Quote:Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta Bambang Supriyadi mengatakan pembahasan mengenai kriteria perguruan tinggi swasta (PTS) yang layak diumumkan sebagai kampus legal tanpa masalah atau tidak masih belum tuntas. Dia mengatakan baru ada tiga kriteria pasti yang akan diberlakukan, yakni PTS dianggap ilegal atau bermasalah apabila lama tidak aktif, menggelar kelas jauh tanpa izin, dan memiliki konflik kepemilikan. "Sampai sekarang, jadwal pengumumannya pada 17 Maret 2014 belum berubah," kata Bambang kepada Tempo.
Bambang menjelaskan, sejumlah kriteria masih menjadi bahan perdebatan. Dalam pertemuan terakhir seluruh koordinator kopertis se-Indonesia, pada 24 Februari lalu, muncul usul agar pengumuman itu dibarengi dengan publikasi kampus negeri yang bermasalah. "Dikti (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi) setuju, jadi kami sepakat akan mengumumkan apabila PTN (perguruan tinggi negeri) bermasalah juga dipublikasikan," kata Bambang.
Dia menjelaskan, apabila tiga kriteria tadi diberlakukan, setidaknya ada delapan PTS di DIY yang pasti diumumkan ilegal dan bermasalah. Sebab, delapan PTS itu lama tidak aktif atau memiliki konflik kepemilikan. "Saat ini, dari 115 PTS di DIY, yang dianggap aktif berjumlah 107," katanya.
Bambang menyatakan pengumuman ini bermanfaat sebagai panduan calon mahasiswa agar bisa memilih PTS dengan status kelembagaan bebas masalah. Dengan pengumuman itu, masyarakat memiliki alasan melaporkan tindakan penipuan apabila telanjur mendaftar ke delapan PTS tadi. "Banyak yang calon mahasiswa dari luar daerah akan terbantu," katanya.
Dia menyatakan pengumuman itu penting mengingat belakangan ada PTS di Yogyakarta, yang telah lebih dari tiga tahun tidak aktif, membuka pendaftaran mahasiswa baru. Pengelolanya memanfaatkan momentum penerapan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang memberi kesempatan kepada semua kampus untuk menerima akreditasi C apabila mengajukan permohonan sebelum akhir Agustus 2013.
Dia mencontohkan salah satu kampus yang sempat diperingatkan Kopertis DIY ialah Polteknik PPKP, yang berlokasi di dekat Gedung Jogja Expo Center. Setelah beberapa tahun mati suri, kampus ini membuka pendaftaran lagi pertengahan tahun lalu setelah mengajukan pendaftaran akreditasi. "Aturannya hanya menyatakan bisa mengajukan akreditasi. Kalau lama tidak aktif, secara logika, pengajuannya sulit diterima," katanya.
Surat edaran Dikti mengenai perintah pengumuman PTS legal lewat iklan di media cetak pada 17 Maret 2014 bisa menjadi landasan hukum bagi masyarakat agar tidak tertipu masuk kampus yang lama tidak aktif lalu mendadak membuka pendaftaran. Bambang mengatakan selama ini Kopertis hanya bisa memberikan peringatan ke pengelola PTS seperti itu. "Kalau ada pengumuman itu, masyarakat bisa berinisiatif sendiri melaporkan penipuan ke aparat," katanya.
Dia mengatakan sebenarnya masih ada potensi penambahan jumlah PTS ilegal dan bermasalah di DIY. Sebab, surat klarifikasi Kopertis V ke 107 PTS mengenai pernyataan tidak menggelar kelas jauh belum dijawab oleh 15 pengelola kampus. "Ada tiga PTS terindikasi menggelar kelas jauh tanpa izin, tapi masih kami pastikan kebenarannya," katanya.
Menurut Bambang, penyelenggaraan kelas jauh tanpa izin sebenarnya juga banyak terjadi di kampus negeri. Padahal, menurut dia, pengurusan izin penyelenggaraan kelas jauh di luar domisili kampus utama lumayan ketat. "Di Indonesia, hanya ada dua yang berizin, salah satunya MM UGM di Jakarta," katanya.
Bambang menambahkan, pembahasan mengenai konsep matang pengumuman legalitas PTS masih akan berlanjut pada pekan depan. Menurut dia, tenggat pembahasan jatuh pada 10 Maret 2014.
Sejumlah poin yang belum selesai dikaji oleh rapat semua koodinator Kopertis dan Dikti ada di persoalan model pengumuman, jumlah kriteria, serta penafsiran sebagian ketentuan UU Dikti. "Kalau belum selesai, pengumumannya mungkin diundur," ujarnya.
Mengenai metode, banyak Kopertis mengusulkan materi pengumuman bukan hanya PTS legal tanpa masalah, melainkan juga yang ilegal. "Agar bisa ditunjukkan ke publik penyebab sebuah PTS dianggap ilegal," katanya.
Soal kriteria, Bambang melanjutkan, masih ada sejumlah usul yang belum selesai dibahas. Misalnya, penerapan syarat batasan jumlah program studi untuk mengukur keaktifan kampus. "Karena ada peraturan berbunyi kalau universitas minimal punya sepuluh jurusan, akademi satu jurusan, dan sekolah tinggi minim ada tiga," katanya.
Namun, Bambang berpendapat syarat ini terlalu kaku mengingat banyak PTS yang jumlah program studinya kurang dari sepuluh, namun, faktanya, semua program studi masih aktif dan memiliki banyak mahasiswa. "Sama dengan usulan ada rasio jumlah mahasiswa untuk mengukur keaktifan jurusan di PTS," katanya.
