BACA BAIK2 GAN, JANGAN CUME NGEMENG DOANG GAK PAKE OTAK!!!
PENJELASAN DARI PAKAR MENGAPA PILKADAL DPRD LEBIH BAIK KETIMBANG PILKADAL LANGSUNG
PANDANGAN PROF. YUSRIL IHZA MAHENDRA
Rezim pemilu di dalam UUD 45 Pasal 22E ayat 2 hanya ada 4 jenis pemilu. Pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR, pemilu untuk memilih anggota DPD, pemilu untuk memilih anggota DPRD, dan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pilkada menurut Undang-Undang Dasar 1945 tidak termasuk rezim pemilihan umum.
Kalau otonomi itu diberikan kepada Propinsi, maka pemilihan bupati dan walikota memang bisa diserahkan kepada DPRD. Kalau kita merujuk pasal 18 UUD 45, dikatakan, Gubernur-Wakil gubernur, Bupati-Wakil Bupati, Walikota itu dipilih dengan cara demokratis. Demokratis itu bisa langsung bisa tidak langsung. jadi itu hanya soal pilihan.
Kalau saya lihat manfaat - Mudaratnya sekarang, bagi saya lebih banyak manfaatnya kalau di pilih oleh DPRD kembali. Sebab sistem yang kita bangun, pilihan langsung seperti sekarang itu membuka peluang untuk terjadinya korupsi besar-besaran, karena biaya kandidat untuk kampanye itu besar sekali! Dan itu sebagian besar digunakan untuk memberi uang kepada para pemilih. darimana mereka uang-uangnya? yah memberi lisensi Izin tambang, izin kebun dan segala macam. akhirnya korupsi terjadi dimana-mana. jadi Korupsi menurut saya hal sistem. Korupsi itu masalah sistem juga. jadi sifat yang kontradiksi.
Kita anti korupsi tapi kita buka Pilkada-pilkada seperti itu yang membuka peluang terjadinya korupsi. Jadi harus kita habisi korupsi itu dengan sistem, bukan dengan nangkapin orang. Tangkapin orang setiap hari, mau 1000 KPK, mau bikin 1000 penjara tidak akan selesai permasalahannya selama sistem tidak kita benahi.
Begini, Kita semua mengatakan kita ini anti korupsi mau berantas Korupsi, salah satu contoh kita laksanakan Pilkada-pilkada langsung seperti sekarang ini. bukankah Pilkada-Pilkada itu membuka peluang lebar-lebar untuk terjadinya Korupsi? jadikan kita kontradiksi! itu contohnya.
Pada waktu mengamandemen UUD 45 tahun 1999 itu, saya tidak terlibat terlalu banyak dalam amandemen itu. saya jadi anggota DPR cuma 23 hari pada waktu tahun 1999. mulanya saya duduk didalam Panitia adhoc MPR tentang perubahan UUD 45, tapi karena saya dilantik menjadi menteri kehakiman maka tugas saya digantikan oleh saudara Hamdan Zoelva yang sekarang ini Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (Sekarang Ketua MK) Hamdan lah yang meneruskan, menggantikan saya membahas perubahan UUD 45 itu. bunyi UUD tegas, Pasangan calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh Partai Politik peserta pemilihan Umum. pada waktu itu yang ada dikepala kita para anggota DPR dan MPR, yang dimaksud dengan Pemilihan umum itu ialah Pemilihan umum Legislatif yang 5 tahun sekali yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1971 dibawah pemerintahan orde baru dulu. tidak pernah kita membayangkan adanya Pemilihan Presiden di sebut sebagai Pemilihan Umum, tidak pernah terbayangkan dalam pikiran kita Pemilihan Kepala Daerah disebut dengan Pemilu kepala Daerah.
Sekarang ini sudah berganti, dulu disebut Pilkada, Pemilihan Kepala Daerah. Sekarang disebut Pemilu Kada, Pemilu Kepala Daerah. jadi resminya misalnya di kendari Pemilu walikota dan wakil walikota Kendari, Pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur propinsi Sulawesi Tenggara.
Jadi yang ada dalam pikiran kita waktu itu Pemilihan umum itu adalah Pemilihan umum legislatif 5 tahun sekali yang dilaksanakan lebih 30 tahun dimasa Pemerintahan Orde Baru nya Pak Harto. jadi ketika dikatakan pasangan Presiden dan wakil Presiden dicalonkan oleh partai Politik Peserta Pemilihan Umum, yang kita bayangkan itu adalah Peserta pemilihan umum Legislatif. dan hanya itulah partai Politik itu. partai tidak ikut dalam pemilihan DPD, Partai tidak ikut dalam Pemilihan daerah, partai tidak ikut dalam pemilihan kepala desa, karena yang bertarung adalah Individu bukan partai. tapi yang bertarung dalam Pemilihan umum dimana Partai secara langsung terlibat hanya dalam pemilu legislatif.
Terkait dengan pemilihan kepala daerah, pemilihan kepala daerah ini amandemen pasal 18. pasal 18 itu hanya mengatakan Gubernur, Bupati dan walikota dipilih melalui cara-cara yang DEMOKRATIS. cara-cara yang demokratis bisa multitafsir, tergantung bagaimana UU menterjemahkannya. mula mula pemilihan oleh DPRD, belakangan Pemilihan langsung.
Saya dari awal sudah tidak setuju dengan pemilihan langsung, tapi sudahlah jalan terus aja. akhirnya diadakan Pemilihan langsung Gubernur, Bupati dan walikota. itu yang terjadi sekarang. Dan ketika diadakan Pemilihan langsung, maka SENGKETA terjadi dimana-mana.
Jadi kita mengamati apa yang terjadi sejak Pemilukada (Pemilu Kepala daerah) langsung ini, rakyat kelihatannya belum begitu siap menghadapi ini karena kabupaten dan kota itu kecil wilayahnya. orang saling kenal satu sama lain. kalau kabupaten atau kota itu kecil. orang saling kenal satu sama lain, kalau ini dukung si A, dukung si B dukung si C. orang itu tiap hari ketemu juaan dipasar, ketemu diwarung kopi- minum kopi dan itu menimbulkan satu ketegangan antara rakyat sesama rakyat pada level bawah. rakyat belum terlalu dewasa untuk beda politik secara pribadi tidak masalah. perbedaan politik bisa masuk ke wilayah Pribadi, wilayah keluarga, wilayah kampung. calon itu dari kampung ini asalnya,didukung. ternyata menang dari kampung lain, itu bisa jadi masalah antar 2 kampung.
Lalu kemudian merebak apa yang disebut dengan Money Politik. karena untuk membiayai pemilu, Pemilukada itu sangat besar! kadang-kadang untuk pemilihan bupati orang harus menyediakan 30-35 milyar. untuk biaya kampanye, biaya saksi, biaya segala macam termasuk kadang-kadang team sukses, saksi di TPS, korlap, segala macam sampai memberi uang kepada rakyat beli sembako beli segala macam. sebegitu besar biaya habis untuk pelaksanaan pilkada. Gaji bupati berapa? 6 Juta sebulan! kapan bupati itu akan mengembalikan modal untuk menjadi bupati itu? segala macam cara. akhirnya bupati yang kaya sumber daya alam dia akan beri izin-izin tambang, yang punya luas tanah dia akan beri izin-izin kebun kelapa sawit, kebun karet dan segala macam dikasihkan untuk biaya Pilkada kalau dia sebagai incumbent.
2 tahun menjelang Pemilukada gubernur Incumbent memberikan izin kepada penambangan timah dilaut, kasih izin nikel, kasih izin ini itu. kadang-kadang 1 lahan ada 10 macam izin dikeluarkan oleh bupati, walikota Incumbent. Negara rusak gara-gara Pilkada-pilkada ini.
