MUI Bogor: Imigran Syiah suburkan pelacuran di Puncak.
Resah dengan maraknya pelacuran di kawasan Puncak, seorang aktivis Islam mengambil inisiatif untuk mendatangi lokasi. Tujuannya mencari tahu, sekaligus mengingatkan bahwa "bisnis" ini dapat merusak moral masyarakat.
Namun, alih-alih imbauannya didengarkan, pemuda ini justru memicu kemarahan para warga. Mereka –yang diantaranya para mucikari- lalu mengambil botol dan menghampirinya. Berkali-kali ayunan botol itu bersarang di kepalanya dan tinjuan bertubi-tubi melayang ke wajahnya. Beruntung, aktivis tersebut masih selamat.
Itulah gambaran dampak buruk maraknya bisnis pelacuran di kawasan berhawa sejuk Kabupaten Bogor, Jawa Barat tersebut. Para ulama mengaku kian resah, karena keberadaan bisnis esek-esek tersebut semakin subur setelah kedatangan para imigran gelap.
Ketua Bidang Pengkajian, Penelitian, dan Aliran Sesat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor, KH. Muhammad Zen Mahfudin menilai, kawasan wisata Puncak menjadi ladang empuk para imigran menjadi pekerja bisnis haram ini.
"Saya gak mau sebut wanita susila, mereka ini pelacur!" ujarnya saat ditemui dua anggota Jurnalis Islam Bersatu, Muhammad Pizaro dan Fajar Shadiq di kediamannya, desa Cipayung, Kecamatan Cisarua.
Pria yang akrab disapa Kyai Zen ini makin merasa iba melihat respon masyarakat. Warga yang harusnya menolak, justru merasa tenang-tenang saja karena mendapatkan keuntungan ekonomi. Akhirnya, tidak sedikit dari warga yang menerima kehadiran imigran gelap.
"Kalau sudah urusan fulus, memang susah," tegasnya.
Pangkal masalah ini, kata Kyai Zen, berangkat dari konsep nikah mut'ah para imigran Syiah.Pihak MUI sendiri sudah mengingatkan warga tentang bahaya ini. Apalagi sekarang MUI hadir sampai tingkat desa.
"Respon masyarakat acuh saja, orang mau mengingatkan saja dipukuli," ujarnya cemas.
Berdasarkan keterangan Kantor Kelas II Imigrasi Bogor, ada sekitar 600 imigran gelap di Bogor. Dari jumlah itu, setengahnya berasal dari Afghanistan. Sisanya berasal dari Pakistan, Somalia dan Rohingya.
"Mayoritas Imigran Afghanistan adalah pengikut Syiah dari etnis Hazara," ujar Dede Sulaeman, Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian.
Namun, Dede mengaku tidak bisa memastikan jumlah para imigran di Bogor setiap bulannya, karena mereka selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain. "Sekarang bisa berkurang menjadi 300, bisa juga bertambah menjadi 1000," paparnya.
Dede menerangkan Indonesia menjadi tujuan utama para imigran karena pihak UNHCR mudah mengeluarkan sertifikat para pengungsi. Selanjutnya Puncak menjadi sasaran hunian para imigran karena iklimnya mendukung.
"Puncak ini cuacanya sejuk, masyarakatnya juga ramah-ramah," terangnya.
Selain masalah prostitusi, persoalan dihadapi para ulama adalah gaya hidup para imigran Syiah. Mereka gemar menenggak minuman keras hingga pagi. "Malam jadi siang, siang jadi malam," sindir Kyai Zen yang melihat para imigran memilih tidur saat adzan Subuh.(azm/arrahmah.com)
sumber (www.arrahmah.com)
Link: http://adf.ly/veaCV
Resah dengan maraknya pelacuran di kawasan Puncak, seorang aktivis Islam mengambil inisiatif untuk mendatangi lokasi. Tujuannya mencari tahu, sekaligus mengingatkan bahwa "bisnis" ini dapat merusak moral masyarakat.
Namun, alih-alih imbauannya didengarkan, pemuda ini justru memicu kemarahan para warga. Mereka –yang diantaranya para mucikari- lalu mengambil botol dan menghampirinya. Berkali-kali ayunan botol itu bersarang di kepalanya dan tinjuan bertubi-tubi melayang ke wajahnya. Beruntung, aktivis tersebut masih selamat.
Itulah gambaran dampak buruk maraknya bisnis pelacuran di kawasan berhawa sejuk Kabupaten Bogor, Jawa Barat tersebut. Para ulama mengaku kian resah, karena keberadaan bisnis esek-esek tersebut semakin subur setelah kedatangan para imigran gelap.
Ketua Bidang Pengkajian, Penelitian, dan Aliran Sesat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor, KH. Muhammad Zen Mahfudin menilai, kawasan wisata Puncak menjadi ladang empuk para imigran menjadi pekerja bisnis haram ini.
"Saya gak mau sebut wanita susila, mereka ini pelacur!" ujarnya saat ditemui dua anggota Jurnalis Islam Bersatu, Muhammad Pizaro dan Fajar Shadiq di kediamannya, desa Cipayung, Kecamatan Cisarua.
Pria yang akrab disapa Kyai Zen ini makin merasa iba melihat respon masyarakat. Warga yang harusnya menolak, justru merasa tenang-tenang saja karena mendapatkan keuntungan ekonomi. Akhirnya, tidak sedikit dari warga yang menerima kehadiran imigran gelap.
"Kalau sudah urusan fulus, memang susah," tegasnya.
Pangkal masalah ini, kata Kyai Zen, berangkat dari konsep nikah mut'ah para imigran Syiah.Pihak MUI sendiri sudah mengingatkan warga tentang bahaya ini. Apalagi sekarang MUI hadir sampai tingkat desa.
"Respon masyarakat acuh saja, orang mau mengingatkan saja dipukuli," ujarnya cemas.
Berdasarkan keterangan Kantor Kelas II Imigrasi Bogor, ada sekitar 600 imigran gelap di Bogor. Dari jumlah itu, setengahnya berasal dari Afghanistan. Sisanya berasal dari Pakistan, Somalia dan Rohingya.
"Mayoritas Imigran Afghanistan adalah pengikut Syiah dari etnis Hazara," ujar Dede Sulaeman, Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian.
Namun, Dede mengaku tidak bisa memastikan jumlah para imigran di Bogor setiap bulannya, karena mereka selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain. "Sekarang bisa berkurang menjadi 300, bisa juga bertambah menjadi 1000," paparnya.
Dede menerangkan Indonesia menjadi tujuan utama para imigran karena pihak UNHCR mudah mengeluarkan sertifikat para pengungsi. Selanjutnya Puncak menjadi sasaran hunian para imigran karena iklimnya mendukung.
"Puncak ini cuacanya sejuk, masyarakatnya juga ramah-ramah," terangnya.
Selain masalah prostitusi, persoalan dihadapi para ulama adalah gaya hidup para imigran Syiah. Mereka gemar menenggak minuman keras hingga pagi. "Malam jadi siang, siang jadi malam," sindir Kyai Zen yang melihat para imigran memilih tidur saat adzan Subuh.(azm/arrahmah.com)
sumber (www.arrahmah.com)
Link: http://adf.ly/veaCV