Agum: Prabowo Mengaku Tangkap Aktivis Atas Perintah Soeharto
10 Juni 2014 19:13 wib
Metrotvnews.com, Jakarta: Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Prabowo Subianto mengaku mengerahkan pasukannya untuk menangkap sejumlah aktivis dalam unjuk rasa massal menuntut reformasi pemerintahan pada 1998 atas dasar perintah Presiden Soeharto, yang saat itu dituntut mundur. Pengakuan diungkapkan Calon Presiden Nomor Urut 1 itu kepada Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri), Jenderal (Purn) Agum Gumelar, April lalu.
"Soal perintah dari atasan, ketika Prabowo datang ke Pepabri, beliau menyampaikan bahwa apa yang dilakukannya pada waktu itu atas perintah. Saya bertanya; perintah siapa? Perintah (mantan) Presiden Soeharto," kata Agum dalam program Primetime News Metro TV, Selasa (10/6/2014).
Jawaban Prabowo itu mengejutkan Agum. Pasalnya, mantan Menko Polhukam zaman Gus Dur itu tidak mendengar kesaksian Prabowo saat diperiksa Dewan Kehormatan Perwira (DKP), belasan tahun lalu. Terlebih, sekenal Agum, Soeharto bukan orang yang langsung menyuruh tanpa tahapan tertentu. Karenanya, Agum agak menyangsikan keterangan Prabowo. "Saya juga agak kaget, kenapa ketika pemeriksaan di DKP keterangan ini tidak ada?" "Sekarang pertanyaannya, apakah benar Soeharto memerintahkan? Saya tahu sendiri Pak Harto tidak seperti itu. Saya tidak yakin. Tapi, sekarang Soeharto sudah tidak ada," katanya.
Penjelasan Agum itu untuk meluruskan terkait bocornya surat rekomendasi DKP tentang pemberhentian Prabowo Subianto dari kemiliteran. Surat itu menjadi buah bibir menjelang Pemilu Presiden 2014 yang diikuti Prabowo sebagai capres.
http://pemilu.metrotvnews.com/read/2...intah-soeharto
Ini Kata SBY soal Kisruh Pemecatan Prabowo
Selasa, 10 Juni 2014 , 14:46:00
JAKARTA--Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara atas kisruh bocornya surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP), atas nama Prabowo Subianto yang turut ditandatanganinya pada 21 Agustus 1998 silam.
Melalui Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, SBY tidak menyebut perihal DKP yang disebut telah ditandatanganinya. Melainkan membenarkan adanya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 62 tahun 1998 yang dikeluarkan presiden saat itu, Habibie, terkait pemberhentian secara hormat terhadap Prabowo.
"Yang bisa kami sampaikan adalah bahwa benar kepres 62/1998 tersebut dikeluarkan oleh Presiden Habibie yang intinya menyatakan pemberhentian dengan hormat dan dengan hak pensiun kepada Prabowo Subianto," ujar Julian di kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa, (10/6).
Menurutnya Keppres itu merujuk pada surat dan usulan Menhankam Pangab yang saat itu dijabat oleh Jenderal TNI Wiranto.
Julian mengaku tidak ada penjelasan lainnya terkait DKP yang ramai dibicarakan di media massa. Presiden hanya membenarkan adanya keppres tersebut. "Yang saya ketahui dari keppres adalah memperhatikan surat Menhankampangab saat itu soal pemberhentian dengan hormat Prabowo dari kedinasan TNI. Tidak ada menyebutkan DKP dalam keppres dan saya hanya bisa menanggapi tentang keppres," tegas Julian.
Seperti diketahui, surat yang disebut sebagai keputusan DKP itu kini beredar luas di media sosial. Dalam surat tersebut tertulis bahwa keputusan DKP dibuat pada 21 Agustus 1998.
Surat berklasifikasi rahasia tersebut ditandatangani para petinggi TNI saat itu, antara lain Subagyo HS sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, Djamari Chaniago, Ari J Kumaat, Fahrul Razi, dan Yusuf Kartanegara.