Lalu Pilkada itu kalau sengketa diserahkan kepada pengadilan tinggi, entah bagaimana setelah amandemen UU 32 2004 dengan UU 8 2008 kalau ngak salah, maka itu diserahkan ke Mahkamah Konstitusi. saya sendiri yang mendraft UU MK itu tidak bisa mikir bahwa MK itu akan diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa Pemilu kada. Hakim MK itu cuma 9 orang. Memang MK dinyatakan salah satu tugasnya adalah mengadili persengketaan Pemilihan Umum, sengketa Pemilu. Pemilu yang dimaksud disitu, Pemilu 5 tahun sekali. tetapi ketika Pilkada diubah menjadi Pemilukada, itu dianggap sebagai area dari Konstitusi maka dikasih ke MK.
Di MK itu hanya 9 Hakim harus memeriksa begitu banyak perkara Pilkada. tahun 2013 terdapat 178 Pemilukada diseluruh tanah air. 90% dibawa ke MK, berarti ada sekitar 160 perkara Pilkada yang dibawa ke MK, diputus oleh MK, kalau setahun ada 360 hari dipotong-potong hari kerja hari libur dan lain-lain kira-kira ada 300 hari, maka 2 hari sekali MK harus memutuskan 1 Perkara Pilkada. bagaimana bisa diharapkan pemeriksaan itu berjalan secara objektif, jujur, adil, tenang pertimbanganpun tidak mendalam. sidang 3 kali langsung diputus. dan akhirnya banyak sekali godaan-godaan, biaya sangat tinggi.
Bayangkan pemilukada kabupaten marauke, Pemilukada kabupaten Diae pecahan kabupaten jaya wijaya di papua, orang yang kalah pilkada itu harus membawa 30 saksi ke jakarta, membawa dokumen segala macam. berapa ongkosnya membawa orang 30 dari kabupaten Diae ke jakarta mereka jadi saksi menginap 1 minggu dijakarta. biaya besar sekali. lalu timbulah macam-macam kritik, saya di tanya sebagai advokat apa anda senang MK tangani Pilkada? ya senang! banyak rejeki.
Bolehkan kita kembalikan lagi pemilihan itu kepada DPRD? sah dari segi konstitusi tidak salah asal UU 32 2004 dan UU 8 tahun 2008 itu diamandemen. kalau terjadi sengketa siapa yang selesaikan saya sudah berikan masukan bahwa baiknya itu dikembalikan kepada Pengadilan tinggi tata usaha negara bukan pengadilan negeri. Pengadilan tinggi biasa-Pengadilan TUN,lebih relevan pengadilan TUN. karena itu keputusan pejabat tata usaha negara. tapi pengadilan tinggi TUN harus mengadili dalam sidang terbuka, bukan baca berkas kayak perkara banding tau-tau sudah ada putusan.
Pengalaman ketika membela Partai dalam sidang pengadilan tinggi tata usaha jakarta melawan KPU, terbuka sidang, fair, saksi dihadirkan. alat bukti dibuka disidang semua, akhirnya KPU dikalahkan. jadi dia selesai di pengadilan tinggi. kalau di sulawesi selatan ada 14 kabupaten, maka itu akan diputus oleh pengadilan tinggi TUN Makassar. selesai sampai disitu. jadi tidak usah dibawa kemana mana lagi. berpekara dekat dan mereka diawasi sama KY. MK malah tidak ada yang mengawasi, karena UU nya dibatalkan oleh MK sendiri.
Jadi kita kembalikan Pilkada itu pada DPRD lebih mudah kita mengawasi. misalnya kabupaten Konawe, Anggota DPR nya 30 orang, Kabupaten Kendari cuma 35 orang. lebih mudah kita awasi yang 35 orang itu daripada mengawasi rakyat sekabupaten. kalau mereka disuap tinggal di tangkap saja, daripada mengawasi orang ribuan. dan mungkin dengan cara itu juga maka akan ditemukan juga calon bupati dan walikota yang lebih berkualitas.
Sekarang ini siapa saja asal punya uang. Banyak Preman jadi bupati. Karena memang Pemilu itu memakan biaya besar dan rakyat baru mau datang Nyoblos itu umumnya kalau dikasih uang. kadang kadang mereka betul juga, saya bicara sama Nelayan, Pak minggu depan ada Pilkada, bapak bagaimana? Pak yusril dia bilang, saya kalau tidak melaut satu hari saya tidak makan. jadi saya tidak pergi melaut 1 hari siapa yang bisa ganti saya pergi melaut? itu barang 100 ribu 200 ribu baru saya tidak melaut, kalau tidak saya pergi melaut saya jadi golput. Akhirnya Pilkada seperti itu, siapa banyak uang walau tidak semua, umumnya akan menang.
