Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mematangkan rencana untuk memberikan gaji kepada para preman parkir di Jakarta sekitar Rp 4 juta per bulan. Kebijakan ini disusun dengan mempertimbangkan hal bahwa setoran parkir yang sedemikian besar bisa masuk ke pemprov dan tidak menguap kepada pihak-pihak yang tidak jelas.
Rencana pemberian upah ke preman sebesar itu hampir dua kali lipat dari nilai upah minimum regional (UMR) DKI sebesar Rp2,2 juta per bulan.
Menurutnya, memberikan upah kepada preman sama halnya dengan menggaji sopir Transjakarta maupun pekerja di Puskesmas. Pemberian gaji ini dimaksudkan sebagai pemberdayaan dengan memberikan pekerjaan yang benar.
Ahok menjelaskan, dengan memberdayakan preman ini diharapkan dapat menggenjot pendapatan Pemprov dari sektor parkir.
"Tak masalah bayar orang dengan baik, yang penting uang parkir masuk kas daerah lebih baik. Kamu gaji orang dua juta, tapi terima income parkir 30 persen. Atau gaji mereka empat juta, tapi income parkir 100 persen masuk kas daerah," ucap dia.
Pendapatan parkir menguap
Ahok memperkirakan setiap tahunnya anggaran parkir menguap di jalanan Ibu Kota. Dia menyebut ada sekitar 70 persen uang parkir hilang. "Retribusi parkir itu tidak masuk ke kas daerah," katanya.
Retribusi ini menguap karena beberapa hal. Selain maraknya parkir liar, manajemen parkir yang masih belum tertata dan swastanisasi perparkiran yang belum tepat juga jadi penyebab hilangnya uang.
Ahok mengaku berupaya menarik retribusi parkir ke kas daerah yang diperkirakan jumlahnya puluhan miliar setiap tahun. Dia menilai perbaikan perparkiran harus segera dilakukan, sebab ini berdampak pada banyak hal.
"Makanya kami upayakan parkir terintegrasi agar mencegah hal tersebut. Jakarta harus pakai itu, termasuk zonasi parkir. Kita bisa bayangkan, dalam studi, kita kehilangan 70 persen pemasukan parkir dari on street," ucapnya.
Sistem parkir terintegrasi akan diterapkan di sejumlah wilayah di DKI Jakarta pada tahun ini. Uji coba parkir terintegrasi ini baru di wilayah perumahan dan ruko-ruko seperti di Kelapa Gading. Setelah itu baru masuk ke tengah Jakarta. Semakin ke tengah kota maka tarifnya makin mahal.
Jadi sistem zonasi ini akan menentukan harga parkir untuk menahan laju kendaraan masuk ke tengah Jakarta. "Biar tak macet, kita kasih harga mahal. Kasih harga Rp50 ribu atau Rp100 ribu. Yang tak kaya-kaya banget kan pasti tak mau. Mereka pasti pindah pakai Transjakarta dan kereta. Macet baru bisa diatasi," ujarnya.
Ia menawarkan pengelolaan ini pada pihak ketiga. Dalam sistem ini Pemprov tidak ingin menggunakan sistem profit sharing. Yang diinginkan adalah revenue sharing. Pihak ketiga akan dilibatkan melalui proses tender.
"Kami bilang 30 persen bagi sama kita. Kalau ada uang masuk Rp10 ribu, Rp3 ribu uang kita yang masuk ke Pemprov, Rp7 ribu urusan dia, dia mau operasional, mau untung rugi urusan dia. Dan modal investasi semua dikeluarkan dari mereka, jadi DKI tidak mengeluarkan modal satu sen pun," kata dia.
Mantan Bupati Belitung Timur ini juga meminta siapapun pemenang tender untuk memasang CCTV. "Tujuannya ada dua. Pertama buat keamanan. Kedua pengawasan sistem pembayaran. Jadi masyarakat bisa lihat betul uang itu masuk kas pemerintah," ucap dia.
