MESKI hubungan diplomatik Indonesia- Jepang
sudah terjalin baik selama 55 tahun, ternyata
masih ada warga Jepang yang takut ke
Indonesia. Sabtu (14/9/2013) siang lalu,
misalnya, seorang pengunjung pameran
pariwisata internasional JATA Travel
Showcase 2013 secara tak langsung
mengungkapkan hal itu.
�Papa saya dulu ikut perang di Indonesia, tapi
dia enggak ikut nembak-nembak. Dia
meninggal di Halmahera (Maluku). Saya pengin
ke sana.... Tapi, kira-kira aman enggak ya?�
kata seorang pria berusia sekitar 70 tahun,
warga negara Jepang, dengan suara terbata-
bata, di Paviliun Indonesia, Tokyo Big Sight,
Tokyo, Jepang.
Melihat wajahnya yang begitu memelas,
Priscilla, dari Adventure Indonesia�biro
perjalanan pariwisata yang menawarkan paket
perjalanan ke sejumlah daerah di Nusantara
�langsung menenangkan hatinya. �Bapak
enggak perlu takut. Kalau memang ingin ke
sana, bisa hubungi kami nanti. Cukup urus
tiket perjalanan Tokyo-Jakarta pergi-pulang.
Untuk ke tempat pemakaman orangtua Bapak,
kami bisa bantu mengurusnya. Silakan hubungi
kami,� kata Priscilla meyakinkan, dengan
bahasa Jepang yang fasih.
Priscilla pun kemudian menjelaskan letak
Halmahera di peta dan bagaimana
mencapainya dari Jakarta. Setelah
mendapatkan penjelasan panjang lebar dan
mendapat alamat lengkap Adventure
Indonesia, sang kakek yang jalannya sudah
lamban itu pun kemudian mencoret-coret
kertas yang diterimanya dari Priscilla,
mencatat segala sesuatu yang perlu ia ingat,
dan berlalu tanpa bersedia menyebutkan
nama dan tempat tinggalnya.
�Orang sini (Jepang) sangat menghormati
leluhur. Karena itu, meski sudah tua, mereka
masih berupaya mencari makam
orangtuanya,� kata Priscilla, yang sudah
sembilan tahun bermukim di Jepang, kepada
Kompas.
Pada pameran pariwisata kali ini, Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memfasilitasi
26 industri pariwisata dan beberapa daerah
untuk berpromosi di Tokyo. Selain Adventure
Indonesia, ikut pula 23 industri pariwisata
yang tergabung dalam Bali Rasa Sayang (yang
fokus mempromosikan Bali) serta The Santosa
(hotel) Lombok dan Hotel Pangeran Pekan
Baru. Adapun delegasi dari daerah, yakni dari
DKI Jakarta, Jawa Tengah, Riau, dan DI
Yogyakarta.
Siang itu, Paviliun Indonesia yang terdiri atas
18 booth, sekitar 180 meter persegi, diramaikan
pengunjung yang sebagian besar warga
setempat. Ada yang antre panjang untuk
mendapatkan secangkir kecil kopi Indonesia
yang dikenal lezat, ada yang memperhatikan
cara membatik, ada pula yang sibuk mencari
informasi tentang paket perjalanan wisata
Indonesia.
Sehari sebelumnya, Paviliun Indonesia juga
tak henti-hentinya dikunjungi rombongan
mahasiswa dari beberapa institut pariwisata di
Negeri Sakura tersebut. Bisa dikatakan,
keelokan alam dan keramahan masyarakat
Indonesia sudah dikenal masyarakat Jepang.
Karena itu, ada semacam �kewajiban� bagi
mereka yang mendalami bidang pariwisata
untuk mengetahui Indonesia lebih dalam.
Kurang termanfaatkan
Meski Indonesia relatif mendapat perhatian
yang cukup, pameran yang diikuti lebih dari
100 negara dan seribuan industri, serta
dikunjungi oleh ratusan ribu orang itu
terkesan kurang termanfaatkan secara
optimal. Dibanding sejumlah paviliun negara
lain, Indonesia bisa dibilang �tertinggal�
dalam berpromosi.
