Siapa perancang lambang negara Indonesia Garuda Pancasila? Sejumlah pengamat menyebut nama Sultan Hamid II Alkadrie. Penguasa Kalimantan Barat pada masanya ini sangat berjasa, terutama dalam perjuangan diplomatik Indonesia. Namun sejarah �resmi� terkesan menutup-nutupinya.
MADINATULIMAN - Eksistensi Sultan Hamid II dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia nyaris tak terasa. Padahal, dialah deÂsainer lambang negara Indonesia, BuÂrung Garuda, biasa juga disebut â��Garuda Pancasilaâ��.
Meski sejarah menutup-nutupi, sumÂbangsih Sultan Hamid II selaku peranÂcang lambang negara Indonesia tersebut tak boleh dilupakan.
Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada sultan yang cerdas ini.
Begitulah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya menghiÂlangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang hanya karena adaÂnya perbedaan pandangan, seperti adaÂnya perbedaan visi seperti mengenai ideologi dan model atau bentuk negara, serta adanya pertentangan politik akibat perbedaan itu. Terutama jika bertenÂtangÂan dengan rezim yang berkuasa. BiasaÂnya, rezim yang berkuasalah yang meÂnenÂtukan seperti apa sejarah hendak diÂcatat dan diceritakan kepada generasi berikutnya.
Secara politik, sebenarnya tak ada alasan untuk menghalangi pengakuan terhadap hasil karya Sultan Hamid II. Namun entah kenapa hingga hari ini hal itu masih belum dapat terealisasikan.
Sultan Hamid II kadung dianggap seÂbagai tokoh makar. Namanya disudutkan, kariernya dihitamkan, padahal berkat karÂyanya dinding istana dan kantor-kantor peÂmerintahan di republik ini menjadi berÂwibawa dengan lambang Garuda PanÂcasila.
Namun jangan coba mencari lamÂbang Garuda di dinding Istana Kadriyah. Tak bakal ketemu. Sultan Hamid telah berwasiat kepada anak-cucunya agar tidak memajang lambang negara sebeÂlum negara mengakui hasil karyanya.
Menyambut Hari Kesaktian Pancasila 31 Oktober, ada baiknya kita sedikit menoleh ke belakang, mencari tahu salah satu babak penting dalam sejarah negeri tercinta.
SULTHAN YANG CERDAS
Adalah Turiman yang membuktikan kebenaran ini dalam tesis S-2 di PascaÂsarjana Ilmu Hukum Universitas IndoneÂsia pada 11 Agustus 1999 yang berjudul Sejarah Hukum Lambang Negara RepubÂlik Indonesia, Suatu Analisis Yuridis tenÂtang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan. Dalam tesisnya yang dibimbing oleh Prof. Dimyati HarÂtono, Turiman mempertahankan secara yuridis dengan data-data yang akurat mengenai siapa sebenarnya pencipta lambang negara Burung Garuda.
Sultan Hamid II, yang juga sultan kedelapan dari Kesultanan Kadriyah Pontianak, memiliki nama lengkap Abdurrahman Hamid Alkadrie. Putra Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan VII Kesultanan Pontianak, ini lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Ayahnya adalah pendiri kota Pontianak.
Sultan Hamid II dikenal cerdas. Ia adalah orang Indonesia pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda Belanda, semacam Akabri, dengan pangkat letnan dua infanteri pada 1936. Ia juga menjadi ajudan Ratu Juliana dengan pangkat terakhir mayor jenderal.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Setelah ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 ia diangkat menjadi sultan Pontianak, menggantikan ayahnya, dengan gelar Sultan Hamid II.
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, DenÂpasar, BFO, BFC, IJC, dan KMB di IndoÂnesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperÂoleh pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan menjadi orang IndoneÂsia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
MENGKOORDINASI KEGIATAN PERANCANGAN
Sultan Hamid adalah salah satu tokoh penting nasional dalam mendirikan ReÂpublik Indonesia bersama rekan seangÂkatannya, Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mr. Muhammad Roem, dan Muhammad Yamin.
Dalam sejarah pendirian RI, Sultan Hamid pernah menjadi ketua Delegasi BFO (Wakil Daerah/Negara buatan Belanda) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949. Ia juga menjadi saksi pelantikan SoekarÂno sebagai presiden RI di Keraton YogyaÂkarta pada 17 Desember 1949. Ini terlihat dalam foto yang dimuat di Buku 50 Tahun Indonesia Merdeka.
Sepak terjangnya di dunia politik menÂjadi salah satu alasan bagi Presiden SoeÂkarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai menteri negara zonder porto folio di Kabinet RIS 1949-1950.
Dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia yang dimuat dalam 50 Tahun Indonesia Merdeka disebutkan, pada 13 Juli1945, dalam Rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar, salah satu angÂgota Panitia, Parada Harahap, mengusulÂkan ihwal lambang negara. Pada 20 Desember 1949, berdasarÂkan Keputusan Presiden Republik IndoÂnesia Serikat NoÂmor 2 Tahun 1949, SulÂtan Hamid Alkadrie II diangkat sebagai menÂteri negara RIS. Dalam kedudukanÂnya ini, ia dipercaya oleh Presiden SukarÂno mengoordinasi keÂgiatan perancangan.
BHINNEKA TUNGGAL IKA
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) seÂwaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara disebutÂkan, â��ide perisai Pancasilaâ�� muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lamÂbang neÂgara. Ia teringat ucapan Presiden SoekarÂno bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, yang mana sila-sila dasar negara, yaitu PancaÂsila, diviÂsualisasikan dalam lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuklah Panitia Teknis dengan nama Panitia LenÂcana Negara di bawah koordinator MenÂteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar DewanÂtoro, M.A. Pellaupessy, Moh. Natsir, dan R.M. Ng. Purbatjaraka sebagai anggota.
Panitia ini bertugas menyeleksi usulÂan rancangan lambang negara untuk diÂpilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta daÂlam buku Bung Hatta Menjawab, untuk melaksanakan keputusan sidang kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara.
Terpilih dua rancangan lambang neÂgara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin.
Pada proses selanjutnya yang diteÂrima pemerintah dan DPR RIS adalah ranÂcangan Sultan Hamid II. Karya M. YaÂmin ditolak, karena menyertakan sinar-siÂnar matahari dan menampakkan peÂngaÂruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno, dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakuÂkan untuk keperluan penyempurnaan ranÂcangan itu. Terjadi kesepakatan meÂreka bertiga, mengganti pita yang diÂcengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih deÂngan menambahkan semboyan â��Bhineka Tunggal Ikaâ��.
KARYA ANAK BANGSA
Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II, diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk diÂpertimbangkan, karena adanya keberatÂan terhadap gambar burung garuda deÂngan tangan dan bahu manusia yang meÂmegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspiÂrasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. DiÂsingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian menyeÂrahkan rancangan tersebut kepada KaÂbinet RIS melalui Moh. Hatta sebagai perdana menteri.
A.G. Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI, menyebutkan, ranÂcangan lambang negara karya Sultan HaÂmid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS.
Ketika itu gambar bentuk kepala RajaÂwali Garuda Pancasila masih â��gundulâ�� dan â��tidak berjambulâ�� seperti bentuk sekaÂrang ini. Inilah karya kebangsaan anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II, menteri negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memÂperÂkenalkan untuk pertama kalinya lamÂbang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
BENTUK FINAL LAMBANG NEGARA
Penyempurnaan kembali lambang neÂgara itu terus diupayakan. Kepala buÂrung Rajawali Garuda Pancasila yang â��gunÂdulâ�� menjadi â��berjambulâ��. Bentuk caÂkar kaki yang mencengkeram pita, dari yang semula menghadap ke belakang menÂjadi menghadap ke depan, atas maÂsukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gamÂbar lambang negara yang telah diperÂbaiki mendapat disposisi Presiden SoeÂkarno, yang kemudian memerintahkan peÂlukis istana, Dullah, untuk melukis kemÂbali rancangan tersebut sesuai bentuk fiÂnal rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II, yang dipergunakan secara resÂmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu deÂngan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara, yang lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta, pada 18 Juli 1974.
