Pengusaha Keluhkan Mahalnya SNI
SEMARANG- Pengusaha menilai kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) membebani mereka dalam menghadapi persaingan dengan produk impor. Mereka mengeluhkan mahalnya biaya SNI.
Komite Tetap Pengembangan Teknologi Tepat Guna UKM Kadin Jateng, Yosi Yonardo mengatakan, kemampuan pengusaha terutama UMKM dalam permodalan sangat kurang, apalagi untuk mengurus SNI. Biaya mengurus SNI minimal Rp 50 juta, belum termasuk biaya alat laboratorium senilai Rp 60 juta yang wajib dimiliki tiap pengusaha.
"Biaya Rp 50 juta itu untuk pelatihan SNI. Kami harus mendatangkan pelatih dengan biaya sendiri dari Jakarta, itu belum termasuk akomodasi. Jadi untuk mengurus SNI butuh biaya Rp 100 juta-Rp 150 juta. Ini jelas memberatkan UMKM," katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) "Dampak Berlakunya SNI bagi Dunia Usaha Jawa Tengah" di Hotel Grand Candi Semarang, kemarin.
FGD dihadiri Kepala Pusat Standardisasi Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI) Kementerian Perindustrian Tony Th Sinambela, Wakil Ketua Bidang Perdagangan dan Pengembangan Produk Kadin Jateng Reza M Tarmizi, Endang (konsultan SNI), dan Subandi (Disperindag Jateng).
Keuntungan yang diperoleh pengusaha dari SNI adalah mutu produk yang berkualitas. Namun pengusaha justru menelan pil pahit, karena produk SNI yang mahal kalah bersaing dengan produk non-SNI yang murah.
"Dari segi penjualan, produk SNI kalah dengan barang yang tidak ber-SNI. Harga barang mereka lebih murah karena biaya produksinya tidak besar. Akhirnya dalam SNI berlaku seleksi alam," ujarnya.
Akses Pasar
Masih banyaknya barang non-SNI, karena mahalnya biaya pengurusan. Karena itu pemerintah diharapkan membiayai pengusaha mendapatkan SNI. "Seharusnya pemerintah merangkul pengusaha dengan memberikan fasilitasi pelatihan," tuturnya. Sementara itu Tony Sinambela mengatakan, SNI sebagai upaya mempertahankan eksistensi industri dalam negeri dan membuka akses pasar luar negeri. Namun SNI menemui berbagai kendala diantaranya soal biaya.
"Yang tadinya bahan baku tidak standar sekarang harus dibuat standar, belum lagi biaya sertifikasi dan alat laboratorium. Jelas ada kenaikan biaya produksi yang kemudian dibebankan pada konsumen," katanya.
WTO telah menetapkan sertifikasi produk harus sesuai dengan standar internasional. SNI sudah mengacu ke standar internasional, tapi fakta di lapangan SNI tidak laku di negara tujuan ekspor seperti Uni Eropa. "Akhirnya kita ambil tindakan sertifikat mereka tidak laku di Indonesa."
Karena itulah pemerintah kemudian melakukan perundingan perjanjinan perdagangan bebas Indonesia-Eropa yang sampai saat ini masih alot dibahas, agar kedua belah pihak saling mengakui sertifikasi.
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v2/index...n-Mahalnya-SNI
mahal amat ya urus sertifikat SNI
pengusaha kecil banyak yang nggak mampu
SEMARANG- Pengusaha menilai kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) membebani mereka dalam menghadapi persaingan dengan produk impor. Mereka mengeluhkan mahalnya biaya SNI.
Komite Tetap Pengembangan Teknologi Tepat Guna UKM Kadin Jateng, Yosi Yonardo mengatakan, kemampuan pengusaha terutama UMKM dalam permodalan sangat kurang, apalagi untuk mengurus SNI. Biaya mengurus SNI minimal Rp 50 juta, belum termasuk biaya alat laboratorium senilai Rp 60 juta yang wajib dimiliki tiap pengusaha.
"Biaya Rp 50 juta itu untuk pelatihan SNI. Kami harus mendatangkan pelatih dengan biaya sendiri dari Jakarta, itu belum termasuk akomodasi. Jadi untuk mengurus SNI butuh biaya Rp 100 juta-Rp 150 juta. Ini jelas memberatkan UMKM," katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) "Dampak Berlakunya SNI bagi Dunia Usaha Jawa Tengah" di Hotel Grand Candi Semarang, kemarin.
FGD dihadiri Kepala Pusat Standardisasi Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI) Kementerian Perindustrian Tony Th Sinambela, Wakil Ketua Bidang Perdagangan dan Pengembangan Produk Kadin Jateng Reza M Tarmizi, Endang (konsultan SNI), dan Subandi (Disperindag Jateng).
Keuntungan yang diperoleh pengusaha dari SNI adalah mutu produk yang berkualitas. Namun pengusaha justru menelan pil pahit, karena produk SNI yang mahal kalah bersaing dengan produk non-SNI yang murah.
"Dari segi penjualan, produk SNI kalah dengan barang yang tidak ber-SNI. Harga barang mereka lebih murah karena biaya produksinya tidak besar. Akhirnya dalam SNI berlaku seleksi alam," ujarnya.
Akses Pasar
Masih banyaknya barang non-SNI, karena mahalnya biaya pengurusan. Karena itu pemerintah diharapkan membiayai pengusaha mendapatkan SNI. "Seharusnya pemerintah merangkul pengusaha dengan memberikan fasilitasi pelatihan," tuturnya. Sementara itu Tony Sinambela mengatakan, SNI sebagai upaya mempertahankan eksistensi industri dalam negeri dan membuka akses pasar luar negeri. Namun SNI menemui berbagai kendala diantaranya soal biaya.
"Yang tadinya bahan baku tidak standar sekarang harus dibuat standar, belum lagi biaya sertifikasi dan alat laboratorium. Jelas ada kenaikan biaya produksi yang kemudian dibebankan pada konsumen," katanya.
WTO telah menetapkan sertifikasi produk harus sesuai dengan standar internasional. SNI sudah mengacu ke standar internasional, tapi fakta di lapangan SNI tidak laku di negara tujuan ekspor seperti Uni Eropa. "Akhirnya kita ambil tindakan sertifikat mereka tidak laku di Indonesa."
Karena itulah pemerintah kemudian melakukan perundingan perjanjinan perdagangan bebas Indonesia-Eropa yang sampai saat ini masih alot dibahas, agar kedua belah pihak saling mengakui sertifikasi.
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v2/index...n-Mahalnya-SNI
mahal amat ya urus sertifikat SNI
pengusaha kecil banyak yang nggak mampu