Wisatawan asing tiba di Bandara Frans Seda,
Maumere, Nusa Tenggara Timur, Jumat
(17/5/2013). Wisata alam, rohani dan sejarah
menjadi andalan sejumlah daerah di Nusa
Tenggara Timur.
Pihak Bandar Udara Narita, Tokyo, misalnya,
pada pameran tersebut membuat permainan
yang diminati puluhan ribu pengunjung. Untuk
mengikuti permainan itu, pengunjung
membayar 1.200 yen atau lebih kurang Rp
100.000 (untuk dewasa) atau 600 yen (anak-
anak dan pelajar) untuk masuk ke ruang
pameran, rela antre hingga 30 menit untuk
mengikuti permainan berhadiah itu.
Permainannya sangat sederhana. Pengunjung
diberi semacam tiket penerbangan dan
paspor. Kemudian, mereka dipersilakan
memilih negara yang dituju dengan cara
mengecap �tiket penerbangan� di paviliun
yang sesuai dengan destinasi. Selanjutnya,
mereka diwajibkan mengikuti proses
pemberangkatan, mulai dari bagian imigrasi
hingga pemasangan stempel di paspor.
Ringkasnya, dengan mengikuti permainan
tersebut, mereka menjadi tahu apa yang
harus dilakukan jika suatu saat melakukan
perjalanan ke luar negeri. Di samping itu,
mereka juga secara tidak langsung dipaksa
berkunjung ke paviliun peserta pameran.
Imbalan atas partisipasi itu, pengunjung diberi
hadiah berupa tas kecil untuk peralatan
mandi.
Paviliun Australia pun mengadakan permainan
serupa. Pengunjung diberi lembaran kertas
berisi sejumlah pertanyaan, yang untuk
menjawabnya perlu melihat peta Australia
yang sudah disediakan di salah satu sisi booth
negeri �Kanguru� tersebut.
Dengan cara itu, peserta menjadi tahu persis
di mana saja daerah kunjungan wisata di
Australia. Selain itu, mereka juga secara tidak
sadar dipaksa mengetahui apa saja yang bisa
dilihat di Australia. Sungguh permainan yang
�cerdas�.
�Mereka suka dengan permainan. Orang
Jepang umumnya senang mengikuti pameran
seperti ini, apalagi kalau ada hadiahnya,� kata
Hiromi Kubota.
Jadi, tak perlu heran jika permainan semacam
itu diikuti banyak orang, mulai dari anak-anak
hingga orang tua.
Pengamatan Kompas, tempat-tempat yang
menyelenggarakan permainan seperti itu
sangat �hidup�. Pengunjung dan peserta
pameran berinteraksi dengan baik sehingga
muncul semacam kedekatan emosional.
Sayangnya, hal ini tidak terlalu terlihat di
Paviliun Indonesia.
�Kami sebenarnya berencana untuk membuat
photo corner, pengunjung bisa berfoto
dengan pakaian khas Betawi. Tapi, anggaran
kami sangat terbatas sehingga terpaksa
membatalkannya,� kata Hari Wibowo, dari
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI
Jakarta, yang memimpin delegasi DKI Jakarta,
menanggapi fakta tersebut.
Para pelancong asing diajak menari tortor di
pelataran Museum Hutabolon Simannindo,
Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Minggu
(1/9/2013). Ini merupakan salah satu cara
untuk mengenalkan budaya dan tradisi khas
Batak Toba kepada dunia luar.
Hal senada dikemukakan pihak Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. �Anggaran
promosi pariwisata luar negeri terbatas.
Bahkan, tahun depan menyusut hampir 50
persen.� Demikian penjelasan yang muncul di
pameran tersebut dan dibenarkan Direktur
Promosi Pariwisata Luar Negeri Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nia Niscaya.
Tampaknya, perlu keberanian untuk membuat
terobosan yang efektif. Jika tidak, bukan
mustahil orang yang takut ke Indonesia,
seperti sang kakek di atas, jadi bertambah.
(Fandri Yuniarti)
sumber
http://travel.kompas.com/read/2013/09/29/1224153/Ternyata.Masih.Ada.Wisatawan.yang.Takut.ke.Indonesia
sekarang jamannya perang Ekonomi gan, penjajahan pun secara ekonomi!
