JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti Brainware Institute Taufik Bahauddin menilai, agenda pemberantasan korupsi dalam 100 hari pemerintahan Joko Widodo masih belum jelas. Dia berpendapat, hal itu terjadi karena karakter Jokowi sendiri.
Contoh pertama, yakni saat Jokowi tiba-tiba mengganti kepala Polri. Padahal, Jenderal (Pol) Sutarman baru akan pensiun pada Oktober mendatang. Hal itu bertolak belakang dengan pernyataannya yang menyebutkan tidak ingin tergesa-gesa memilih kepala Polri.
"Saya tidak heran, Jokowi selalu lupa dengan apa yang sudah diucapkannya sendiri," ujar Taufik saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (28/1/2015) pagi.
"Padahal Jokowi orang Jawa. Kalau di Jawa itu ada yang bilang seorang pimpinan harus berpegang pada sabdo pandito ratu. Janji pendekar enggak bisa di-candak empat kuda paling cepat sekalipun," lanjut dia.
Contoh kedua, pada saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi berkali-kali berjanji tidak akan bagi-bagi kursi. Namun, yang terjadi sebaliknya. Banyak jabatan politik yang seharusnya diisi oleh pakar, akademisi, dan profesional, tetapi malah diisi oleh tokoh partai politik.
Taufik menyebut, bagi-bagi jatah terlihat dalam penyusunan di Kabinet Kerja, Dewan Pertimbangan Presiden, dan lembaga staf kepresidenan. (Baca: Gerindra: Wantimpres Bagian dari Terima Kasih, Koalisi Tanpa Syarat Hanya Janji Belaka)
"Presiden kemudian tampil di publik dengan cengar-cengir saja. Tidak ada rasa bersalah atau menyesal jika melanggar janji serius," lanjut Taufik.
Contoh ketiga, saat Jokowi menyebutkan bahwa penunjukan Komjen Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri merupakan usulan Kompolnas. Taufik melihat pernyataan Jokowi itu sama sekali tak memiliki tanggung jawab sebagai orang nomor satu di Indonesia. Jokowi terkesan "buang badan".
Di sisi lain, Jokowi juga mendapat sorotan atas keputusannya memilih Budi. Pasalnya, keputusan itu diambil tanpa melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
"Alasan Jokowi saat itu karena hak prerogatif presiden, jadi enggak usah disampaikan dulu ke KPK. Dia ini kelihatan tricky banget dan rendah sekali moralnya," lanjut Taufik.
Atas sejumlah contoh itu, Taufik mengatakan bahwa publik jangan berharap banyak Jokowi akan serius menangani pemberantasan korupsi di Indonesia. Nilai kejujuran, amanah, dan tanggung jawab seorang presiden saja tidak muncul. (Baca: Banyak Transaksi Politik, Revolusi Mental Jokowi Mulai Dipertanyakan)
"Jadi, sebenarnya, yang perlu direvolusi mental itu Presiden dulu, baru ke yang lainnya," ujar Taufik Sumber (nasional.kompas.com)
Link: http://adf.ly/wjWF2
Contoh pertama, yakni saat Jokowi tiba-tiba mengganti kepala Polri. Padahal, Jenderal (Pol) Sutarman baru akan pensiun pada Oktober mendatang. Hal itu bertolak belakang dengan pernyataannya yang menyebutkan tidak ingin tergesa-gesa memilih kepala Polri.
"Saya tidak heran, Jokowi selalu lupa dengan apa yang sudah diucapkannya sendiri," ujar Taufik saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (28/1/2015) pagi.
"Padahal Jokowi orang Jawa. Kalau di Jawa itu ada yang bilang seorang pimpinan harus berpegang pada sabdo pandito ratu. Janji pendekar enggak bisa di-candak empat kuda paling cepat sekalipun," lanjut dia.
Contoh kedua, pada saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi berkali-kali berjanji tidak akan bagi-bagi kursi. Namun, yang terjadi sebaliknya. Banyak jabatan politik yang seharusnya diisi oleh pakar, akademisi, dan profesional, tetapi malah diisi oleh tokoh partai politik.
Taufik menyebut, bagi-bagi jatah terlihat dalam penyusunan di Kabinet Kerja, Dewan Pertimbangan Presiden, dan lembaga staf kepresidenan. (Baca: Gerindra: Wantimpres Bagian dari Terima Kasih, Koalisi Tanpa Syarat Hanya Janji Belaka)
"Presiden kemudian tampil di publik dengan cengar-cengir saja. Tidak ada rasa bersalah atau menyesal jika melanggar janji serius," lanjut Taufik.
Contoh ketiga, saat Jokowi menyebutkan bahwa penunjukan Komjen Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri merupakan usulan Kompolnas. Taufik melihat pernyataan Jokowi itu sama sekali tak memiliki tanggung jawab sebagai orang nomor satu di Indonesia. Jokowi terkesan "buang badan".
Di sisi lain, Jokowi juga mendapat sorotan atas keputusannya memilih Budi. Pasalnya, keputusan itu diambil tanpa melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
"Alasan Jokowi saat itu karena hak prerogatif presiden, jadi enggak usah disampaikan dulu ke KPK. Dia ini kelihatan tricky banget dan rendah sekali moralnya," lanjut Taufik.
Atas sejumlah contoh itu, Taufik mengatakan bahwa publik jangan berharap banyak Jokowi akan serius menangani pemberantasan korupsi di Indonesia. Nilai kejujuran, amanah, dan tanggung jawab seorang presiden saja tidak muncul. (Baca: Banyak Transaksi Politik, Revolusi Mental Jokowi Mulai Dipertanyakan)
"Jadi, sebenarnya, yang perlu direvolusi mental itu Presiden dulu, baru ke yang lainnya," ujar Taufik Sumber (nasional.kompas.com)
Link: http://adf.ly/wjWF2