Ada 12.000 Mahasiswa Indonesia di Australia per Tahun, tapi Cuma 50 orang Mahasiswa Australia ke Indonesia per tahun
Posted on May 1, 2013
Asia Researh Centre (ARC) Murdoch University mengadakan pertemuan dan afternoon tea bersama Rene Kawilarang, jurnalis Indonesia penerima Elizabeth O�Neil Award Award dari pemerintah Australia, 28 Pebruari 2013.
Petrus Malo Bulu, mahasiswa PhD Murdoch University, yang hadir pada pertemuan tersebut, mencatat beberapa isu penting dari pertemuan tersebut.
Pertama, mengenai perbandingan jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di universitas Australia, rata-rata per tahun 12 ribu orang, sedangkan mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia hanya sekitar 50 orang per tahun. Yang mengejutkan dari 50 orang ini, tidak satu pun yang terdaftar sebagai international student, kebanyakan hanya belajar bahasa Indonesia di Yogyakarta atau daerah lain di Indonesia.
Kedua, dari isu pertama muncul masalah berikutnya, yaitu kesiapan universitas di Indonesia dalam menjawab standar atau permintaan dari calon mahasiswa baik dari Australia maupun negara lain untuk belajar di Indonesia. Apakah universitas di Indonesia sudah menyadari dan peduli dengan kriteria atau standar minimal yang dibutuhkan?
Image
Untuk menjawab kedua isu tersbut, ada beberapa hal penting yang perlu menjadi perhatian khusus semua pihak.
Soal SDM universitas (dosen), kalau dibandingkan dengan dosen di Australia atau bahkan di beberapa negara lain di Asia, dosen di Indonesia termasuk dalam kategori low paid researchers.
Di samping itu, dosen di Indonesia belum punya posisi tawar yang kuat kepada pemerintah untuk mendapatkan penghasilan atau pay rate yang memadai, sehingga dosen dapat menjadi pribadi yang berkualitas tidak saja dalam hal keilmuan tapi ekonominya kuat sehingga dia kemudian dapat melakukan penelitian secara mandiri dan berkualitas.
Prof. David Hill dari Asia Research Centre dan ketua jurusan Asian Studies di Murdoch University menjelaskan bahwa di Australia dosen mereka memiliki asosiasi yang memayungi kepentingan mereka, yang jika dibutuhkan melakukan negosiasi atau lobi kepada pemerintah untuk menaikan gaji mereka, sementara di Indonesia sampai saat ini asosiasi semacam ini belum ada. Bahkan guru di Indonesia lebih maju selangkah karena mereka sudah punya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Parahnya lagi, dosen di Indonesia lebih disibukan dengan pekerjaan yang padat dan dibebani oleh padatnya jadwal memberikan kuliah yang menyita hampir seluruh waktu mereka sehingga dalam waktu yang bersamaan tidak mungkin dapat melakukan penelitian yang berkualitas.
Image
Satu pertanyaan menarik dari Prof. David Hill adalah mungkinkah dosen di Indonesia menjadi dosen terbang di beberapa universitas di luar negeri?
Menurut Asep Iqbal, mahasiswa PhD Murdoch University, Australia dengan Asia Century White Paper-nya memandang (kembali) Indonesia sebagai negara yang patut diperhitungkan dalam perkembangan ekonomi awal abad ini, termasuk dengan niat meningkatkan kembali pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dan kampus Australia. Tinggal masalahnya apakah pemerintah kita, dan civil society di Indonesia, termasuk dosen, bisa menangkap momentum ini secara memadai untuk kebaikan dan keuntungan Indonesia-Australia. Sejauh ini keseriusan lebih terlihat dari pihak Kangguru (Australia) daripada Garuda (Indonesia). Respon memadai juga belum terlihat dari diplomat-diplomat Indonesia di Australia, yang nampaknya lebih banyak sibuk dengan kegiatan rutinitas.
Petrus menambahkan bahwa Australia tahu betul potensi Indonesia dalam meningkatkan keuntungan bagi Australia, terutama dalam hal perdagangan, misalnya, masalah ekspor-impor sapi potong dan potensi tambang Indonesia menjadi fokus Australia akhir-akhir ini. Di Sumba pengusaha Australia mendapat izin eksplorasi emas dari Gubernur NTT, yang saat ini sedang mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat. Ada juga tambang garam di Nagakeo oleh CETAM Australia yang merupakan penambangan garam terbesar di Asia, tetapi belum jelas karena masalah hak guna usaha.
Kapankah Indonesia benar-benar serius melihat peluang bisnis di Australia? Syukur masih ada mahasiswa yang sedang belajar di Australia yang mengambil peluang bisnis walau seadanya.
Siska, mahasiswa Master Veterinary, menambahkan bahwa kualitas pendidikan veterinary di Indonesia dan banyak negara berkembang masih ketinggalan beberapa puluh tahun dibanding Australia, Eropa Barat dan AS.
Image
Taufik, mahasiswa PhD Murdoch University melihat bahwa memang Kangguru dan Garuda tak pernah bisa akur karena medan jelajahnya jauh berbeda. Garuda selalu mengawang angkasa jauh dari tanah, sedangkan kangguru memang menjejak di tanah. Dengan kata lain, banyak program kerja pemerintah Garuda yang mengawang terus dan hanya bertengger di pepohonan yang masih jauh dari akar rumput, sedangkan Kangguru memang serius dan telaten dengan akar rumput. Apakah kita salah memilih lambang negara? (petrus/ganjar/asep)
About these ads
sumber http://muisamurdoch.wordpress.com/2013/05/01/ada-12-000-mahasiswa-indonesia-di-australia-per-tahun-tapi-cuma-50-orang-mahasiswa-australia-ke-indonesia-per-tahun/
Posted on May 1, 2013
Asia Researh Centre (ARC) Murdoch University mengadakan pertemuan dan afternoon tea bersama Rene Kawilarang, jurnalis Indonesia penerima Elizabeth O�Neil Award Award dari pemerintah Australia, 28 Pebruari 2013.