Pendekatan kelompok preman
Pengamat Sosial dan Budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati, menilai rencana ini juga sebagai solusi memecahkan masalah sosial dengan memberikan lapangan pekerjaan kepada para preman yang selama ini dianggap sebagai penyakit masyarakat. Dengan memberikan mereka tanggung jawab dengan sendirinya mereka akan melepas jaket preman.
Dia juga tidak khawatir cara ini bisa melegalkan preman dengan digaji tinggi sebagai tukang parkir. "Di luar negeri tidak ada satupun pekerjaan yang hina. Di sana pekerjaan yang spesifik lebih dihargai. Memang kedengarannya ekstrem, tapi harus dimulai," kata dia.
Pengamat Perkotaan, Yayat Supriatna, menambahkan, lewat jalan ini para preman akan merasa 'diorangkan' dan memiliki status. Dia mengatakan, Pemprov DKI memiliki kewajiban untuk membina agar mereka tidak hanya sekadar tukang pungut tapi juga punya tanggung jawab menjaga lingkungan dan ketertiban wilayahnya.
Saat ini yang harus dilakukan oleh Gubernur Jokowi adalah mulai menjalin komunikasi dengan pimpinan kelompok-kelompok yang menguasai perparkiran di Jakarta. Jokowi harus bisa merangkul mereka agar mau diajak kerjasama. "Mereka secara pelan tapi pasti dicabut dari ormas preman dan jadi orang Pemprov DKI," kata Yayat saat dihubungi VIVAnews.
Supaya tidak kembali menyimpang, Pemprov DKI mesti memantau kerja mereka. Masyarakat diminta melaporkan jika masih ada yang memeras dan melakukan tindak kekerasan. Mereka yang melanggar tetap diproses sesuai hukum yang berlaku.
Yayat yakin tidak sulit menerapkan ini. Apalagi, kata dia, aparat DKI mengenal tokoh-tokoh preman. Dengan pendekatan persuasif dan tawaran gaji tinggi, para preman akan kooperatif. Tapi, jika gagal, Pemprov punya kewenangan untuk bertindak. Misalnya, dengan membongkar lokasi parkir liar dan melakukan penangkapan. "DKI punya kekuasaan, tangkapi saja," ujarnya. (bn)
Sumber : http://www.ciputranews.com/tata-kota...rkir-rp-4-juta
Rencana pemberian upah ke preman sebesar itu hampir dua kali lipat dari nilai upah minimum regional (UMR) DKI sebesar Rp2,2 juta per bulan.
Menurutnya, memberikan upah kepada preman sama halnya dengan menggaji sopir Transjakarta maupun pekerja di Puskesmas. Pemberian gaji ini dimaksudkan sebagai pemberdayaan dengan memberikan pekerjaan yang benar.
Ahok menjelaskan, dengan memberdayakan preman ini diharapkan dapat menggenjot pendapatan Pemprov dari sektor parkir.
"Tak masalah bayar orang dengan baik, yang penting uang parkir masuk kas daerah lebih baik. Kamu gaji orang dua juta, tapi terima income parkir 30 persen. Atau gaji mereka empat juta, tapi income parkir 100 persen masuk kas daerah," ucap dia.
Pendapatan parkir menguap
Ahok memperkirakan setiap tahunnya anggaran parkir menguap di jalanan Ibu Kota. Dia menyebut ada sekitar 70 persen uang parkir hilang. "Retribusi parkir itu tidak masuk ke kas daerah," katanya.
Retribusi ini menguap karena beberapa hal. Selain maraknya parkir liar, manajemen parkir yang masih belum tertata dan swastanisasi perparkiran yang belum tepat juga jadi penyebab hilangnya uang.
Ahok mengaku berupaya menarik retribusi parkir ke kas daerah yang diperkirakan jumlahnya puluhan miliar setiap tahun. Dia menilai perbaikan perparkiran harus segera dilakukan, sebab ini berdampak pada banyak hal.
"Makanya kami upayakan parkir terintegrasi agar mencegah hal tersebut. Jakarta harus pakai itu, termasuk zonasi parkir. Kita bisa bayangkan, dalam studi, kita kehilangan 70 persen pemasukan parkir dari on street," ucapnya.
