JAKARTA - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ridha Saleh mengkritik pemberlakukan hukuman mati yang hingga kini masih diterapkan di Indonesia.
Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, penerapan pidana cabut nyawa juga bertolak belakang dengan semangat kovenan internasional tentang hak sipil dan politik.
"Sudah ada UU HAM tapi kita masih memberlakukan hukuman mati, itu juga kontradiktif dengan kovenan internasional," ujar Ridha kepadaOkezone, Minggu (18/1/2015).
Adapun kovenan tersebut, lanjut Ridha, adalah resolusi 44/128 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dalam aturan yang dibuat oleh dunia internasional pada 15 Desember 1989 itu disebutkan bahwa negara anggota diwajibkan untuk melakukan segala upaya untuk menghapus hukuman mati.
"Jadi merujuk aturan itu perlahan pidana mati mesti dicabut," imbuhnya.
Ridha lantas mempertanyakan efek jera yang ditimbulkan dari hukuman cabut nyawa. Menurut dia, tidak ada keterkaitan antara vonis mati dengan pemberantasan narkoba. Sebab, kalaupun para terpidana narkoba masih bisa melakukan transaksi di dalam lapas, hal tersebut dikarenakan kelalaian petugas serta lemahnya pengawasan.
"Tidak menjamin efek jera, toh narkoba juga masih banya, kalau di lapas transaksi ya pengawasannya dong yang dibenahi," tambahnya.
Pendapat berbeda disampaikan anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul. Dia menganggap bahwa pidana mati masih diperlukan. Khususnya pada dua aksi kejahatan yakni narkoba dan terorisme.
Meski di tengah tekanan internasional untuk menghapus hukum cabut nyawa, politikus Partai Demokrat itu menganggap bahwa Malaysia dan Singapura terbukti berhasil mencegah peredaran barang haram tersebut dengan memberlakukan hukuman mati.
"Tanpa mengurangi rasa hormat pada dunia internasional, kasus narkoba memang harus pidana mati, kita tengok negeri tetangga yang ketat, malah peredarannya lari ke Indonesia kan," tutur Ruhut.
(fid)
sumber : okezone
Enak saja dibilang bertantangan dengan HAM
Link: http://adf.ly/wNf3H
Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, penerapan pidana cabut nyawa juga bertolak belakang dengan semangat kovenan internasional tentang hak sipil dan politik.
"Sudah ada UU HAM tapi kita masih memberlakukan hukuman mati, itu juga kontradiktif dengan kovenan internasional," ujar Ridha kepadaOkezone, Minggu (18/1/2015).
Adapun kovenan tersebut, lanjut Ridha, adalah resolusi 44/128 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dalam aturan yang dibuat oleh dunia internasional pada 15 Desember 1989 itu disebutkan bahwa negara anggota diwajibkan untuk melakukan segala upaya untuk menghapus hukuman mati.
"Jadi merujuk aturan itu perlahan pidana mati mesti dicabut," imbuhnya.
Ridha lantas mempertanyakan efek jera yang ditimbulkan dari hukuman cabut nyawa. Menurut dia, tidak ada keterkaitan antara vonis mati dengan pemberantasan narkoba. Sebab, kalaupun para terpidana narkoba masih bisa melakukan transaksi di dalam lapas, hal tersebut dikarenakan kelalaian petugas serta lemahnya pengawasan.
"Tidak menjamin efek jera, toh narkoba juga masih banya, kalau di lapas transaksi ya pengawasannya dong yang dibenahi," tambahnya.
Pendapat berbeda disampaikan anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul. Dia menganggap bahwa pidana mati masih diperlukan. Khususnya pada dua aksi kejahatan yakni narkoba dan terorisme.
Meski di tengah tekanan internasional untuk menghapus hukum cabut nyawa, politikus Partai Demokrat itu menganggap bahwa Malaysia dan Singapura terbukti berhasil mencegah peredaran barang haram tersebut dengan memberlakukan hukuman mati.
"Tanpa mengurangi rasa hormat pada dunia internasional, kasus narkoba memang harus pidana mati, kita tengok negeri tetangga yang ketat, malah peredarannya lari ke Indonesia kan," tutur Ruhut.
(fid)
sumber : okezone
Enak saja dibilang bertantangan dengan HAM
Link: http://adf.ly/wNf3H

