Dua kutub keadilan yang berseberangan tampak jelas ketika publik membaca putusan kasasi MA No 2239 K/ PID.SUS/2012 atas kasus pajak Asian Agri. MA memutuskan untuk memidana Suwir Laut, mantan manajer Asian Agri. Di sisi lain. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus prematur dan menghendaki kasus diselesaikan secara administratif. Memang tidak mudah melihat persoalan (hukum) pajak, jika hakim kurang memahami persoalan pajak dari filosofi pungutan pajak yang sesungguhnya.
Kita menghargai putusan MA, tapi pertanyaannya, apakah adil memutus soal pajak menggunakan pendekatan pidana, atau apakah adil jika pendekatan administrasi yang digunakan? Keadilan memandang pajak sejatinya harus dilihat dalam kacamata yang amat sangat luas. Memandang pajak tidak bisa dilihat dari sisi pidana semata; juga tidak bisa dilihat dari kacamata administratif saja. Persoalan pajak adalah persoalan negara yang butuh uang untuk memberikesejahteraan kepada rakyat.
Pajak yang diatur dalam konstitusi menjadi jaminan agar negara bisa memberikan kesejahteraan kepada rakyat Kalau begitu, bagaimana cara menyelesaikan persoalan hukum jika Asian Agri diduga tidak bayar pajak dengan benar? Penulis berpendapat pendekatan pidana maupun administrasi yang harus digunakan sesuai kapasitas hukum masing-masing. Artinya, jika terbukti Asian Agri melakukan tindak pidana, misalnya pemalsuan surat, maka proses pidana yang dijalankan. Namun, jika Asian Agri tidak bayar pajak dengan hitungan yang benar, harus dikenakan denda administrasi sesuai UU pajak. Persoalan hukum menjadi rancu jika pendekatan pidana digabung dengan administrasi dalam menghitung besarnya utang pajak.
Putusan MA memidana Asian Agri dan denda dengan utang pajak Rp 2,5 triliun lebih, sungguh celaka. Posisi MA sudah bukan lagi memberi pertimbangan hukum yang benar. Posisi MA sudah menjadi lembaga penghitung pajak menggantikan posisi pemerintah cq. Ditjen Pajak dalam menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar. Jika itu yang terjadi maka pajak akan menjadi bencana.
Terobosan Hukum?
Kasus pajak Asian Agri menarik didiskusikan guna mencari pemikiranhukum yang tepat Lalu, apakah putusan MA merupakan terobosan hukum menggabungkan proses pidana dalam proses hukum administrasi? Terobosan hukum amat wajar jika persoalannya terkait persoalan korupsi, narkoba, pencucian uang, teroris, atau masalah hukum lainnya.
Sejak dahulu, pajak adalah persoalan bagaimana negara bisa memungut uang pajak. Rakyat yang tidak bayar pajak, akan diambil harta bendanya, kambing dombanya, hasil panennya. Tidak pernah ada cerita, rakyat dipidana karena tidak bayar pajak. Pidana pajak akan menjadi bencana bagi rakyat. Mengapa? Oleh karena pidana akan memberikan derita dan luka yang dalam bagi terpidana. Sementara orang tidak bayar pajak bukan melakukan pidana, tetapi menghindar pajak. Apakah adil jika orang menghindar pajak, dikatakan melakukan pidana? Ini yang harus dipahami hakim.
Bahwa pidana merupakan persoalan hukum yang hebat pernah diucapkan Leo Polak. Dikatakan, pidana adalah bagian hukum yang paling celaka, sebab sampai sekarang tidak tahu mengapa pidana itu hukum (Sudarto, 2007. hal 22-23). Jadi, amatlah menderita jika pembayaran pajak ditarik keras ke ranah pidana.
Dengan begitu, maka persoalan pidana yang ditarik ke dalam persoalanhitungan pajak, menjadi terobosan hukum yang keliru. Hak negara mengambil uang rakyat tidak bisa dilakukan dengan pidana. Hak negara adalah menghitung utang pajak dan mengambil harta kekayaan wajib pajak sesuai undang-undang. Jadi, terobosan hukum hakim MA perlu ditinjau ulang.
Sejak awal disepakati bahwa negara bertugas memberi kesejahteraan kepada rakyat melalui aspek ekonomi. Itu hanya bisa terjadi jika gerak ekonomi berjalan baik. Pajak pun akan memperoleh hasil sangat baik jika gerak ekonomi sesuai harapan. Sebaliknya, tidak pernah ada pendekatan negara memberi kesejahteraan (welfare state) melalui pendekatan pidana, terlebih dalam penyelesaian masalah utang pajak. Kalau begitu, seandainya terjadi perlawanan hukum melalui peninjauan kembali, kita semua berharap hendaknya MA mencari kesejatian hukum di bidang perpajakan.
Kesejatian hukum diyakini akan ditemukan jika hakim peninjauan kembali MA tidak terpengaruh pada kondisi dan tekanan apa pun. Filosofi memahami pungutan pajak adalah cara terbaik mengambil putusan yang adil bagi wajib pajak.
Sikap Bijak
Sejak reformasi perpajakan menerapkan self-assessment system, telah dipahami dan menjadi kesepakatan bersama bagaimana cara menghitung pajak. Bahkan setelah beberapa kali dilakukan amendemen UU Pajak, jelas terlihat UU Pajak selalu tertuju pada pendekatan administratif. Keseluruhan isi ketentuan Pasal 8 UU KUP No 28 Tahun 2007 menjadi �roh� penting memahami pungutan pajak yang sesungguhnya.
Kembali pada pertanyaan di atas, apa gunanya dicantumkan pidana pajak dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP? Hal inilah yang perlu dilakukan kajian khusus melihat persinggungan pendekatan pidana pada persoalan administrasi pajak seperti dimaksud Pasal 8 UU KUP.
Oleh karena itu, �kegeraman� hakim memidana wajib pajak jelas menimbulkan bencana. Seandainya terdapat 1.000 wajib pajak dipidana, maka bencana pajak akan menjalar pada bencana kesejahteraan yang tidak akan bisa terwujud. Negara tidak akan bisa mendapatkan uang pajak dari 1.000 wajib pajak tersebut Apakah cara itu yang diinginkan?
Jalan keluar yang perlu dikaji adalah dengan berpikir bijaksana melakukan sinkronisasi pidana pajak dengan pidana umum lainnya. Dengan kata lain, di dalam UU Pajak tidak diperlukan pasal pidana. Apakah itu mungkin?Jawabannya, mungkin. Yang pasti diskusi panjang perlu dibangun sejak dini agar pe-merintah tidak terjebak pada langkah hukum yang salah.
Itu karena jika langkah salah dilakukan, publik akan �menghakimi� dan menilai pemerintah kurang bijaksana. Pemerintah pun acapkali tidak melakukan langkah hukum proses pidana melainkan dengan cara administratif. Sering terbaca di media, bila wajib pajak mau bayar pajak beserta sanksi empat kali, pidana akan ditutup sesuai Pasal 44B UUKUP.
Dengan kata lain, pada hakikatnya pemerintah perlu uang tetapi selalu �menakut-nakuti wajib pajak dengan ancaman pidana. Sikap tidak bijak inilah yang dilihat publik melihat persoalan pajak dalam kerangka berpikir luas. Penerapan pidana pajak bukanlah sikap bijak, jika di sisi lain tetap menginginkan uang pajak.
Kalau begitu, publik menunggu bagaimana sesungguhnya MA memandang hukum pajak sebagai hukum yang khusus. Kreativitas hukum hakim MA memutus kasus Asian Agri menjadi pembelajaran yang patut dikritisi dalam mencari keadilan bidang perpajakan. Pemerintah dan Kejaksaan Agung patut bersikap bijak dengan tidak mendua hati mengambil langkah hukum terhadap kasus pajak yang sama.