Rancangan terakhir inilah yang menÂjadi lampiran resmi PP No. 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No. 66 Tahun 1951. Sedangkan lambang neÂgara yang ada disposisi Presiden SoeÂkarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap diÂsimpan oleh Keraton Kadriyah Pontianak.
Salah satu keistimewaan Garuda PanÂcasila terletak pada warna keemasÂannya, yang melambangkan cita-cita para perintis kemerdekaan untuk memÂbangun masyarakat adil dan makmur. Di negara lain, yang memakai sejenis lamÂbang garuda atau elang, biasanya berÂwarna hitam putih, sesuai warna burung tersebut di alam bebas.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di PeÂmakaman Keluarga Kesultanan PontiÂanak di Batulayang.
Jasa Sultan Hamid II lainnya yang terÂlupakan adalah peranannya dalam forum KMB, yang tidaklah semata-mata memÂperjuangkan BFO dan federalisme. KeÂsediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahÂannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat tidak terlepas dari keberhasilannya membujuk Ratu Yuliana, selaku ratu Belanda. Ini bukti kelihaian diplomasi dan kedekatan Sultan Hamid II, yang pernah menjadi ajudan atau pengawal Ratu Yuliana.
PENILAIAN KALANGAN AKADEMISI
Turiman, S.H. M.Hum., dosen FakulÂtas Hukum Universitas Tanjungpura PontiÂanak, yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar magister hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan, hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara.
�Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998 sampai 1999,� katanya.
Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan MasÂaÂgung Jakarta, Badan Arsip NasioÂnal, Pusat Sejarah ABRI, dan tidak ketingÂgalan Keluarga Istana Kadariyah PontiÂanak, adalah tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulÂkan bahan penulisan tesis yang diberinya judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI â�� Suatu Analisis Yuridis Normatif tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan.
Di hadapan dewan penguji, Prof. Dr. M. Dimyati Hartono, S.H. dan Prof. Dr. H. Azhary, S.H., ia berhasil mempertaÂhankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. â��Secara hukum, saya bisa membuktikan, mulai dari sketsa awal hingÂga sketsa akhir, Garuda Pancasila adaÂlah rancangan Sultan Hamid II,â�� katanya.
Hal yang sama juga pernah disuaraÂkan Sultan Syarif Abubakar Alkadrie, peÂmegang tampuk kekuasaan Istana Kadriyah Kesultanan Pontianak, yang menjadi ahli waris Sultan Hamid Alkadrie II. Menurutnya, negara pantas memberiÂkan penghargaan terbaik kepada almarÂhum Sultan Hamid Alkadrie II atas jasaÂnya menciptakan lambang negara BuÂrung Garuda. Penghargaan yang tepat adaÂlah pemberian gelar pahlawan nasioÂnal kepada Sultan Hamid Alkadrie II.
Untuk mengembalikan fakta sejarah yang sebenar-benarnya mengenai penÂcipÂta lambang negara Burung Garuda, pihak ahli waris dan pemerintah KalimanÂtan Barat serta Universitas Tanjungpura pernah menyelenggarakan seminar naÂsional di Pontianak. Ketua DPR Akbar Tandjung juga hadir dalam acara yang berlangsung pada 2 Juni 2000.
Saat itu, Akbar Tandjung, yang juga ketua umum Partai Golongan Karya, juga mengusulkan agar nama baik Sultan Hamid Alkadrie II dipulihkan dan diakui sebagai pencipta lambang negara. SaÂyangnya, usulan itu tak ada tindak lanjutÂnya hingga sekarang.
