Jakarta - Sejumlah kepala daerah berbondong-bondong menolak Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD dalam UU Pilkada yang akhirnya disahkan DPR. Wali Kota Bogor Bima Arya yang turut menolak Pilkada melalui DPRD, menilai beda paham menyikapi UU Pilkada bukan soal tarung kubu Jokowi dan Prabowo. Tapi hakikat demokrasi.
"Saya sedih melihat bangsa ini seolah tercabik dan terbelah ketika Pilpres dan pasca Pilpres. Pilkada langsung atau tidak langsung itu bukan soal pertarungan kubu Jokowi dan Prabowo atau perdebatan koalisi, tapi ini adalah keyakinan kita atas nilai yang paling hakiki dari demokrasi, yaitu partisipasi," kata Bima Arya kepada detikcom, Minggu (28/9/2014).
Menurut ketua DPP PAN itu, rakyat punya hak untuk ikut menentukan masa depan mereka secara langsung dalam pemilihan umum. Karenanya demokrasi itu bukan hanya prosedur, tapi juga nilai.
"Dari Tanah Suci saya mendoakan agar seluruh elite politik di tanah air diberikan kekuatan untuk bisa menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai politik atau kelompok," ujar Bima yang kini berada di Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
"Saya mendoakan agar bangsa indonesia diberikan kekuatan untuk mengelola perbedaan dengan kedewasaan," imbuh politisi PAN itu.
Bima Arya bersama sejumlah kepala daerah di antaranya Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, menolak substansi UU Pilkada yang mengatur kepala daerah dipilih DPRD.
Bima melalui twitter @BimaAryaS pada 19 September 2014, bahkan sudah lebih dulu merespons UU Pilkada yang baru diketok DPR pada (26/9/2014)
"Belum selesai kawan. Masih ada harapan, rapatkan barisan, beri MK kesempatan," tulis Bima Arya di twitter hari ini plus mengunggah fotonya dengan para kepala daerah yang lain seperti Ahok, Ridwan Kamil, Azwar Anas dan lainnya.
http://news.detik.com/read/2014/09/2...kiki-demokrasi
Gue cuma mau memperlihatkan beberapa Foto Foto masa Pilkada Kemaren dimana rakyat Bersukaria ikut serta menyambut Pesta Demokrasi, ya sekarang cuma tinggal kenangan saja masa masa itu, gak ada lagi masa masa seperti itu. Semoga foto foto ini bisa memberikan sedikit gambaran ke anak cucu gue kelak, gimana rakyat bersukaria mengikuti demokrasi sebenarnya
sebuah catatan kecil dari sumber lain:
26 September 2014 adalah hari ketika parlemen merampas suara rakyat.
Mari kita simpan dengan baik kenangan ini: Golkar, Gerindra, PKS, PPP, dan PAN adalah partai-partai yang mendukung penghapusan pemilihan langsung kepala daerah.
Sementara, partai Demokrat yang seharusnya bisa menggagalkan perampasan atas hak rakyat itu memilih walk out, mendiamkan Demokrasi mati dibunuh!
Apa yang terjadi di gedung parlemen pada Jumat pagi itu adalah metafor tentang betapa berbahayanya kekuasaan jika diserahkan kepada para oligark partai.
Jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mendukung pemilihan langsung. Bahkan lebih dari 80 persen pendukung Prabowo Subianto – yang koalisi Merah Putihnya adalah motor utama penghapusan pemilihan kepala daerah langsung – ingin kepala daerah dipilih secara langsung.
Tapi apa yang terjadi di parlemen menunjukkan betapa jauhnya para wakil rakyat terhormat itu dari aspirasi rakyat.
Dalam logika para oligark, ini adalah political struggle untuk bertahan. Jika proses demokratik dibiarkan berjalan, maka kekuasaan mereka akan semakin berkurang. Karena itu tak ada jalan bagi mereka, selain membunuhnya.
Mereka tak ingin fenomena Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini dan Bima Arya terulang. Mereka tak rela "dipaksa menjadi baik" dengan mendukung kandidat yang baik, agar bisa meraih kemenangan elektoral.
Celakalah kita, karena dengan dihapuskannya pemilihan kepala daerah secara langsung, maka tak ada lagi insentif bagi partai untuk berbuat baik.
Pemimpin daerah, kelak akan lebih banyak ditentukan lewat lobi dan transaksi di balik tembok parlemen, atau di bawah meja partai.
Ironisnya, ini terjadi di akhir kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang oleh dunia, dipuji sukses mengkonsolidasikan demokrasi Indonesia.
Yudhoyono, orang yang paling menikmati pemilihan langsung, dan sebetulnya bisa mencegah, membiarkan suara rakyat dirampas. Sebagai nakhoda partai Demokrat, Yudhoyono yang dua periode menikmati kekuasaan karena dipilih secara langsung, membiarkan demokrasi mati di tangan parlemen. Dan ia, seperti biasa, hanya bisa mengeluh, dan menuding anggota fraksinya yang walk out, tidak mematuhi instruksi partai.
Sejarah akan mencatat Jumat ini sebagai hari kelabu.