Sumber: http://faktapajak.tumblr.com/post/62...a-pidana-pajak
Kita menghargai putusan MA, tapi pertanyaannya, apakah adil memutus soal pajak menggunakan pendekatan pidana, atau apakah adil jika pendekatan administrasi yang digunakan? Keadilan memandang pajak sejatinya harus dilihat dalam kacamata yang amat sangat luas. Memandang pajak tidak bisa dilihat dari sisi pidana semata; juga tidak bisa dilihat dari kacamata administratif saja. Persoalan pajak adalah persoalan negara yang butuh uang untuk memberikesejahteraan kepada rakyat.
Pajak yang diatur dalam konstitusi menjadi jaminan agar negara bisa memberikan kesejahteraan kepada rakyat Kalau begitu, bagaimana cara menyelesaikan persoalan hukum jika Asian Agri diduga tidak bayar pajak dengan benar? Penulis berpendapat pendekatan pidana maupun administrasi yang harus digunakan sesuai kapasitas hukum masing-masing. Artinya, jika terbukti Asian Agri melakukan tindak pidana, misalnya pemalsuan surat, maka proses pidana yang dijalankan. Namun, jika Asian Agri tidak bayar pajak dengan hitungan yang benar, harus dikenakan denda administrasi sesuai UU pajak. Persoalan hukum menjadi rancu jika pendekatan pidana digabung dengan administrasi dalam menghitung besarnya utang pajak.
Putusan MA memidana Asian Agri dan denda dengan utang pajak Rp 2,5 triliun lebih, sungguh celaka. Posisi MA sudah bukan lagi memberi pertimbangan hukum yang benar. Posisi MA sudah menjadi lembaga penghitung pajak menggantikan posisi pemerintah cq. Ditjen Pajak dalam menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar. Jika itu yang terjadi maka pajak akan menjadi bencana.
Terobosan Hukum?
Kasus pajak Asian Agri menarik didiskusikan guna mencari pemikiranhukum yang tepat Lalu, apakah putusan MA merupakan terobosan hukum menggabungkan proses pidana dalam proses hukum administrasi? Terobosan hukum amat wajar jika persoalannya terkait persoalan korupsi, narkoba, pencucian uang, teroris, atau masalah hukum lainnya.
Sejak dahulu, pajak adalah persoalan bagaimana negara bisa memungut uang pajak. Rakyat yang tidak bayar pajak, akan diambil harta bendanya, kambing dombanya, hasil panennya. Tidak pernah ada cerita, rakyat dipidana karena tidak bayar pajak. Pidana pajak akan menjadi bencana bagi rakyat. Mengapa? Oleh karena pidana akan memberikan derita dan luka yang dalam bagi terpidana. Sementara orang tidak bayar pajak bukan melakukan pidana, tetapi menghindar pajak. Apakah adil jika orang menghindar pajak, dikatakan melakukan pidana? Ini yang harus dipahami hakim.
Bahwa pidana merupakan persoalan hukum yang hebat pernah diucapkan Leo Polak. Dikatakan, pidana adalah bagian hukum yang paling celaka, sebab sampai sekarang tidak tahu mengapa pidana itu hukum (Sudarto, 2007. hal 22-23). Jadi, amatlah menderita jika pembayaran pajak ditarik keras ke ranah pidana.
Dengan begitu, maka persoalan pidana yang ditarik ke dalam persoalanhitungan pajak, menjadi terobosan hukum yang keliru. Hak negara mengambil uang rakyat tidak bisa dilakukan dengan pidana. Hak negara adalah menghitung utang pajak dan mengambil harta kekayaan wajib pajak sesuai undang-undang. Jadi, terobosan hukum hakim MA perlu ditinjau ulang.
