lainnya. Tak heran, bersama Pengelola Nama Domain Indonesia (Pandi) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, APJII berniat untuk mematikan layanan internet.
Jika dicermati, kerja sama sejenis yang mereka lakukan dan output-nya mendapat sambutan luas dari masyarakat. Kerja sama tersebut juga berhasil meningkatkan penetrasi layanan internet di Indonesia.
Kasus yang menyangkut Indar Atmanto adalah kasus tentang kesimpangsiuran pemahaman hukum di Indonesia terkait jaringan internet. Indar Atmanto dituduh menyalahgunakan kebijakan yang merugikan negara Rp 1,36 triliun dan didakwa melakukan korupsi. Pihak Indar Atmanto mengatakan, kerja sama Indosat dan IM2 adalah penggunaan jaringan telekomunikasi, bukan frekuensi. Jadi, tuduhan merugikan negara itu tak beralasan.
Dalam persidangan sejumlah saksi dan ahli telah menyampaikan pendapat bahwa perjanjian kerja sama yang dilakukan antara IM2 dan Indosat adalah perjanjian untuk menggunakan jaringan Indosat dan bukan frekuensi Indosat. Alasannya terang benderang: sebagai penyelenggara layanan internet, IM2 memang tidak memiliki jaringan.
Sejumlah pihak menyesali dakwaan korupsi yang menimpa Indar Atmanto. Sebab, tuduhan yang diimpakan pada Indar tak beralasan. "Kami sangat prihatin atas nasib yang menimpa Indar Atmanto. Sudah lima bulan lebih dia berada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin atas tuduhan korupsi yang tak pernah dilakukannya," kata Ketua Umum APJII Sammy Pangarepan.
Karena itu, APJII meminta agar Indar dibebaskan melalui mekanisme peninjauan kembali (PK). "Dua putusan Mahkamah Agung atas kasus IM2 saling bertentangan," kata Sammy.
Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin menjelaskan kejanggalan-kejanggalan kasus IM2 dalam perkara No.01/pid.Sus/2013/PN.JKT.PST dengan dua putusan MA yang berbeda. Nawawi menunjuk putusan majelis hakim yang mengesampingkan posisi Menteri Komunikasi dan Informasi sebagai pejabat negara yang berdasarkan undang-undang bertanggung jawab atas sektor telekomunikasi.
Kedua putusan MA yang saling bertentangan itu adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan melakukan upaya kasasi terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, namun ditolak.
Surat Deputi Kepala BPKP dan audit Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan yang dilakukan BPKP dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan oleh putusan PTUN. Laporan audit ini sebelumnya dijadikan dasar oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan ada unsur kerugian negara.
Kasasi yang diajukan BPKP untuk mencoba menggugat putusan PTUN tersebut telah ditolak MA, sehingga bukti yang menjadi dasar kerugian negara pada kasus IM2 yang disebut Rp 1,3 triliun jelas batal demi hukum.
Kedua, majelis hakim keliru menerapkan asas hukum. Pelanggaran Pasal 34 UU Nomor 36 Tahun 1999, sebagaimana didakwakan, jika konsisten sanksinya adalah bersifat administratif (Pasal 45 dan 46), bukan tindak pidana korupsi. Jadi, putusan terhadap terdakwa bertentangan dengan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Menurut R Wiyono SH, UU Tipikor hanya dapat digunakan jika ada ketentuan tegas yang menyatakan pelanggaran yang terdapat dalam undang-undang lain tersebut merupakan tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, pasal yang juga dituduhkan terhadap Indar adalah Pasal 17 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 yang tidak memiliki sanksi pidana. Dalam putusan MA, pelanggaran Pasal 34 UU Nomor 36 Tahun 1999 tidak muncul lagi.
Alhasil, putusan terhadap terdakwa bertentangan dengan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sebab, UU Nomor 36 Tahun 1999 tidak pernah menyatakan, baik secara ekspisit maupun implisit, jika ada pelanggaran terhadap undang-undang tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran UU Tipikor.
Hal senada dikatakan Andi Hamzah, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta. "Adanya dua putusan kasasi Mahkamah Agung yang saling bertentangan terhadap mantan Dirut IM2, fakta hukum ini menjadi bekal untuk mengajukan PK," kata Andi.
Peninjauan kembali ini penting agar ada jalan keluar bagi kepastian hukum dunia usaha dan keadilan bagi Indar Atmanto. "Sebab, Indar divonis atas sesuatu yang tidak didakwakan dan dia tidak memperkaya diri sendiri, tidak dijatuhi uang pengganti, tetapi divonis korupsi."
PK menjadi penting karena putusan Mahkamah Agung Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan BPKP atas putusan PTUN perkara IM2 yang menyatakan laporan BPKP, tidak boleh digunakan. Artinya, tuduhan bahwa Indar membuat kerugian negara senilai Rp 1,3 triliun sudah patah.
Dengan putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut, alat bukti yang digunakan Pengadilan Tipikor dalam semua tingkatan sebagai dasar perhitungan unsur kerugian negara tak berkekuatan hukum lagi dan tak dapat digunakan.
Franky Sibarani, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, menyebutkan contoh kasus yang menimpa IM2 dan Chevron. Dia meminta aparat penegak hukum segera menyelesaikan kasus yang menimpa beberapa investor asing yang sudah menanamkan modal sesuai aturan dan regulasi di Indonesia. Tujuannya, untuk menjaga iklim investasi yang kondusif. Penyelesaian kasus hukum ini penting bagi investor sebagai jaminan iklim kepastian berinvestasi di Indonesia.
"Sebaiknya hal ini segera diputuskan bila memang tak ada ketentuan kebijakan atau undang-undang yang dilanggar," kata Franky.
SUMBER (geotimes.co.id)
Serem juga kalo gini ceritanya
Link: http://adf.ly/1G5Skg
Balada Kasus Hukum IM2
Unjuk rasa para karyawan Indosat Mega Media untuk pembebasan Indar Atmanto/ANTARA FOTO
Kriminalisasi dan ancaman hukum mengintai orang tak bersalah dan investor di Indonesia.
Pengusaha dan investor industri berbasis internet di Indonesia dibuat resah oleh kasus yang menimpa Indosat Mega Media (IM2). Tak hanya itu, kasus ini sampai menarik perhatian dunia, bahkan New York Times menjadikannya sebagai berita utama. Kasus ini menjadi pertimbangan dan kegelisahan banyak pihak, karena diwarnai banyak kejanggalan.
Seperti diketahui, IM2 menjalankan bisnisnya dengan menyewa bandwidth 3G ke operator Indosat. Tindakan itu dianggap korupsi oleh kejaksaan. Akibatnya, Direktur Utama IM2, Indar Atmanto, dijatuhi hukuman 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dia ditetapkan bersalah dalam pengadaan jaringan 2,1 GHz/3G di Indosat.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyatakan kasus ini jelas mengganggu iklim investasi di Indonesia. Bahkan tidak mustahil kasus ini bisa menimpa 300-an ISP (penyelenggara layanan internet) lainnya. Tak heran, bersama Pengelola Nama Domain Indonesia (Pandi) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, APJII berniat untuk mematikan layanan internet.
Jika dicermati, kerja sama sejenis yang mereka lakukan dan output-nya mendapat sambutan luas dari masyarakat. Kerja sama tersebut juga berhasil meningkatkan penetrasi layanan internet di Indonesia.
Kasus yang menyangkut Indar Atmanto adalah kasus tentang kesimpangsiuran pemahaman hukum di Indonesia terkait jaringan internet. Indar Atmanto dituduh menyalahgunakan kebijakan yang merugikan negara Rp 1,36 triliun dan didakwa melakukan korupsi. Pihak Indar Atmanto mengatakan, kerja sama Indosat dan IM2 adalah penggunaan jaringan telekomunikasi, bukan frekuensi. Jadi, tuduhan merugikan negara itu tak beralasan.
Dalam persidangan sejumlah saksi dan ahli telah menyampaikan pendapat bahwa perjanjian kerja sama yang dilakukan antara IM2 dan Indosat adalah perjanjian untuk menggunakan jaringan Indosat dan bukan frekuensi Indosat. Alasannya terang benderang: sebagai penyelenggara layanan internet, IM2 memang tidak memiliki jaringan.
Sejumlah pihak menyesali dakwaan korupsi yang menimpa Indar Atmanto. Sebab, tuduhan yang diimpakan pada Indar tak beralasan. "Kami sangat prihatin atas nasib yang menimpa Indar Atmanto. Sudah lima bulan lebih dia berada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin atas tuduhan korupsi yang tak pernah dilakukannya," kata Ketua Umum APJII Sammy Pangarepan.