26 September 2014 adalah hari ketika demokrasi dirampas oleh elit partai.
http://www.dw.de/hari-ketika-demokra...pas/a-17957580
26 September 2014, Demokrasi milik rakyat dirampas oleh orang orang ini:
Link: http://adf.ly/sQfOc
"Saya sedih melihat bangsa ini seolah tercabik dan terbelah ketika Pilpres dan pasca Pilpres. Pilkada langsung atau tidak langsung itu bukan soal pertarungan kubu Jokowi dan Prabowo atau perdebatan koalisi, tapi ini adalah keyakinan kita atas nilai yang paling hakiki dari demokrasi, yaitu partisipasi," kata Bima Arya kepada detikcom, Minggu (28/9/2014).
Menurut ketua DPP PAN itu, rakyat punya hak untuk ikut menentukan masa depan mereka secara langsung dalam pemilihan umum. Karenanya demokrasi itu bukan hanya prosedur, tapi juga nilai.
"Dari Tanah Suci saya mendoakan agar seluruh elite politik di tanah air diberikan kekuatan untuk bisa menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai politik atau kelompok," ujar Bima yang kini berada di Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
"Saya mendoakan agar bangsa indonesia diberikan kekuatan untuk mengelola perbedaan dengan kedewasaan," imbuh politisi PAN itu.
Bima Arya bersama sejumlah kepala daerah di antaranya Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, menolak substansi UU Pilkada yang mengatur kepala daerah dipilih DPRD.
Bima melalui twitter @BimaAryaS pada 19 September 2014, bahkan sudah lebih dulu merespons UU Pilkada yang baru diketok DPR pada (26/9/2014)
"Belum selesai kawan. Masih ada harapan, rapatkan barisan, beri MK kesempatan," tulis Bima Arya di twitter hari ini plus mengunggah fotonya dengan para kepala daerah yang lain seperti Ahok, Ridwan Kamil, Azwar Anas dan lainnya.
http://news.detik.com/read/2014/09/2...kiki-demokrasi
Gue cuma mau memperlihatkan beberapa Foto Foto masa Pilkada Kemaren dimana rakyat Bersukaria ikut serta menyambut Pesta Demokrasi, ya sekarang cuma tinggal kenangan saja masa masa itu, gak ada lagi masa masa seperti itu. Semoga foto foto ini bisa memberikan sedikit gambaran ke anak cucu gue kelak, gimana rakyat bersukaria mengikuti demokrasi sebenarnya
sebuah catatan kecil dari sumber lain:
26 September 2014 adalah hari ketika parlemen merampas suara rakyat.
Mari kita simpan dengan baik kenangan ini: Golkar, Gerindra, PKS, PPP, dan PAN adalah partai-partai yang mendukung penghapusan pemilihan langsung kepala daerah.
Sementara, partai Demokrat yang seharusnya bisa menggagalkan perampasan atas hak rakyat itu memilih walk out, mendiamkan Demokrasi mati dibunuh!
Apa yang terjadi di gedung parlemen pada Jumat pagi itu adalah metafor tentang betapa berbahayanya kekuasaan jika diserahkan kepada para oligark partai.
Jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mendukung pemilihan langsung. Bahkan lebih dari 80 persen pendukung Prabowo Subianto – yang koalisi Merah Putihnya adalah motor utama penghapusan pemilihan kepala daerah langsung – ingin kepala daerah dipilih secara langsung.
Tapi apa yang terjadi di parlemen menunjukkan betapa jauhnya para wakil rakyat terhormat itu dari aspirasi rakyat.
Dalam logika para oligark, ini adalah political struggle untuk bertahan. Jika proses demokratik dibiarkan berjalan, maka kekuasaan mereka akan semakin berkurang. Karena itu tak ada jalan bagi mereka, selain membunuhnya.
Mereka tak ingin fenomena Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini dan Bima Arya terulang. Mereka tak rela "dipaksa menjadi baik" dengan mendukung kandidat yang baik, agar bisa meraih kemenangan elektoral.
Celakalah kita, karena dengan dihapuskannya pemilihan kepala daerah secara langsung, maka tak ada lagi insentif bagi partai untuk berbuat baik.
Pemimpin daerah, kelak akan lebih banyak ditentukan lewat lobi dan transaksi di balik tembok parlemen, atau di bawah meja partai.
Ironisnya, ini terjadi di akhir kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang oleh dunia, dipuji sukses mengkonsolidasikan demokrasi Indonesia.
Yudhoyono, orang yang paling menikmati pemilihan langsung, dan sebetulnya bisa mencegah, membiarkan suara rakyat dirampas. Sebagai nakhoda partai Demokrat, Yudhoyono yang dua periode menikmati kekuasaan karena dipilih secara langsung, membiarkan demokrasi mati di tangan parlemen. Dan ia, seperti biasa, hanya bisa mengeluh, dan menuding anggota fraksinya yang walk out, tidak mematuhi instruksi partai.
Sejarah akan mencatat Jumat ini sebagai hari kelabu.
26 September 2014 adalah hari ketika demokrasi dirampas oleh elit partai.
http://www.dw.de/hari-ketika-demokra...pas/a-17957580
26 September 2014, Demokrasi milik rakyat dirampas oleh orang orang ini:
Link: http://adf.ly/sQfOc