Jepang bahkan pernah hampir "Mencuri" TEMPE dari Indonesia!!
sudah terjalin baik selama 55 tahun, ternyata
masih ada warga Jepang yang takut ke
Indonesia. Sabtu (14/9/2013) siang lalu,
misalnya, seorang pengunjung pameran
pariwisata internasional JATA Travel
Showcase 2013 secara tak langsung
mengungkapkan hal itu.
�Papa saya dulu ikut perang di Indonesia, tapi
dia enggak ikut nembak-nembak. Dia
meninggal di Halmahera (Maluku). Saya pengin
ke sana.... Tapi, kira-kira aman enggak ya?�
kata seorang pria berusia sekitar 70 tahun,
warga negara Jepang, dengan suara terbata-
bata, di Paviliun Indonesia, Tokyo Big Sight,
Tokyo, Jepang.
Melihat wajahnya yang begitu memelas,
Priscilla, dari Adventure Indonesia�biro
perjalanan pariwisata yang menawarkan paket
perjalanan ke sejumlah daerah di Nusantara
�langsung menenangkan hatinya. �Bapak
enggak perlu takut. Kalau memang ingin ke
sana, bisa hubungi kami nanti. Cukup urus
tiket perjalanan Tokyo-Jakarta pergi-pulang.
Untuk ke tempat pemakaman orangtua Bapak,
kami bisa bantu mengurusnya. Silakan hubungi
kami,� kata Priscilla meyakinkan, dengan
bahasa Jepang yang fasih.
Priscilla pun kemudian menjelaskan letak
Halmahera di peta dan bagaimana
mencapainya dari Jakarta. Setelah
mendapatkan penjelasan panjang lebar dan
mendapat alamat lengkap Adventure
Indonesia, sang kakek yang jalannya sudah
lamban itu pun kemudian mencoret-coret
kertas yang diterimanya dari Priscilla,
mencatat segala sesuatu yang perlu ia ingat,
dan berlalu tanpa bersedia menyebutkan
nama dan tempat tinggalnya.
�Orang sini (Jepang) sangat menghormati
leluhur. Karena itu, meski sudah tua, mereka
masih berupaya mencari makam
orangtuanya,� kata Priscilla, yang sudah
sembilan tahun bermukim di Jepang, kepada
Kompas.
Pada pameran pariwisata kali ini, Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memfasilitasi
26 industri pariwisata dan beberapa daerah
untuk berpromosi di Tokyo. Selain Adventure
Indonesia, ikut pula 23 industri pariwisata
yang tergabung dalam Bali Rasa Sayang (yang
fokus mempromosikan Bali) serta The Santosa
(hotel) Lombok dan Hotel Pangeran Pekan
Baru. Adapun delegasi dari daerah, yakni dari
DKI Jakarta, Jawa Tengah, Riau, dan DI
Yogyakarta.
Siang itu, Paviliun Indonesia yang terdiri atas
18 booth, sekitar 180 meter persegi, diramaikan
pengunjung yang sebagian besar warga
setempat. Ada yang antre panjang untuk
mendapatkan secangkir kecil kopi Indonesia
yang dikenal lezat, ada yang memperhatikan
cara membatik, ada pula yang sibuk mencari
informasi tentang paket perjalanan wisata
Indonesia.
Sehari sebelumnya, Paviliun Indonesia juga
tak henti-hentinya dikunjungi rombongan
mahasiswa dari beberapa institut pariwisata di
Negeri Sakura tersebut. Bisa dikatakan,
keelokan alam dan keramahan masyarakat
Indonesia sudah dikenal masyarakat Jepang.
Karena itu, ada semacam �kewajiban� bagi
mereka yang mendalami bidang pariwisata
untuk mengetahui Indonesia lebih dalam.
Kurang termanfaatkan
Meski Indonesia relatif mendapat perhatian
yang cukup, pameran yang diikuti lebih dari
100 negara dan seribuan industri, serta
dikunjungi oleh ratusan ribu orang itu
terkesan kurang termanfaatkan secara
optimal. Dibanding sejumlah paviliun negara
lain, Indonesia bisa dibilang �tertinggal�
dalam berpromosi.