Dalam empat lembar surat itu tertulis pertimbangan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan Prabowo. Tindakan Prabowo disebut tidak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan perwira TNI. Tindakan Prabowo juga disebut merugikan kehormatan Kopassus, TNI-AD, ABRI, bangsa, dan negara
http://www.jpnn.com/read/2014/06/10/...catan-Prabowo-
Apa Hakekat di balik Gerakan Anti Prabowo?
12-11-2012
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute
Saya mendegar dari beberapa sumber terpercaya, bahwa dalam waktu dekat ada sebuah gerakan anti Prabowo. Yang tentunya akan membuka kembali file-file lama terkait sejarah kelam yang kebetulan memang melibatkan putra dari ekonom kenamaan Indonesia Dr Sumitro Djojohadikusumo. Namun agar kita semua tidak terjebak pada kontroversi sebuah isu yang digulirkan agar rakyat tidak menyentuh masalah strategis nasional, ada baiknya saya uraikan secara singkat latarbelakangnya.
Baru baru ini, Jenderal (purn) Hendropriyono, menulis sebuah artikel di Kompas, yang mengisyaratkan agar para jenderal purnawirawan sebaiknya mundur saja dari kancah politik pada Pilres 2014. Pada tataran ini saya setuju, namun sejauh ini terkait dengan sosok Prabowo Subianto, saya kira isu yang dilontarkan Hendro perlu kita cermati dan kupas secara lebih seksama.
Setidaknya atas dasar dua pertimbangan. Pertama, bahwa konteks rivalitas antara kubu mantan Panglima TNI Benny Murdani versus mantan Pangkostrad Prabowo Subianto, hingga kini masih belum sepenuhnya tuntas. Kedua, harian Kompas itu sendiri memang hakekatnya tetap mengambil sikap pro Benny bahkan sejak era pemerintahan Suharto.
Hendro memang bagian mata-rantai dari Benny Murdani, yang ketika antara 1996 hingga reformasi, mencoba pake Mega sebagai kuda troya. Dengan harapan begitu Suharto lengser 1998, Mega naik dengan skeme Dewan Rakyat, tapi di belakangnya jaringan benny yang pegang kendali. Termasuk Hendro, Theo Syafei, Agum Gumelar, Adang Rochiatna, dan sebagainya.
Namun skenario mereka gagal, ketika duet Ginanjar-Akbar tarik 14 menteri dari pemerintahan Suharto. Dan dukung Habibie. Di sini, skenario meng-kuda troyakan Mega jadi ternetralisir. Mereka coba lagi dengan skenario pemilu 1999, dengan asumsi Mega akan menang karena dia adalah simbol perlawanan terhadap Suharto.
Namun, Gus Dur, dengan memanfaatkan sistem politik lama yang mana MPR tetap penentu presiden, meski mega pemenang pemilu, maka gagal lagi lah skenario Benny dan Hendro. Ketika Mega berkuasa gantikan Gus Dur, Mega dengan dalih harus kompromi, maka mega bisa menjinakkan kekuatan Benny, sehingga tidak semuanya masuk dalam posisi kunci di kabinet.
Ketika SBY menang, praktis jaringan Benny mati angin, karena meski mereka merapat ke gerbong mega, namun karena Mega mengambil sikap patah arang dengan SBY, mereka ga bisa mengakses kekuasaan. Waktu pilres 2009, dengan keputusan Mega duet dengan Prabowo, meski Taufik Kiemas menentang, praktis jaringan militer Prabowo, masuk ke dalam lingkar dalam kekuasaan Mega.
Sehingga kubu Benny pun mati angin. Dan mendapat imbangan dengan masuknya Prabowo dan konco konco militernya yang notabene merupakan musuh kubu Benny sejak tersingkir dari kekuasaan Suharto sejak 1993. Dan Mei 1998, adalah titik kulminasi pertarungan terselubung Benny versus Prabowo. Jadi, bisa dimengerti kan kenapa Hendro nulis macam itu di Kompas.