Sumber : http://www.madinatuliman.com/3/5/835-sejarah-penciptaan-lambang-garuda-pancasila-yang-terlupakan.html
MADINATULIMAN - Eksistensi Sultan Hamid II dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia nyaris tak terasa. Padahal, dialah deÂsainer lambang negara Indonesia, BuÂrung Garuda, biasa juga disebut â��Garuda Pancasilaâ��.
Meski sejarah menutup-nutupi, sumÂbangsih Sultan Hamid II selaku peranÂcang lambang negara Indonesia tersebut tak boleh dilupakan.
Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada sultan yang cerdas ini.
Begitulah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya menghiÂlangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang hanya karena adaÂnya perbedaan pandangan, seperti adaÂnya perbedaan visi seperti mengenai ideologi dan model atau bentuk negara, serta adanya pertentangan politik akibat perbedaan itu. Terutama jika bertenÂtangÂan dengan rezim yang berkuasa. BiasaÂnya, rezim yang berkuasalah yang meÂnenÂtukan seperti apa sejarah hendak diÂcatat dan diceritakan kepada generasi berikutnya.
Secara politik, sebenarnya tak ada alasan untuk menghalangi pengakuan terhadap hasil karya Sultan Hamid II. Namun entah kenapa hingga hari ini hal itu masih belum dapat terealisasikan.
Sultan Hamid II kadung dianggap seÂbagai tokoh makar. Namanya disudutkan, kariernya dihitamkan, padahal berkat karÂyanya dinding istana dan kantor-kantor peÂmerintahan di republik ini menjadi berÂwibawa dengan lambang Garuda PanÂcasila.
Namun jangan coba mencari lamÂbang Garuda di dinding Istana Kadriyah. Tak bakal ketemu. Sultan Hamid telah berwasiat kepada anak-cucunya agar tidak memajang lambang negara sebeÂlum negara mengakui hasil karyanya.
Menyambut Hari Kesaktian Pancasila 31 Oktober, ada baiknya kita sedikit menoleh ke belakang, mencari tahu salah satu babak penting dalam sejarah negeri tercinta.
SULTHAN YANG CERDAS
Adalah Turiman yang membuktikan kebenaran ini dalam tesis S-2 di PascaÂsarjana Ilmu Hukum Universitas IndoneÂsia pada 11 Agustus 1999 yang berjudul Sejarah Hukum Lambang Negara RepubÂlik Indonesia, Suatu Analisis Yuridis tenÂtang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan. Dalam tesisnya yang dibimbing oleh Prof. Dimyati HarÂtono, Turiman mempertahankan secara yuridis dengan data-data yang akurat mengenai siapa sebenarnya pencipta lambang negara Burung Garuda.
Sultan Hamid II, yang juga sultan kedelapan dari Kesultanan Kadriyah Pontianak, memiliki nama lengkap Abdurrahman Hamid Alkadrie. Putra Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan VII Kesultanan Pontianak, ini lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Ayahnya adalah pendiri kota Pontianak.
Sultan Hamid II dikenal cerdas. Ia adalah orang Indonesia pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda Belanda, semacam Akabri, dengan pangkat letnan dua infanteri pada 1936. Ia juga menjadi ajudan Ratu Juliana dengan pangkat terakhir mayor jenderal.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Setelah ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 ia diangkat menjadi sultan Pontianak, menggantikan ayahnya, dengan gelar Sultan Hamid II.
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, DenÂpasar, BFO, BFC, IJC, dan KMB di IndoÂnesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperÂoleh pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan menjadi orang IndoneÂsia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
MENGKOORDINASI KEGIATAN PERANCANGAN
Sultan Hamid adalah salah satu tokoh penting nasional dalam mendirikan ReÂpublik Indonesia bersama rekan seangÂkatannya, Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mr. Muhammad Roem, dan Muhammad Yamin.