Menurut dia, pembahasan lebih penting sebenarnya perlu ada di penafsiran ketentuan mengenai pemberian akreditasi C untuk pengajuan baru. Bambang mengusulkan adanya batasan waktu yang ketat atas pemberlakuan status akreditasi ini. "Jadi masalah kalau tidak dibatasi waktunya," kata Bambang.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Edy Suandi Hamid mengkritik rencana ini karena mencampur logika PTS bermasalah dengan ilegal. Menurut dia, apabila PTS beroperasi tanpa izin maka wajar dicap ilegal. "Tapi, kalau memiliki masalah, sebaiknya menerima pembinaan dulu," katanya.
sumber: TEMPO
Quote:Syarat Status Legal Kampus Swasta Dikaji Ulang
Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah V, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bambang Supriyadi mengatakan persyaratan untuk kampus swasta agar bisa menyandang status legal sedang dikaji ulang. Menurut dia Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti) bersama perwakilan Kopertis di semua daerah sedang membahas perumusan syarat yang lebih tepat. "Akhir Februari ini akan keluar hasilnya," kata dia kepada Tempo pada Selasa, 25 Februari 2014.
Sebelumnya, ada surat edaran resmi dari Dikti mengenai rencana pengumuman lewat iklan ke media cetak tentang daftar kampus swasta legal di semua daerah. Pengumuman ke publik itu akan dilaksanakan pada 17 Maret 2014. Kampus-kampus yang tidak masuk dalam daftar itu dipastikan berstatus ilegal.
Di surat edaran itu, ada enam persyaratan agar kampus swasta bisa berstatus legal. Keenamnya yaitu, memiliki Akte Pendirian Yayasan yang disahkan Kementerian Hukum dan Ham, memiliki izin pendirian dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan tidak menyelenggarakan program kelas jauh.
Tiga syarat lainnya, menyelesaikan laporan untuk Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) sampai tahun 2012, memiliki akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) atau sudah mengajukannya sebelum September 2013, dan tidak memiliki konflik internal dalam masalah kepemilikan.
Menurut Bambang ada banyak kampus swasta menganggap syarat-syarat tersebut telalu memberatkan. Dia menilai sebagian persyaratan masih perlu diperdebatkan agar bisa tepat untuk menilai status kampus-kampus swasta. "Publikasi ini untuk memandu publik agar memilih kampus swasta yang benar-benar dipercaya," kata dia.
Dia menambahkan hanya ada sebagian syarat saja yang hampir pasti tidak berubah. Misalnya, larangan ada konflik kepemilikan kampus, penyelenggaraan kelas jauh, dan kewajiban memiliki izin. Bagi yang pernah melakukan pelanggaran berat seperti penipuan mahasiswa, statusnya jelas ilegal.
Di DIY, Kopertis V sementara ini memiliki data 107 Perguruan Tinggi Swasta. Menurut Bambang, jumlah itu akan dievaluasi lagi untuk menentukan kampus-kampus swasta yang bisa dianggap legal.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Edy Suandi Hamid menyatakan organisasinya sudah tegas menolak rencana ini. Deklarasi penolakan muncul seusai Rapat Pengurus Pusat Pleno (RPPP) Ke-5 APTISI di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta pada 22 Februari 2014 kemarin.
Menurut Edy, APTISI menolak pemberlakuan persyaratan legalitas kampus swasta sebagaimana disebut dalam surat edaran Dikti. Dia menilai, ada pencampuran logika antara kesalahan administrasi dan status ilegal pada kampus swasta. "Apabila beroperasi tanpa izin, memiliki dualisme kepemilikan atau konflik internal, melakukan penipuan dan sama sekali sudah tidak aktif, silahkan dicap ilegal," kata Rektor UII ini.
Namun, sejumlah persyaratan lain baru dalam kategori kesalahan apabila dilanggar. APTISI menganggapnya tidak bisa menjadi landasan untuk menuding suatu PTS ilegal. "Efeknya bisa luas dan merugikan banyak kampus yang sesungguhnya masih bisa dibenahi," kata Edy.
Dia berpendapat kampus swasta yang masuk dalam kategori hanya melakukan kesalahan tidak perlu dianggap ilegal. Menurut Edy justru semestinya Kemendikbud dan Dikti melakukan pembinaan. "Kalau salah, dibina dulu, agar memperbaiki kesalahan," kata dia.
Edy menjelaskan sejumlah syarat yang tidak relevan seperti larangan menyelenggarakan kelas jauh. Menurut dia peraturan itu baru fair dilaksanakan apabila penertiban juga dilakukan ke kampus negeri. "Banyak PTN juga menyelenggarakan kelas jauh."
Syarat lain, dia melanjutkan, mengenai kelambanan pengajuan akreditasi jurusan atau institusi. Menurut dia PTS bisa merugi apabila dicap ilegal hanya karena salah satu jurusan saja belum diajukan akreditasinya. "Ini memperhatikan adanya jurusan atau PTS yang baru," kata dia.
Apalagi, menurut Edy, pemerintah juga telat menerbitkan peraturan turunan UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Dikti yang melandasi operasional Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM). Lembaga itu dibentuk oleh APTISI untuk menangani proses akreditasi jurusan dan program studi di semua kampus swasta seluruh Indonesia.
Pembentukannya membantu BAN-PT untuk mengakreditasi semua jurusan dan institusi PTS. BAN-PT selama dianggap tidak memiliki kemampuan memadai mengkreditasi semua kampus dalam waktu dua tahun saja.
Syarat penyampaian laporan di Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) juga memberatkan. Edy menilai masih banyak kampus swasta belum mampu menuntaskan laporan karena problem seperti ada dosennya yang juga mengajar di sekolah. "Untuk kesalahan seperti itu, PTS tidak bisa langsung dicap ilegal," kata dia.
sumber: TEMPO
wah wah, ada yang kuliah di kampus yang ilegal ini?