Kalau ditanya kepada saya, bagaimana ya? serahkan lagi kepada Pemilihan langsung? saya pikir silahkan. kalau kemudian ada sengketa, bawalah ke pengadilan tinggi TUN, Gubernur bawa aja ke Mahkamah Agung. tapi pemilihan umum yang 5 tahun sekali itu dan pemilihan Presiden biarlah itu menjadi area Mahkamah Konstitusi. dengan begitu Mahkamah konstitusi tidak terlalu sibuk dengan 9 hakim itu. biar dia fokus pada pengujian UU, putuskan sengketa kewenangan antar lembaga negara, kemudian juga Pemilu. sekarang kalau anda pergi ke gedung MK, Gedung MK itu sudah kayak pasar. ada sengketa Pilkada masing-masing bawa pendukung. hari itu ada 3 sengketa Pilkada di adili, 1 pasangan bawa 100 ada 6 pasangan sudah 600 orang yang ada di Gedung MK. mau jalan saja sudah susah di gedung MK, karena sesak dimana-mana.
PENJELASAN MENGAPA MEREKA GETOL MENENTANG PENGESAHAN RUU PILKADAL DPRD
Kenapa kalo setiap kubu Megawati menang mereka mengklaim itu "kemenangan rakyat", dan setiap kubu mereka kalah mereka teriak bahwa itu adalah "kekalahan rakyat"?
Apa bagi mereka cuma Megawati dan kubunya saja yang rakyat Indonesia sedangkan kita yang bukan pendukung mereka = Bukan Warga Negara Indonesia?
Bagi yang BELUM tau, pada 2001 PDIP paling anti Pilkada/pilpres langsung, mereka bilang "itu mengkhianati Pancasila, sila ke-4". Lho kok skrg mereka teriak2 Pilkada HARUS langsung?
Bagi yang BELUM tau juga, apabila pilkada melalui DPRD...
Kemungkinan calon2 kepala daerah dari kubu Megawati (PDIP cs) sulit menang, karena mayoritas anggota2 DPRD sekarang adalah dari Koalisi Merah Putih. Kecuali mungkin di Jawa Tengah dan tempat2 tertentu basis PDIP-PKB lainnya, kubu koalisi Megawati (PDIP/Jokowi-JK cs) yang unggul. Tapi diatas kertas secara keseluruhan Koalisi Merah Putih masih jauh lebih unggul di banyak daerah lainnya.
Jadi di mata Megawati cs ini semata urusan "kalah-menang", bukan soal rakyat. NON-SENSE mereka bilang "atas nama rakyat"! Masih ingat pada 2009 lalu Megawati MENANGIS saat SBY menaikkan harga BBM? Menangis sambil berceloteh di depan para wartawan bahwa "SBY tidak berpihak kepada rakyat kecil dengan menaikkan harga BBM!" Tapi sekarang di akhir2 masa jabatan SBY justru MENDESAK-DESAK supaya SBY cepat-cepat menaikkan harga BBM! Untung saja SBY tidak mau menuruti perintah majikan Jokowi ini!
Begitupula soal Pilkada ini, mereka TAKUT kalah dalam Pilkada di sangat banyak tempat kalo arena pertarungannya cuma di DPRD.
Kalo Pilkada masih secara langsung.. Apalagi di pelosok2 desa kan mereka BISA MAIN DUIT, jangankan 50 ribu, orang kampung disodorin 20 ribu juga bisa aja mentalnya goyah, mau aja disuruh nyoblos calon2 gacoan kubu Megawati. Para petugas KPPS dll juga bisa aja dijadikan sasaran "serangan fajar" mereka.
Kan soal duit kubu Megawati jauh lebih hebat dari Koalisi Merah Putih karena cukong2 mayoritas mendukung mereka (James Ryadi, Sofyan Wanandi cs)!
