SITUS BERITA TERBARU

Pesona Jabatan Publik

Monday, March 24, 2014
Membanjirnya calon anggota legislatif menjadi bukti kuat bahwa jabatan publik masih tetap memancarkan daya pesona. Di jajaran eksekutif, jabatan publik bahkan jauh lebih menggoda. Mereka yang sudah lama �duduk manis� sebagai anggota parlemen bukan jaminan tak tergoda untuk tidak mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dalam istilah Jawa, jabatan publik selalu membuat orang kemaruk (selalu merasa kurang alias tidak pernah merasa puas dengan apa yang ada).Untuk memenuhi ambisinya, mereka tak segan menggelontorkan jutaan, bahkan miliaran rupiah�sebuah nominal yang terkadang tak masuk akal dibandingkan dengan pendapatan resmi sebagai anggota DPR atau kepala daerah. Mereka sadar betul bahwa dalam konteks pilkada, nothing is free lunch. Tidak ada yang gratis dalam dunia politik. Soal bagaimana cara mendapatkan dan mengembalikan modal awal, itu tidaklah penting alias bisa dipikirkan belakangan. Yang penting cuma satu: jadi pejabat publik. Titik!
Di Republik ini, menjabat adalah segala-galanya. Bagi kebanyakan orang, menjabat seakan menjadi satu-satunya tafsir kebermaknaan hidup di dunia ini. Setelah itu, mati. Begitu kuatnya cengkeraman mentalitas menjabat di kalangan masyarakat, seakan tidak ada posisi lebih tinggi selain menduduki jabatan publik.Jika seorang penggenggam kekuasaan tidak mampu menaklukkannya di bawah bimbingan kesadaran nurani dan akal budinya, maka ia pun akan terbutakan olehnya, bahkan akan dilumatnya. Inilah yang terjadi pada sebagian besar mantan pejabat kita yang sekarang ini tengah menjadi pesakitan di pengadilan akibat penyalahgunaan kekuasaan. Dan inilah gambaran nyata ketika kekuasaan tidak dikelola secara benar, amanah dan akuntabel. Saat ini terdapat 293 kepala daerah yang masuk penjara akibat berperkara hukum. Menurut rilisDalam konteks ini, panggung politik nasional jelas menyediakan sumber daya berlimpah untuk diperebutkan individu dan parpol. Pembacaan Machievallian akan segera mengendus adanya hasrat libidinal untuk menguasai sumber daya ini. Realitas APBN adalah ceteris paribus, sebuah daya tarik utama yang menggerakkan hampir seluruh gerak politik keseharian kita. Pada 2013, APBN kita bernilai Rp 1.657,9 triliun, naik sekitar 7 persen dari nilai APBN 2012. Dengan harga emas Rp 500.000 per gram, nilai ini setara dengan 3.316 ton atau 167 kontainer emas! Sebuah bilangan yang sangat fantastis, lebih dari cukup untuk menyejahterakan setiap rakyat Indonesia!
Bagi para �penyabung nasib� di kantor-kantor parlemen atau lembaga pemerintahan, pertanyaan yang harus direfleksikan secara jernih adalah: �apa yang kau cari? Pengabdian kepada negeri ini? No way! Omong kosong! Saat ini panggung politik-kekuasaan tidak menyediakan lahan pengabdian karena sudah habis �dikapling� oleh para pendiri bangsa ini. Biarlah kosakata pengabdian menjadi bagian dari masa lalu yang tidak relevan lagi untuk masa sekarang�.Sebenarnya rakyat maklum belaka jika mereka berdalih mencari penghidupan melalui jabatan publik. Bahasa eufemistiknya, profesionalisme. Jika terpilih sebagai anggota DPR atau kepala daerah, anggaplah jabatan yang mereka emban sebagai pilihan profesi. Mereka digaji oleh negara (baca: rakyat) sebagai akibat dari jabatan yang diemban. Akan tetapi, mereka harus bekerja sesuai dengan gaji yang diterima. Terpenting lagi: jangan korupsi. Karena, lambat atau cepat, rakyat akan menghukum siapa pun yang menyalahgunakan kekuasaan.
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive