SICOM Dalam debat pasangan Capres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), terungkap visi misi pasangan Capres nomor urut Dua (2), tentang Politik Anggaran layak diacungi jempol.
Debat capres antara pasangan Pabowo-Hatta Rajasa (Prahara)pasangan nomor urut satu dengan Joko Widodo- Yusuf Kalla (dobel JK)pasangan nomor urut dua menunjukkan perbedaan sangat mencolok. Terutama saat pasangan capres nomor dua mengutarakan visi misi terkait penanganan pemerintah daerah.
Politik anggaran, demikian Jokowi menyebutnya, sebagai senjata paling ampuh untuk menekan pemerintah daerah agar tidak melakukan â??perlawananâ?? terhadap program pemerintah pusat guna mengatasi kesenjangan ekonomi maupun pembangunan yang seharusnya bisa menjadi alat peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah.
Selama ini menurut Jokowi, pemerintah pusat tidak mau melakukan kebijakan Politik Anggaran, sehingga pemerintah daerah banyak melakukan penyimpangan dan pembangunan yang tidak tepat dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah.
Ketidakmauan pemerintah pusat melakukan Politik Anggaran yang akan memberikan â??rewardâ?? jika pemerintah daerah sukses mendukung berbagai program yang telah ditetapkan pemerintah pusat, membuat banyaknya terjadi kasus korupsi dan tidak meningkatnya kesejahteraan masyarakat daerah. Sebaliknya pemeri ntah pusat seharusnya melakukan pemotongan anggaran jika pemerintah tidak bisa menyerap anggaran yang telah ditetapkan bagi pembangunan yang berdampak pada peningkatan taraf hidup, kesehatan maupun pendidikan warganya.
Keenggagan itu menurut Jokowi Capres pilihan rakyat itu, lantaran pemerintah tidak memiliki program yang jelas guna mengawasi program-program pembanguann daerah dari satu pintu, yaitu lewat Menteri Dalam Negeri.
Bagi pasangan Jokowi- JK, rakyat merupakan segalanya, termasuk sasaran pokok ekses pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Jokowi juga mengatakan sudah selayaknya partai menjadikan kader terbaiknya sebagai pemimpin bangsa seperti yang dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebab jika hanya para pertinggi atau pemimpin partai yang berhak maju dalam pilpres, padahal track record, kecerdasan, kebersihan dan tidak pernah terlibat pelanggaran hukum maupun kejujurannya meragukan, tidak selayaknya tetap ngotot mengikuti pilpres.
Karenanya, dalam debat visi misi terkait politik anggaran yang disampaikan Jokowi membuat kalangan birokrat pemerintah daerah menjadi ketar-ketir.
Sementara pasangan Prahara (Prabowo-Hatta), justru sebaliknya. Dalam debat tersebut justru memberikan angin segar kepada para abdi negara dengan menjanjikan kenaikan gaji dan menambah kesejahteraan dengan alasan untuk memberantas korupsi yang kini melanda setiap aparatur negara baik di tingkat pusat hingga daerah.
Tentu saja dari dua hal itu saja, kita bisa menyimpulkan, kualitas , kerangka berpikir dan pembelaan para capres kepada rakyat secara gamblang bisa terbaca. Ditambah lagi pasangan Jokowi-JK cenderung melakukan koalisi ramping, tidak memberlakukan barter kursi pada partai pendukung, pengalaman dalam pemerintahan, terbukti jujur dan tidak hanya retorika belaka. Sebaliknya jika dibandingkan pasangan yang haus kekuasaan, menghalalkan segala cara, kongkalikong, koalisi gemuk pasangan capres Prahara (Prabowo- Hatta Rajasa) jelas-jelas menggambarkan siapa yang layak memimpin dan menduduki jabatan sebagai pelayan rakyat Indonesia mendatang.***
sumber : http://www.siagaindonesia.com/2014/0...arkan-birokrat
Debat capres antara pasangan Pabowo-Hatta Rajasa (Prahara)pasangan nomor urut satu dengan Joko Widodo- Yusuf Kalla (dobel JK)pasangan nomor urut dua menunjukkan perbedaan sangat mencolok. Terutama saat pasangan capres nomor dua mengutarakan visi misi terkait penanganan pemerintah daerah.
Politik anggaran, demikian Jokowi menyebutnya, sebagai senjata paling ampuh untuk menekan pemerintah daerah agar tidak melakukan â??perlawananâ?? terhadap program pemerintah pusat guna mengatasi kesenjangan ekonomi maupun pembangunan yang seharusnya bisa menjadi alat peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah.
Selama ini menurut Jokowi, pemerintah pusat tidak mau melakukan kebijakan Politik Anggaran, sehingga pemerintah daerah banyak melakukan penyimpangan dan pembangunan yang tidak tepat dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah.
Ketidakmauan pemerintah pusat melakukan Politik Anggaran yang akan memberikan â??rewardâ?? jika pemerintah daerah sukses mendukung berbagai program yang telah ditetapkan pemerintah pusat, membuat banyaknya terjadi kasus korupsi dan tidak meningkatnya kesejahteraan masyarakat daerah. Sebaliknya pemeri ntah pusat seharusnya melakukan pemotongan anggaran jika pemerintah tidak bisa menyerap anggaran yang telah ditetapkan bagi pembangunan yang berdampak pada peningkatan taraf hidup, kesehatan maupun pendidikan warganya.
Keenggagan itu menurut Jokowi Capres pilihan rakyat itu, lantaran pemerintah tidak memiliki program yang jelas guna mengawasi program-program pembanguann daerah dari satu pintu, yaitu lewat Menteri Dalam Negeri.
Bagi pasangan Jokowi- JK, rakyat merupakan segalanya, termasuk sasaran pokok ekses pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Jokowi juga mengatakan sudah selayaknya partai menjadikan kader terbaiknya sebagai pemimpin bangsa seperti yang dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebab jika hanya para pertinggi atau pemimpin partai yang berhak maju dalam pilpres, padahal track record, kecerdasan, kebersihan dan tidak pernah terlibat pelanggaran hukum maupun kejujurannya meragukan, tidak selayaknya tetap ngotot mengikuti pilpres.
Karenanya, dalam debat visi misi terkait politik anggaran yang disampaikan Jokowi membuat kalangan birokrat pemerintah daerah menjadi ketar-ketir.
Sementara pasangan Prahara (Prabowo-Hatta), justru sebaliknya. Dalam debat tersebut justru memberikan angin segar kepada para abdi negara dengan menjanjikan kenaikan gaji dan menambah kesejahteraan dengan alasan untuk memberantas korupsi yang kini melanda setiap aparatur negara baik di tingkat pusat hingga daerah.
Tentu saja dari dua hal itu saja, kita bisa menyimpulkan, kualitas , kerangka berpikir dan pembelaan para capres kepada rakyat secara gamblang bisa terbaca. Ditambah lagi pasangan Jokowi-JK cenderung melakukan koalisi ramping, tidak memberlakukan barter kursi pada partai pendukung, pengalaman dalam pemerintahan, terbukti jujur dan tidak hanya retorika belaka. Sebaliknya jika dibandingkan pasangan yang haus kekuasaan, menghalalkan segala cara, kongkalikong, koalisi gemuk pasangan capres Prahara (Prabowo- Hatta Rajasa) jelas-jelas menggambarkan siapa yang layak memimpin dan menduduki jabatan sebagai pelayan rakyat Indonesia mendatang.***
sumber : http://www.siagaindonesia.com/2014/0...arkan-birokrat