Link: http://adf.ly/sQuAh
PENJELASAN DARI PAKAR MENGAPA PILKADAL DPRD LEBIH BAIK KETIMBANG PILKADAL LANGSUNG
PANDANGAN PROF. YUSRIL IHZA MAHENDRA
Rezim pemilu di dalam UUD 45 Pasal 22E ayat 2 hanya ada 4 jenis pemilu. Pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR, pemilu untuk memilih anggota DPD, pemilu untuk memilih anggota DPRD, dan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pilkada menurut Undang-Undang Dasar 1945 tidak termasuk rezim pemilihan umum.
Kalau otonomi itu diberikan kepada Propinsi, maka pemilihan bupati dan walikota memang bisa diserahkan kepada DPRD. Kalau kita merujuk pasal 18 UUD 45, dikatakan, Gubernur-Wakil gubernur, Bupati-Wakil Bupati, Walikota itu dipilih dengan cara demokratis. Demokratis itu bisa langsung bisa tidak langsung. jadi itu hanya soal pilihan.
Kalau saya lihat manfaat - Mudaratnya sekarang, bagi saya lebih banyak manfaatnya kalau di pilih oleh DPRD kembali. Sebab sistem yang kita bangun, pilihan langsung seperti sekarang itu membuka peluang untuk terjadinya korupsi besar-besaran, karena biaya kandidat untuk kampanye itu besar sekali! Dan itu sebagian besar digunakan untuk memberi uang kepada para pemilih. darimana mereka uang-uangnya? yah memberi lisensi Izin tambang, izin kebun dan segala macam. akhirnya korupsi terjadi dimana-mana. jadi Korupsi menurut saya hal sistem. Korupsi itu masalah sistem juga. jadi sifat yang kontradiksi.
Kita anti korupsi tapi kita buka Pilkada-pilkada seperti itu yang membuka peluang terjadinya korupsi. Jadi harus kita habisi korupsi itu dengan sistem, bukan dengan nangkapin orang. Tangkapin orang setiap hari, mau 1000 KPK, mau bikin 1000 penjara tidak akan selesai permasalahannya selama sistem tidak kita benahi.
Begini, Kita semua mengatakan kita ini anti korupsi mau berantas Korupsi, salah satu contoh kita laksanakan Pilkada-pilkada langsung seperti sekarang ini. bukankah Pilkada-Pilkada itu membuka peluang lebar-lebar untuk terjadinya Korupsi? jadikan kita kontradiksi! itu contohnya.
Pada waktu mengamandemen UUD 45 tahun 1999 itu, saya tidak terlibat terlalu banyak dalam amandemen itu. saya jadi anggota DPR cuma 23 hari pada waktu tahun 1999. mulanya saya duduk didalam Panitia adhoc MPR tentang perubahan UUD 45, tapi karena saya dilantik menjadi menteri kehakiman maka tugas saya digantikan oleh saudara Hamdan Zoelva yang sekarang ini Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (Sekarang Ketua MK) Hamdan lah yang meneruskan, menggantikan saya membahas perubahan UUD 45 itu. bunyi UUD tegas, Pasangan calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh Partai Politik peserta pemilihan Umum. pada waktu itu yang ada dikepala kita para anggota DPR dan MPR, yang dimaksud dengan Pemilihan umum itu ialah Pemilihan umum Legislatif yang 5 tahun sekali yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1971 dibawah pemerintahan orde baru dulu. tidak pernah kita membayangkan adanya Pemilihan Presiden di sebut sebagai Pemilihan Umum, tidak pernah terbayangkan dalam pikiran kita Pemilihan Kepala Daerah disebut dengan Pemilu kepala Daerah.
Sekarang ini sudah berganti, dulu disebut Pilkada, Pemilihan Kepala Daerah. Sekarang disebut Pemilu Kada, Pemilu Kepala Daerah. jadi resminya misalnya di kendari Pemilu walikota dan wakil walikota Kendari, Pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur propinsi Sulawesi Tenggara.