Sejak awal disepakati bahwa negara bertugas memberi kesejahteraan kepada rakyat melalui aspek ekonomi. Itu hanya bisa terjadi jika gerak ekonomi berjalan baik. Pajak pun akan memperoleh hasil sangat baik jika gerak ekonomi sesuai harapan. Sebaliknya, tidak pernah ada pendekatan negara memberi kesejahteraan (welfare state) melalui pendekatan pidana, terlebih dalam penyelesaian masalah utang pajak. Kalau begitu, seandainya terjadi perlawanan hukum melalui peninjauan kembali, kita semua berharap hendaknya MA mencari kesejatian hukum di bidang perpajakan.
Kesejatian hukum diyakini akan ditemukan jika hakim peninjauan kembali MA tidak terpengaruh pada kondisi dan tekanan apa pun. Filosofi memahami pungutan pajak adalah cara terbaik mengambil putusan yang adil bagi wajib pajak.
Sikap Bijak
Sejak reformasi perpajakan menerapkan self-assessment system, telah dipahami dan menjadi kesepakatan bersama bagaimana cara menghitung pajak. Bahkan setelah beberapa kali dilakukan amendemen UU Pajak, jelas terlihat UU Pajak selalu tertuju pada pendekatan administratif. Keseluruhan isi ketentuan Pasal 8 UU KUP No 28 Tahun 2007 menjadi �roh� penting memahami pungutan pajak yang sesungguhnya.
Kembali pada pertanyaan di atas, apa gunanya dicantumkan pidana pajak dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP? Hal inilah yang perlu dilakukan kajian khusus melihat persinggungan pendekatan pidana pada persoalan administrasi pajak seperti dimaksud Pasal 8 UU KUP.
Oleh karena itu, �kegeraman� hakim memidana wajib pajak jelas menimbulkan bencana. Seandainya terdapat 1.000 wajib pajak dipidana, maka bencana pajak akan menjalar pada bencana kesejahteraan yang tidak akan bisa terwujud. Negara tidak akan bisa mendapatkan uang pajak dari 1.000 wajib pajak tersebut Apakah cara itu yang diinginkan?
Jalan keluar yang perlu dikaji adalah dengan berpikir bijaksana melakukan sinkronisasi pidana pajak dengan pidana umum lainnya. Dengan kata lain, di dalam UU Pajak tidak diperlukan pasal pidana. Apakah itu mungkin?Jawabannya, mungkin. Yang pasti diskusi panjang perlu dibangun sejak dini agar pe-merintah tidak terjebak pada langkah hukum yang salah.
Itu karena jika langkah salah dilakukan, publik akan �menghakimi� dan menilai pemerintah kurang bijaksana. Pemerintah pun acapkali tidak melakukan langkah hukum proses pidana melainkan dengan cara administratif. Sering terbaca di media, bila wajib pajak mau bayar pajak beserta sanksi empat kali, pidana akan ditutup sesuai Pasal 44B UUKUP.
Dengan kata lain, pada hakikatnya pemerintah perlu uang tetapi selalu �menakut-nakuti wajib pajak dengan ancaman pidana. Sikap tidak bijak inilah yang dilihat publik melihat persoalan pajak dalam kerangka berpikir luas. Penerapan pidana pajak bukanlah sikap bijak, jika di sisi lain tetap menginginkan uang pajak.
Kalau begitu, publik menunggu bagaimana sesungguhnya MA memandang hukum pajak sebagai hukum yang khusus. Kreativitas hukum hakim MA memutus kasus Asian Agri menjadi pembelajaran yang patut dikritisi dalam mencari keadilan bidang perpajakan. Pemerintah dan Kejaksaan Agung patut bersikap bijak dengan tidak mendua hati mengambil langkah hukum terhadap kasus pajak yang sama.
Sumber: http://faktapajak.tumblr.com/post/62...a-pidana-pajak