Petrus Malo Bulu, mahasiswa PhD Murdoch University, yang hadir pada pertemuan tersebut, mencatat beberapa isu penting dari pertemuan tersebut.
Pertama, mengenai perbandingan jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di universitas Australia, rata-rata per tahun 12 ribu orang, sedangkan mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia hanya sekitar 50 orang per tahun. Yang mengejutkan dari 50 orang ini, tidak satu pun yang terdaftar sebagai international student, kebanyakan hanya belajar bahasa Indonesia di Yogyakarta atau daerah lain di Indonesia.
Kedua, dari isu pertama muncul masalah berikutnya, yaitu kesiapan universitas di Indonesia dalam menjawab standar atau permintaan dari calon mahasiswa baik dari Australia maupun negara lain untuk belajar di Indonesia. Apakah universitas di Indonesia sudah menyadari dan peduli dengan kriteria atau standar minimal yang dibutuhkan?
Image
Untuk menjawab kedua isu tersbut, ada beberapa hal penting yang perlu menjadi perhatian khusus semua pihak.
Soal SDM universitas (dosen), kalau dibandingkan dengan dosen di Australia atau bahkan di beberapa negara lain di Asia, dosen di Indonesia termasuk dalam kategori low paid researchers.
Di samping itu, dosen di Indonesia belum punya posisi tawar yang kuat kepada pemerintah untuk mendapatkan penghasilan atau pay rate yang memadai, sehingga dosen dapat menjadi pribadi yang berkualitas tidak saja dalam hal keilmuan tapi ekonominya kuat sehingga dia kemudian dapat melakukan penelitian secara mandiri dan berkualitas.
Prof. David Hill dari Asia Research Centre dan ketua jurusan Asian Studies di Murdoch University menjelaskan bahwa di Australia dosen mereka memiliki asosiasi yang memayungi kepentingan mereka, yang jika dibutuhkan melakukan negosiasi atau lobi kepada pemerintah untuk menaikan gaji mereka, sementara di Indonesia sampai saat ini asosiasi semacam ini belum ada. Bahkan guru di Indonesia lebih maju selangkah karena mereka sudah punya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Parahnya lagi, dosen di Indonesia lebih disibukan dengan pekerjaan yang padat dan dibebani oleh padatnya jadwal memberikan kuliah yang menyita hampir seluruh waktu mereka sehingga dalam waktu yang bersamaan tidak mungkin dapat melakukan penelitian yang berkualitas.
Image
Satu pertanyaan menarik dari Prof. David Hill adalah mungkinkah dosen di Indonesia menjadi dosen terbang di beberapa universitas di luar negeri?
Menurut Asep Iqbal, mahasiswa PhD Murdoch University, Australia dengan Asia Century White Paper-nya memandang (kembali) Indonesia sebagai negara yang patut diperhitungkan dalam perkembangan ekonomi awal abad ini, termasuk dengan niat meningkatkan kembali pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dan kampus Australia. Tinggal masalahnya apakah pemerintah kita, dan civil society di Indonesia, termasuk dosen, bisa menangkap momentum ini secara memadai untuk kebaikan dan keuntungan Indonesia-Australia. Sejauh ini keseriusan lebih terlihat dari pihak Kangguru (Australia) daripada Garuda (Indonesia). Respon memadai juga belum terlihat dari diplomat-diplomat Indonesia di Australia, yang nampaknya lebih banyak sibuk dengan kegiatan rutinitas.
Petrus menambahkan bahwa Australia tahu betul potensi Indonesia dalam meningkatkan keuntungan bagi Australia, terutama dalam hal perdagangan, misalnya, masalah ekspor-impor sapi potong dan potensi tambang Indonesia menjadi fokus Australia akhir-akhir ini. Di Sumba pengusaha Australia mendapat izin eksplorasi emas dari Gubernur NTT, yang saat ini sedang mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat. Ada juga tambang garam di Nagakeo oleh CETAM Australia yang merupakan penambangan garam terbesar di Asia, tetapi belum jelas karena masalah hak guna usaha.
Kapankah Indonesia benar-benar serius melihat peluang bisnis di Australia? Syukur masih ada mahasiswa yang sedang belajar di Australia yang mengambil peluang bisnis walau seadanya.
Siska, mahasiswa Master Veterinary, menambahkan bahwa kualitas pendidikan veterinary di Indonesia dan banyak negara berkembang masih ketinggalan beberapa puluh tahun dibanding Australia, Eropa Barat dan AS.
Image
Taufik, mahasiswa PhD Murdoch University melihat bahwa memang Kangguru dan Garuda tak pernah bisa akur karena medan jelajahnya jauh berbeda. Garuda selalu mengawang angkasa jauh dari tanah, sedangkan kangguru memang menjejak di tanah. Dengan kata lain, banyak program kerja pemerintah Garuda yang mengawang terus dan hanya bertengger di pepohonan yang masih jauh dari akar rumput, sedangkan Kangguru memang serius dan telaten dengan akar rumput. Apakah kita salah memilih lambang negara? (petrus/ganjar/asep)
About these ads
sumber http://muisamurdoch.wordpress.com/2013/05/01/ada-12-000-mahasiswa-indonesia-di-australia-per-tahun-tapi-cuma-50-orang-mahasiswa-australia-ke-indonesia-per-tahun/