Jadi yang ada dalam pikiran kita waktu itu Pemilihan umum itu adalah Pemilihan umum legislatif 5 tahun sekali yang dilaksanakan lebih 30 tahun dimasa Pemerintahan Orde Baru nya Pak Harto. jadi ketika dikatakan pasangan Presiden dan wakil Presiden dicalonkan oleh partai Politik Peserta Pemilihan Umum, yang kita bayangkan itu adalah Peserta pemilihan umum Legislatif. dan hanya itulah partai Politik itu. partai tidak ikut dalam pemilihan DPD, Partai tidak ikut dalam Pemilihan daerah, partai tidak ikut dalam pemilihan kepala desa, karena yang bertarung adalah Individu bukan partai. tapi yang bertarung dalam Pemilihan umum dimana Partai secara langsung terlibat hanya dalam pemilu legislatif.
Terkait dengan pemilihan kepala daerah, pemilihan kepala daerah ini amandemen pasal 18. pasal 18 itu hanya mengatakan Gubernur, Bupati dan walikota dipilih melalui cara-cara yang DEMOKRATIS. cara-cara yang demokratis bisa multitafsir, tergantung bagaimana UU menterjemahkannya. mula mula pemilihan oleh DPRD, belakangan Pemilihan langsung.
Saya dari awal sudah tidak setuju dengan pemilihan langsung, tapi sudahlah jalan terus aja. akhirnya diadakan Pemilihan langsung Gubernur, Bupati dan walikota. itu yang terjadi sekarang. Dan ketika diadakan Pemilihan langsung, maka SENGKETA terjadi dimana-mana.
Jadi kita mengamati apa yang terjadi sejak Pemilukada (Pemilu Kepala daerah) langsung ini, rakyat kelihatannya belum begitu siap menghadapi ini karena kabupaten dan kota itu kecil wilayahnya. orang saling kenal satu sama lain. kalau kabupaten atau kota itu kecil. orang saling kenal satu sama lain, kalau ini dukung si A, dukung si B dukung si C. orang itu tiap hari ketemu juaan dipasar, ketemu diwarung kopi- minum kopi dan itu menimbulkan satu ketegangan antara rakyat sesama rakyat pada level bawah. rakyat belum terlalu dewasa untuk beda politik secara pribadi tidak masalah. perbedaan politik bisa masuk ke wilayah Pribadi, wilayah keluarga, wilayah kampung. calon itu dari kampung ini asalnya,didukung. ternyata menang dari kampung lain, itu bisa jadi masalah antar 2 kampung.
Lalu kemudian merebak apa yang disebut dengan Money Politik. karena untuk membiayai pemilu, Pemilukada itu sangat besar! kadang-kadang untuk pemilihan bupati orang harus menyediakan 30-35 milyar. untuk biaya kampanye, biaya saksi, biaya segala macam termasuk kadang-kadang team sukses, saksi di TPS, korlap, segala macam sampai memberi uang kepada rakyat beli sembako beli segala macam. sebegitu besar biaya habis untuk pelaksanaan pilkada. Gaji bupati berapa? 6 Juta sebulan! kapan bupati itu akan mengembalikan modal untuk menjadi bupati itu? segala macam cara. akhirnya bupati yang kaya sumber daya alam dia akan beri izin-izin tambang, yang punya luas tanah dia akan beri izin-izin kebun kelapa sawit, kebun karet dan segala macam dikasihkan untuk biaya Pilkada kalau dia sebagai incumbent.
2 tahun menjelang Pemilukada gubernur Incumbent memberikan izin kepada penambangan timah dilaut, kasih izin nikel, kasih izin ini itu. kadang-kadang 1 lahan ada 10 macam izin dikeluarkan oleh bupati, walikota Incumbent. Negara rusak gara-gara Pilkada-pilkada ini.
Lalu Pilkada itu kalau sengketa diserahkan kepada pengadilan tinggi, entah bagaimana setelah amandemen UU 32 2004 dengan UU 8 2008 kalau ngak salah, maka itu diserahkan ke Mahkamah Konstitusi. saya sendiri yang mendraft UU MK itu tidak bisa mikir bahwa MK itu akan diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa Pemilu kada. Hakim MK itu cuma 9 orang. Memang MK dinyatakan salah satu tugasnya adalah mengadili persengketaan Pemilihan Umum, sengketa Pemilu. Pemilu yang dimaksud disitu, Pemilu 5 tahun sekali. tetapi ketika Pilkada diubah menjadi Pemilukada, itu dianggap sebagai area dari Konstitusi maka dikasih ke MK.