Wisatawan asing tiba di Bandara Frans Seda,
Maumere, Nusa Tenggara Timur, Jumat
(17/5/2013). Wisata alam, rohani dan sejarah
menjadi andalan sejumlah daerah di Nusa
Tenggara Timur.
Pihak Bandar Udara Narita, Tokyo, misalnya,
pada pameran tersebut membuat permainan
yang diminati puluhan ribu pengunjung. Untuk
mengikuti permainan itu, pengunjung
membayar 1.200 yen atau lebih kurang Rp
100.000 (untuk dewasa) atau 600 yen (anak-
anak dan pelajar) untuk masuk ke ruang
pameran, rela antre hingga 30 menit untuk
mengikuti permainan berhadiah itu.
Permainannya sangat sederhana. Pengunjung
diberi semacam tiket penerbangan dan
paspor. Kemudian, mereka dipersilakan
memilih negara yang dituju dengan cara
mengecap �tiket penerbangan� di paviliun
yang sesuai dengan destinasi. Selanjutnya,
mereka diwajibkan mengikuti proses
pemberangkatan, mulai dari bagian imigrasi
hingga pemasangan stempel di paspor.
Ringkasnya, dengan mengikuti permainan
tersebut, mereka menjadi tahu apa yang
harus dilakukan jika suatu saat melakukan
perjalanan ke luar negeri. Di samping itu,
mereka juga secara tidak langsung dipaksa
berkunjung ke paviliun peserta pameran.
Imbalan atas partisipasi itu, pengunjung diberi
hadiah berupa tas kecil untuk peralatan
mandi.
Paviliun Australia pun mengadakan permainan
serupa. Pengunjung diberi lembaran kertas
berisi sejumlah pertanyaan, yang untuk
menjawabnya perlu melihat peta Australia
yang sudah disediakan di salah satu sisi booth
negeri �Kanguru� tersebut.
Dengan cara itu, peserta menjadi tahu persis
di mana saja daerah kunjungan wisata di
Australia. Selain itu, mereka juga secara tidak
sadar dipaksa mengetahui apa saja yang bisa
dilihat di Australia. Sungguh permainan yang
�cerdas�.
�Mereka suka dengan permainan. Orang
Jepang umumnya senang mengikuti pameran
seperti ini, apalagi kalau ada hadiahnya,� kata
Hiromi Kubota.
Jadi, tak perlu heran jika permainan semacam
itu diikuti banyak orang, mulai dari anak-anak
hingga orang tua.
Pengamatan Kompas, tempat-tempat yang
menyelenggarakan permainan seperti itu
sangat �hidup�. Pengunjung dan peserta
pameran berinteraksi dengan baik sehingga
muncul semacam kedekatan emosional.
Sayangnya, hal ini tidak terlalu terlihat di
Paviliun Indonesia.
�Kami sebenarnya berencana untuk membuat
photo corner, pengunjung bisa berfoto
dengan pakaian khas Betawi. Tapi, anggaran
kami sangat terbatas sehingga terpaksa
membatalkannya,� kata Hari Wibowo, dari
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI
Jakarta, yang memimpin delegasi DKI Jakarta,
menanggapi fakta tersebut.
Para pelancong asing diajak menari tortor di
pelataran Museum Hutabolon Simannindo,
Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Minggu
(1/9/2013). Ini merupakan salah satu cara
untuk mengenalkan budaya dan tradisi khas
Batak Toba kepada dunia luar.
Hal senada dikemukakan pihak Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. �Anggaran
promosi pariwisata luar negeri terbatas.
Bahkan, tahun depan menyusut hampir 50
persen.� Demikian penjelasan yang muncul di
pameran tersebut dan dibenarkan Direktur
Promosi Pariwisata Luar Negeri Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nia Niscaya.
Tampaknya, perlu keberanian untuk membuat
terobosan yang efektif. Jika tidak, bukan
mustahil orang yang takut ke Indonesia,
seperti sang kakek di atas, jadi bertambah.
(Fandri Yuniarti)
sumber
http://travel.kompas.com/read/2013/09/29/1224153/Ternyata.Masih.Ada.Wisatawan.yang.Takut.ke.Indonesia
sekarang jamannya perang Ekonomi gan, penjajahan pun secara ekonomi!
Jepang bahkan pernah hampir "Mencuri" TEMPE dari Indonesia!!