Dalam sejarah pendirian RI, Sultan Hamid pernah menjadi ketua Delegasi BFO (Wakil Daerah/Negara buatan Belanda) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949. Ia juga menjadi saksi pelantikan SoekarÂno sebagai presiden RI di Keraton YogyaÂkarta pada 17 Desember 1949. Ini terlihat dalam foto yang dimuat di Buku 50 Tahun Indonesia Merdeka.
Sepak terjangnya di dunia politik menÂjadi salah satu alasan bagi Presiden SoeÂkarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai menteri negara zonder porto folio di Kabinet RIS 1949-1950.
Dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia yang dimuat dalam 50 Tahun Indonesia Merdeka disebutkan, pada 13 Juli1945, dalam Rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar, salah satu angÂgota Panitia, Parada Harahap, mengusulÂkan ihwal lambang negara. Pada 20 Desember 1949, berdasarÂkan Keputusan Presiden Republik IndoÂnesia Serikat NoÂmor 2 Tahun 1949, SulÂtan Hamid Alkadrie II diangkat sebagai menÂteri negara RIS. Dalam kedudukanÂnya ini, ia dipercaya oleh Presiden SukarÂno mengoordinasi keÂgiatan perancangan.
BHINNEKA TUNGGAL IKA
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) seÂwaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara disebutÂkan, â��ide perisai Pancasilaâ�� muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lamÂbang neÂgara. Ia teringat ucapan Presiden SoekarÂno bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, yang mana sila-sila dasar negara, yaitu PancaÂsila, diviÂsualisasikan dalam lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuklah Panitia Teknis dengan nama Panitia LenÂcana Negara di bawah koordinator MenÂteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar DewanÂtoro, M.A. Pellaupessy, Moh. Natsir, dan R.M. Ng. Purbatjaraka sebagai anggota.
Panitia ini bertugas menyeleksi usulÂan rancangan lambang negara untuk diÂpilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta daÂlam buku Bung Hatta Menjawab, untuk melaksanakan keputusan sidang kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara.
Terpilih dua rancangan lambang neÂgara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin.
Pada proses selanjutnya yang diteÂrima pemerintah dan DPR RIS adalah ranÂcangan Sultan Hamid II. Karya M. YaÂmin ditolak, karena menyertakan sinar-siÂnar matahari dan menampakkan peÂngaÂruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno, dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakuÂkan untuk keperluan penyempurnaan ranÂcangan itu. Terjadi kesepakatan meÂreka bertiga, mengganti pita yang diÂcengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih deÂngan menambahkan semboyan â��Bhineka Tunggal Ikaâ��.
KARYA ANAK BANGSA
Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II, diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk diÂpertimbangkan, karena adanya keberatÂan terhadap gambar burung garuda deÂngan tangan dan bahu manusia yang meÂmegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspiÂrasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. DiÂsingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian menyeÂrahkan rancangan tersebut kepada KaÂbinet RIS melalui Moh. Hatta sebagai perdana menteri.
A.G. Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI, menyebutkan, ranÂcangan lambang negara karya Sultan HaÂmid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS.
Ketika itu gambar bentuk kepala RajaÂwali Garuda Pancasila masih â��gundulâ�� dan â��tidak berjambulâ�� seperti bentuk sekaÂrang ini. Inilah karya kebangsaan anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II, menteri negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memÂperÂkenalkan untuk pertama kalinya lamÂbang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
BENTUK FINAL LAMBANG NEGARA
Penyempurnaan kembali lambang neÂgara itu terus diupayakan. Kepala buÂrung Rajawali Garuda Pancasila yang â��gunÂdulâ�� menjadi â��berjambulâ��. Bentuk caÂkar kaki yang mencengkeram pita, dari yang semula menghadap ke belakang menÂjadi menghadap ke depan, atas maÂsukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gamÂbar lambang negara yang telah diperÂbaiki mendapat disposisi Presiden SoeÂkarno, yang kemudian memerintahkan peÂlukis istana, Dullah, untuk melukis kemÂbali rancangan tersebut sesuai bentuk fiÂnal rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II, yang dipergunakan secara resÂmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu deÂngan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara, yang lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta, pada 18 Juli 1974.