Di MK itu hanya 9 Hakim harus memeriksa begitu banyak perkara Pilkada. tahun 2013 terdapat 178 Pemilukada diseluruh tanah air. 90% dibawa ke MK, berarti ada sekitar 160 perkara Pilkada yang dibawa ke MK, diputus oleh MK, kalau setahun ada 360 hari dipotong-potong hari kerja hari libur dan lain-lain kira-kira ada 300 hari, maka 2 hari sekali MK harus memutuskan 1 Perkara Pilkada. bagaimana bisa diharapkan pemeriksaan itu berjalan secara objektif, jujur, adil, tenang pertimbanganpun tidak mendalam. sidang 3 kali langsung diputus. dan akhirnya banyak sekali godaan-godaan, biaya sangat tinggi.
Bayangkan pemilukada kabupaten marauke, Pemilukada kabupaten Diae pecahan kabupaten jaya wijaya di papua, orang yang kalah pilkada itu harus membawa 30 saksi ke jakarta, membawa dokumen segala macam. berapa ongkosnya membawa orang 30 dari kabupaten Diae ke jakarta mereka jadi saksi menginap 1 minggu dijakarta. biaya besar sekali. lalu timbulah macam-macam kritik, saya di tanya sebagai advokat apa anda senang MK tangani Pilkada? ya senang! banyak rejeki.
Bolehkan kita kembalikan lagi pemilihan itu kepada DPRD? sah dari segi konstitusi tidak salah asal UU 32 2004 dan UU 8 tahun 2008 itu diamandemen. kalau terjadi sengketa siapa yang selesaikan saya sudah berikan masukan bahwa baiknya itu dikembalikan kepada Pengadilan tinggi tata usaha negara bukan pengadilan negeri. Pengadilan tinggi biasa-Pengadilan TUN,lebih relevan pengadilan TUN. karena itu keputusan pejabat tata usaha negara. tapi pengadilan tinggi TUN harus mengadili dalam sidang terbuka, bukan baca berkas kayak perkara banding tau-tau sudah ada putusan.
Pengalaman ketika membela Partai dalam sidang pengadilan tinggi tata usaha jakarta melawan KPU, terbuka sidang, fair, saksi dihadirkan. alat bukti dibuka disidang semua, akhirnya KPU dikalahkan. jadi dia selesai di pengadilan tinggi. kalau di sulawesi selatan ada 14 kabupaten, maka itu akan diputus oleh pengadilan tinggi TUN Makassar. selesai sampai disitu. jadi tidak usah dibawa kemana mana lagi. berpekara dekat dan mereka diawasi sama KY. MK malah tidak ada yang mengawasi, karena UU nya dibatalkan oleh MK sendiri.
Jadi kita kembalikan Pilkada itu pada DPRD lebih mudah kita mengawasi. misalnya kabupaten Konawe, Anggota DPR nya 30 orang, Kabupaten Kendari cuma 35 orang. lebih mudah kita awasi yang 35 orang itu daripada mengawasi rakyat sekabupaten. kalau mereka disuap tinggal di tangkap saja, daripada mengawasi orang ribuan. dan mungkin dengan cara itu juga maka akan ditemukan juga calon bupati dan walikota yang lebih berkualitas.
Sekarang ini siapa saja asal punya uang. Banyak Preman jadi bupati. Karena memang Pemilu itu memakan biaya besar dan rakyat baru mau datang Nyoblos itu umumnya kalau dikasih uang. kadang kadang mereka betul juga, saya bicara sama Nelayan, Pak minggu depan ada Pilkada, bapak bagaimana? Pak yusril dia bilang, saya kalau tidak melaut satu hari saya tidak makan. jadi saya tidak pergi melaut 1 hari siapa yang bisa ganti saya pergi melaut? itu barang 100 ribu 200 ribu baru saya tidak melaut, kalau tidak saya pergi melaut saya jadi golput. Akhirnya Pilkada seperti itu, siapa banyak uang walau tidak semua, umumnya akan menang.