Sistem parkir terintegrasi akan diterapkan di sejumlah wilayah di DKI Jakarta pada tahun ini. Uji coba parkir terintegrasi ini baru di wilayah perumahan dan ruko-ruko seperti di Kelapa Gading. Setelah itu baru masuk ke tengah Jakarta. Semakin ke tengah kota maka tarifnya makin mahal.
Jadi sistem zonasi ini akan menentukan harga parkir untuk menahan laju kendaraan masuk ke tengah Jakarta. "Biar tak macet, kita kasih harga mahal. Kasih harga Rp50 ribu atau Rp100 ribu. Yang tak kaya-kaya banget kan pasti tak mau. Mereka pasti pindah pakai Transjakarta dan kereta. Macet baru bisa diatasi," ujarnya.
Ia menawarkan pengelolaan ini pada pihak ketiga. Dalam sistem ini Pemprov tidak ingin menggunakan sistem profit sharing. Yang diinginkan adalah revenue sharing. Pihak ketiga akan dilibatkan melalui proses tender.
"Kami bilang 30 persen bagi sama kita. Kalau ada uang masuk Rp10 ribu, Rp3 ribu uang kita yang masuk ke Pemprov, Rp7 ribu urusan dia, dia mau operasional, mau untung rugi urusan dia. Dan modal investasi semua dikeluarkan dari mereka, jadi DKI tidak mengeluarkan modal satu sen pun," kata dia.
Mantan Bupati Belitung Timur ini juga meminta siapapun pemenang tender untuk memasang CCTV. "Tujuannya ada dua. Pertama buat keamanan. Kedua pengawasan sistem pembayaran. Jadi masyarakat bisa lihat betul uang itu masuk kas pemerintah," ucap dia.
Pendekatan kelompok preman
Pengamat Sosial dan Budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati, menilai rencana ini juga sebagai solusi memecahkan masalah sosial dengan memberikan lapangan pekerjaan kepada para preman yang selama ini dianggap sebagai penyakit masyarakat. Dengan memberikan mereka tanggung jawab dengan sendirinya mereka akan melepas jaket preman.
Dia juga tidak khawatir cara ini bisa melegalkan preman dengan digaji tinggi sebagai tukang parkir. "Di luar negeri tidak ada satupun pekerjaan yang hina. Di sana pekerjaan yang spesifik lebih dihargai. Memang kedengarannya ekstrem, tapi harus dimulai," kata dia.
Pengamat Perkotaan, Yayat Supriatna, menambahkan, lewat jalan ini para preman akan merasa 'diorangkan' dan memiliki status. Dia mengatakan, Pemprov DKI memiliki kewajiban untuk membina agar mereka tidak hanya sekadar tukang pungut tapi juga punya tanggung jawab menjaga lingkungan dan ketertiban wilayahnya.
Saat ini yang harus dilakukan oleh Gubernur Jokowi adalah mulai menjalin komunikasi dengan pimpinan kelompok-kelompok yang menguasai perparkiran di Jakarta. Jokowi harus bisa merangkul mereka agar mau diajak kerjasama. "Mereka secara pelan tapi pasti dicabut dari ormas preman dan jadi orang Pemprov DKI," kata Yayat saat dihubungi VIVAnews.
Supaya tidak kembali menyimpang, Pemprov DKI mesti memantau kerja mereka. Masyarakat diminta melaporkan jika masih ada yang memeras dan melakukan tindak kekerasan. Mereka yang melanggar tetap diproses sesuai hukum yang berlaku.
Yayat yakin tidak sulit menerapkan ini. Apalagi, kata dia, aparat DKI mengenal tokoh-tokoh preman. Dengan pendekatan persuasif dan tawaran gaji tinggi, para preman akan kooperatif. Tapi, jika gagal, Pemprov punya kewenangan untuk bertindak. Misalnya, dengan membongkar lokasi parkir liar dan melakukan penangkapan. "DKI punya kekuasaan, tangkapi saja," ujarnya. (bn)
Sumber : http://www.ciputranews.com/tata-kota...rkir-rp-4-juta