Sekarang, jaringannya masih tetap hidup baik di militer/intelijen maupun sipil. Masalah besar mereka sekarang, mereka ga punya outlet/kendraan sesuai dengan sistem dan aturan main yang ada sekarang. Dan salah satu agenda strategisnya dalam waktu dekat, tentu saja bagaimana caranya memblokir kemunculan Prabowo Subianto di kancah politik nasional. Khususnya pada Pemilu Presiden 2014.
Perseteruan terselubung Benny Murdani, yang pernah jadi orang kuat kedua setelah Suharto sejak putra kelahiran Solo ini diangkat jadi Panglima TNI pada 1983, dengan mantan Pangkostrad Prabowo Subianto, sudah berlangsung sejak era 1980-an tatkala menantu Pak Harto ini masih berpangkat kapten.
Meski hanya seorang kapten, Prabowo sebagai anak menantu punya akses langsung pada Pak Harto. Menurut informasi dari mantan Menteri Dalam Negeri almarhum Rudini, satu ketika Prabowo pernah menginformasikan pada bapak mertuanya kalau Benny telah memberi beberapa peralatan militer dari Yugoslavia, dan telah digudangkan di Indonesia secara diam-diam entah untuk tujuan apa.
Dari keterangan Rudini pada penulis ketika itu, bisa dibayangkan betapa kagetnya Pak Harto mendengar informasi semacam itu. Dan bisa dipastikan sejak saat itu Pak Harto memandang Benny sebagai potensi lawan politiknya di kelak kemudian hari. Pada saat yang sama, menurut Rudini lebih lanjut, sejak itu Benny memandang Prabowo dan sayap militer pendukungnya, sebagai lawan politiknya pula.
Bagi kita, sebagai bagian dari elemen strategis bangsa, memang harus berada di luar persoalan, namun tetap bersikap dan mengambil garis tegas bahwa Pemilu 2014 mendatang harus ditujukan agar para pemimpin dan masyarakat tidak boleh lagi ada sekat-sekat yang memisahkan jarak antara keduanya. Aspirasi masyarakat harus bisa jadi jembatan yang menghancurkan sekat-sekat politis dan psikologis antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya.
Pada tataran ini, masalah sentral bukan masuk dalam kancah dukung mendukung Prabowo atau sebaliknya masuk dalam perangkap gerakan anti Prabowo yang didasarkan pada sakit hati dan iri hati. Melainkan fokus harus diarahkan pada satu isu sentral: Apakah Memang Prabowo merupakan pilihan yang layak dan pas untuk jadi menawarkan aspirasi dan konsepsi yang bisa menjembatani sekaligus penghancur sekat-sekat antara pemimpin dan yang dipimpin.
http://www.theglobal-review.com/cont...8#.U5e9WnKSzjU
Gerakan Anti-Prabowo Menjadi Bumerang Bagi Capres Lain
Selasa, 29 April 2014 20:07 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gerakan anti-Prabowo via serangan isu fasis dan pelanggaran hak asasi manusia berat yang dialamatkan kepada Prabowo Subianto bisa menjadi bumerang bagi Capres yang menjadi lawan politiknya. Rakyat sudah paham keterlibatan asing soal HAM ini.
Rakyat lebih suka membahas isu ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat ketimbang membahas isu musiman yang digunakan untuk menyerang Capres lainnya.
"Sekarang rakyat sudah tidak bisa dibodoh-bodohi lagi. Rakyat sudah tahu, mana isu yang dipesan pihak lawan untuk menjatuhkan Prabowo, dan mana yang bukan. Pendukung mereka malah bisa berbalik mendukung Prabowo. Ini yang akan terjadi," kata Koordinator Nasional Relawan Prabowo Budi Susilo dalam keterangan persnya, Selasa (29/4/2014).
Susilo menuturkan, semakin kencang menggenjot isu pelanggaran HAM, justru dukungan rakyat akan berpindah kepada Prabowo. "Rakyat tidak suka dengan Capres yang suka menyerang Capres lainnya dengan isu-isu fasis atau HAM seperti ini. Coba saja mainkan, bisa ditinggalkan pendukungnya tuh Capres yang menyuruh mengembangkan isu ini," ucapnya.