Kalau ditanya kepada saya, bagaimana ya? serahkan lagi kepada Pemilihan langsung? saya pikir silahkan. kalau kemudian ada sengketa, bawalah ke pengadilan tinggi TUN, Gubernur bawa aja ke Mahkamah Agung. tapi pemilihan umum yang 5 tahun sekali itu dan pemilihan Presiden biarlah itu menjadi area Mahkamah Konstitusi. dengan begitu Mahkamah konstitusi tidak terlalu sibuk dengan 9 hakim itu. biar dia fokus pada pengujian UU, putuskan sengketa kewenangan antar lembaga negara, kemudian juga Pemilu. sekarang kalau anda pergi ke gedung MK, Gedung MK itu sudah kayak pasar. ada sengketa Pilkada masing-masing bawa pendukung. hari itu ada 3 sengketa Pilkada di adili, 1 pasangan bawa 100 ada 6 pasangan sudah 600 orang yang ada di Gedung MK. mau jalan saja sudah susah di gedung MK, karena sesak dimana-mana.
PENJELASAN MENGAPA MEREKA GETOL MENENTANG PENGESAHAN RUU PILKADAL DPRD
Kenapa kalo setiap kubu Megawati menang mereka mengklaim itu "kemenangan rakyat", dan setiap kubu mereka kalah mereka teriak bahwa itu adalah "kekalahan rakyat"?
Apa bagi mereka cuma Megawati dan kubunya saja yang rakyat Indonesia sedangkan kita yang bukan pendukung mereka = Bukan Warga Negara Indonesia?
Bagi yang BELUM tau, pada 2001 PDIP paling anti Pilkada/pilpres langsung, mereka bilang "itu mengkhianati Pancasila, sila ke-4". Lho kok skrg mereka teriak2 Pilkada HARUS langsung?
Bagi yang BELUM tau juga, apabila pilkada melalui DPRD...
Kemungkinan calon2 kepala daerah dari kubu Megawati (PDIP cs) sulit menang, karena mayoritas anggota2 DPRD sekarang adalah dari Koalisi Merah Putih. Kecuali mungkin di Jawa Tengah dan tempat2 tertentu basis PDIP-PKB lainnya, kubu koalisi Megawati (PDIP/Jokowi-JK cs) yang unggul. Tapi diatas kertas secara keseluruhan Koalisi Merah Putih masih jauh lebih unggul di banyak daerah lainnya.
Jadi di mata Megawati cs ini semata urusan "kalah-menang", bukan soal rakyat. NON-SENSE mereka bilang "atas nama rakyat"! Masih ingat pada 2009 lalu Megawati MENANGIS saat SBY menaikkan harga BBM? Menangis sambil berceloteh di depan para wartawan bahwa "SBY tidak berpihak kepada rakyat kecil dengan menaikkan harga BBM!" Tapi sekarang di akhir2 masa jabatan SBY justru MENDESAK-DESAK supaya SBY cepat-cepat menaikkan harga BBM! Untung saja SBY tidak mau menuruti perintah majikan Jokowi ini!
Begitupula soal Pilkada ini, mereka TAKUT kalah dalam Pilkada di sangat banyak tempat kalo arena pertarungannya cuma di DPRD.
Kalo Pilkada masih secara langsung.. Apalagi di pelosok2 desa kan mereka BISA MAIN DUIT, jangankan 50 ribu, orang kampung disodorin 20 ribu juga bisa aja mentalnya goyah, mau aja disuruh nyoblos calon2 gacoan kubu Megawati. Para petugas KPPS dll juga bisa aja dijadikan sasaran "serangan fajar" mereka.
Kan soal duit kubu Megawati jauh lebih hebat dari Koalisi Merah Putih karena cukong2 mayoritas mendukung mereka (James Ryadi, Sofyan Wanandi cs)!
Link: http://adf.ly/sQuAh