Rancangan terakhir inilah yang menÂjadi lampiran resmi PP No. 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No. 66 Tahun 1951. Sedangkan lambang neÂgara yang ada disposisi Presiden SoeÂkarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap diÂsimpan oleh Keraton Kadriyah Pontianak.
Salah satu keistimewaan Garuda PanÂcasila terletak pada warna keemasÂannya, yang melambangkan cita-cita para perintis kemerdekaan untuk memÂbangun masyarakat adil dan makmur. Di negara lain, yang memakai sejenis lamÂbang garuda atau elang, biasanya berÂwarna hitam putih, sesuai warna burung tersebut di alam bebas.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di PeÂmakaman Keluarga Kesultanan PontiÂanak di Batulayang.
Jasa Sultan Hamid II lainnya yang terÂlupakan adalah peranannya dalam forum KMB, yang tidaklah semata-mata memÂperjuangkan BFO dan federalisme. KeÂsediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahÂannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat tidak terlepas dari keberhasilannya membujuk Ratu Yuliana, selaku ratu Belanda. Ini bukti kelihaian diplomasi dan kedekatan Sultan Hamid II, yang pernah menjadi ajudan atau pengawal Ratu Yuliana.
PENILAIAN KALANGAN AKADEMISI
Turiman, S.H. M.Hum., dosen FakulÂtas Hukum Universitas Tanjungpura PontiÂanak, yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar magister hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan, hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara.
�Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998 sampai 1999,� katanya.
Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan MasÂaÂgung Jakarta, Badan Arsip NasioÂnal, Pusat Sejarah ABRI, dan tidak ketingÂgalan Keluarga Istana Kadariyah PontiÂanak, adalah tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulÂkan bahan penulisan tesis yang diberinya judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI â�� Suatu Analisis Yuridis Normatif tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan.
Di hadapan dewan penguji, Prof. Dr. M. Dimyati Hartono, S.H. dan Prof. Dr. H. Azhary, S.H., ia berhasil mempertaÂhankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. â��Secara hukum, saya bisa membuktikan, mulai dari sketsa awal hingÂga sketsa akhir, Garuda Pancasila adaÂlah rancangan Sultan Hamid II,â�� katanya.
Hal yang sama juga pernah disuaraÂkan Sultan Syarif Abubakar Alkadrie, peÂmegang tampuk kekuasaan Istana Kadriyah Kesultanan Pontianak, yang menjadi ahli waris Sultan Hamid Alkadrie II. Menurutnya, negara pantas memberiÂkan penghargaan terbaik kepada almarÂhum Sultan Hamid Alkadrie II atas jasaÂnya menciptakan lambang negara BuÂrung Garuda. Penghargaan yang tepat adaÂlah pemberian gelar pahlawan nasioÂnal kepada Sultan Hamid Alkadrie II.
Untuk mengembalikan fakta sejarah yang sebenar-benarnya mengenai penÂcipÂta lambang negara Burung Garuda, pihak ahli waris dan pemerintah KalimanÂtan Barat serta Universitas Tanjungpura pernah menyelenggarakan seminar naÂsional di Pontianak. Ketua DPR Akbar Tandjung juga hadir dalam acara yang berlangsung pada 2 Juni 2000.
Saat itu, Akbar Tandjung, yang juga ketua umum Partai Golongan Karya, juga mengusulkan agar nama baik Sultan Hamid Alkadrie II dipulihkan dan diakui sebagai pencipta lambang negara. SaÂyangnya, usulan itu tak ada tindak lanjutÂnya hingga sekarang.
Sumber : http://www.madinatuliman.com/3/5/835-sejarah-penciptaan-lambang-garuda-pancasila-yang-terlupakan.html