Susilo juga menjelaskan, bahwa isu pelanggaran HAM berat 1998 yang dituduhkan kepada Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto itu sudah usang dan sengaja diangkat kembali oleh lawan politik untuk menjatuhkan Prabowo. "Kasus penghilangan paksa dan penculikan aktivis di 1998 telah diadili di mahkamah militer, dan para pelakunya telah menjalani hukuman," tuturnya.
Pengadilan kata Susilo, juga sudah menyatakan bahwa kasus tersebut telah usai dan Prabowo tak terbukti sebagai orang yang harus bertanggung jawab. "Kasus 1998 itu pernah diadili melalui mahkamah militer, pelakunya ada yang dipecat dan dihukum penjara. Jadi sudah selesai," ujarnya.
Justru, kata Susilo, dalam kasus tersebut Prabowo mengambil alih tanggung jawab karena posisinya saat itu sebagai Komandan Jenderal Kopassus. Inilah yang disebut sebagai seorang ksatria karena tak lepas tanggung jawab atas apa yang dilakukan anak buahnya.
Oleh sebab itu, Susilo meminta agar semua pihak tidak menuding sembarangan Prabowo sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi di 1998. "Apalagi jika upaya seperti itu terbukti disuruh asing, ini kan namanya pengkhianat bangsa," katanya.
Kampanye hitam, opini negatif, dan serangan politik kepada Prabowo yang serupa ini juga pernah terjadi di tahun politik sebelumnya. Pada 2004 dan 2009, isu pelanggaran HAM berat selalu kembali mencuat dan diarahkan pada Capres dari Partai Gerindra itu. Setelah isu HAM kurang mempan, kampanye hitam ditambah dengan pembobotan isu fasis.
http://www.tribunnews.com/pemilu-201...gi-capres-lain
-----------------------------------
Generasi muda TNI yag sekarang masih aktif, tentu untuk yang berada di tataran Perwira saja, harus menyadari realitas sejarah seperti itu. Lalu ambil sikap tegas, bahwa keberpihakan hanya untuk NKRI dan rakyat semata. Jangan mau terseret-seret mainstream dari kelompok barisan sakit hati para mantan jendral yang pro-Benny Moerdhani lagi, atau jangan pula masuk ke kubu mantan jenderal-jenderal yang pro-Prabowo.
10 Juni 2014 19:13 wib
Metrotvnews.com, Jakarta: Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Prabowo Subianto mengaku mengerahkan pasukannya untuk menangkap sejumlah aktivis dalam unjuk rasa massal menuntut reformasi pemerintahan pada 1998 atas dasar perintah Presiden Soeharto, yang saat itu dituntut mundur. Pengakuan diungkapkan Calon Presiden Nomor Urut 1 itu kepada Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri), Jenderal (Purn) Agum Gumelar, April lalu.
"Soal perintah dari atasan, ketika Prabowo datang ke Pepabri, beliau menyampaikan bahwa apa yang dilakukannya pada waktu itu atas perintah. Saya bertanya; perintah siapa? Perintah (mantan) Presiden Soeharto," kata Agum dalam program Primetime News Metro TV, Selasa (10/6/2014).
Jawaban Prabowo itu mengejutkan Agum. Pasalnya, mantan Menko Polhukam zaman Gus Dur itu tidak mendengar kesaksian Prabowo saat diperiksa Dewan Kehormatan Perwira (DKP), belasan tahun lalu. Terlebih, sekenal Agum, Soeharto bukan orang yang langsung menyuruh tanpa tahapan tertentu. Karenanya, Agum agak menyangsikan keterangan Prabowo. "Saya juga agak kaget, kenapa ketika pemeriksaan di DKP keterangan ini tidak ada?" "Sekarang pertanyaannya, apakah benar Soeharto memerintahkan? Saya tahu sendiri Pak Harto tidak seperti itu. Saya tidak yakin. Tapi, sekarang Soeharto sudah tidak ada," katanya.