Karena itu, APJII meminta agar Indar dibebaskan melalui mekanisme peninjauan kembali (PK). "Dua putusan Mahkamah Agung atas kasus IM2 saling bertentangan," kata Sammy.
Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin menjelaskan kejanggalan-kejanggalan kasus IM2 dalam perkara No.01/pid.Sus/2013/PN.JKT.PST dengan dua putusan MA yang berbeda. Nawawi menunjuk putusan majelis hakim yang mengesampingkan posisi Menteri Komunikasi dan Informasi sebagai pejabat negara yang berdasarkan undang-undang bertanggung jawab atas sektor telekomunikasi.
Kedua putusan MA yang saling bertentangan itu adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan melakukan upaya kasasi terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, namun ditolak.
Surat Deputi Kepala BPKP dan audit Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan yang dilakukan BPKP dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan oleh putusan PTUN. Laporan audit ini sebelumnya dijadikan dasar oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan ada unsur kerugian negara.
Kasasi yang diajukan BPKP untuk mencoba menggugat putusan PTUN tersebut telah ditolak MA, sehingga bukti yang menjadi dasar kerugian negara pada kasus IM2 yang disebut Rp 1,3 triliun jelas batal demi hukum.
Kedua, majelis hakim keliru menerapkan asas hukum. Pelanggaran Pasal 34 UU Nomor 36 Tahun 1999, sebagaimana didakwakan, jika konsisten sanksinya adalah bersifat administratif (Pasal 45 dan 46), bukan tindak pidana korupsi. Jadi, putusan terhadap terdakwa bertentangan dengan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Menurut R Wiyono SH, UU Tipikor hanya dapat digunakan jika ada ketentuan tegas yang menyatakan pelanggaran yang terdapat dalam undang-undang lain tersebut merupakan tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, pasal yang juga dituduhkan terhadap Indar adalah Pasal 17 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 yang tidak memiliki sanksi pidana. Dalam putusan MA, pelanggaran Pasal 34 UU Nomor 36 Tahun 1999 tidak muncul lagi.
Alhasil, putusan terhadap terdakwa bertentangan dengan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sebab, UU Nomor 36 Tahun 1999 tidak pernah menyatakan, baik secara ekspisit maupun implisit, jika ada pelanggaran terhadap undang-undang tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran UU Tipikor.
Hal senada dikatakan Andi Hamzah, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta. "Adanya dua putusan kasasi Mahkamah Agung yang saling bertentangan terhadap mantan Dirut IM2, fakta hukum ini menjadi bekal untuk mengajukan PK," kata Andi.
Peninjauan kembali ini penting agar ada jalan keluar bagi kepastian hukum dunia usaha dan keadilan bagi Indar Atmanto. "Sebab, Indar divonis atas sesuatu yang tidak didakwakan dan dia tidak memperkaya diri sendiri, tidak dijatuhi uang pengganti, tetapi divonis korupsi."
PK menjadi penting karena putusan Mahkamah Agung Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan BPKP atas putusan PTUN perkara IM2 yang menyatakan laporan BPKP, tidak boleh digunakan. Artinya, tuduhan bahwa Indar membuat kerugian negara senilai Rp 1,3 triliun sudah patah.
Dengan putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut, alat bukti yang digunakan Pengadilan Tipikor dalam semua tingkatan sebagai dasar perhitungan unsur kerugian negara tak berkekuatan hukum lagi dan tak dapat digunakan.
Franky Sibarani, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, menyebutkan contoh kasus yang menimpa IM2 dan Chevron. Dia meminta aparat penegak hukum segera menyelesaikan kasus yang menimpa beberapa investor asing yang sudah menanamkan modal sesuai aturan dan regulasi di Indonesia. Tujuannya, untuk menjaga iklim investasi yang kondusif. Penyelesaian kasus hukum ini penting bagi investor sebagai jaminan iklim kepastian berinvestasi di Indonesia.
"Sebaiknya hal ini segera diputuskan bila memang tak ada ketentuan kebijakan atau undang-undang yang dilanggar," kata Franky.
SUMBER (geotimes.co.id)
Serem juga kalo gini ceritanya
Link: http://adf.ly/1G5Skg