Penjelasan Agum itu untuk meluruskan terkait bocornya surat rekomendasi DKP tentang pemberhentian Prabowo Subianto dari kemiliteran. Surat itu menjadi buah bibir menjelang Pemilu Presiden 2014 yang diikuti Prabowo sebagai capres.
http://pemilu.metrotvnews.com/read/2...intah-soeharto
Ini Kata SBY soal Kisruh Pemecatan Prabowo
Selasa, 10 Juni 2014 , 14:46:00
JAKARTA--Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara atas kisruh bocornya surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP), atas nama Prabowo Subianto yang turut ditandatanganinya pada 21 Agustus 1998 silam.
Melalui Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, SBY tidak menyebut perihal DKP yang disebut telah ditandatanganinya. Melainkan membenarkan adanya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 62 tahun 1998 yang dikeluarkan presiden saat itu, Habibie, terkait pemberhentian secara hormat terhadap Prabowo.
"Yang bisa kami sampaikan adalah bahwa benar kepres 62/1998 tersebut dikeluarkan oleh Presiden Habibie yang intinya menyatakan pemberhentian dengan hormat dan dengan hak pensiun kepada Prabowo Subianto," ujar Julian di kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa, (10/6).
Menurutnya Keppres itu merujuk pada surat dan usulan Menhankam Pangab yang saat itu dijabat oleh Jenderal TNI Wiranto.
Julian mengaku tidak ada penjelasan lainnya terkait DKP yang ramai dibicarakan di media massa. Presiden hanya membenarkan adanya keppres tersebut. "Yang saya ketahui dari keppres adalah memperhatikan surat Menhankampangab saat itu soal pemberhentian dengan hormat Prabowo dari kedinasan TNI. Tidak ada menyebutkan DKP dalam keppres dan saya hanya bisa menanggapi tentang keppres," tegas Julian.
Seperti diketahui, surat yang disebut sebagai keputusan DKP itu kini beredar luas di media sosial. Dalam surat tersebut tertulis bahwa keputusan DKP dibuat pada 21 Agustus 1998.
Surat berklasifikasi rahasia tersebut ditandatangani para petinggi TNI saat itu, antara lain Subagyo HS sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, Djamari Chaniago, Ari J Kumaat, Fahrul Razi, dan Yusuf Kartanegara.
Dalam empat lembar surat itu tertulis pertimbangan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan Prabowo. Tindakan Prabowo disebut tidak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan perwira TNI. Tindakan Prabowo juga disebut merugikan kehormatan Kopassus, TNI-AD, ABRI, bangsa, dan negara
http://www.jpnn.com/read/2014/06/10/...catan-Prabowo-
Apa Hakekat di balik Gerakan Anti Prabowo?
12-11-2012
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute
Saya mendegar dari beberapa sumber terpercaya, bahwa dalam waktu dekat ada sebuah gerakan anti Prabowo. Yang tentunya akan membuka kembali file-file lama terkait sejarah kelam yang kebetulan memang melibatkan putra dari ekonom kenamaan Indonesia Dr Sumitro Djojohadikusumo. Namun agar kita semua tidak terjebak pada kontroversi sebuah isu yang digulirkan agar rakyat tidak menyentuh masalah strategis nasional, ada baiknya saya uraikan secara singkat latarbelakangnya.
Baru baru ini, Jenderal (purn) Hendropriyono, menulis sebuah artikel di Kompas, yang mengisyaratkan agar para jenderal purnawirawan sebaiknya mundur saja dari kancah politik pada Pilres 2014. Pada tataran ini saya setuju, namun sejauh ini terkait dengan sosok Prabowo Subianto, saya kira isu yang dilontarkan Hendro perlu kita cermati dan kupas secara lebih seksama.
Setidaknya atas dasar dua pertimbangan. Pertama, bahwa konteks rivalitas antara kubu mantan Panglima TNI Benny Murdani versus mantan Pangkostrad Prabowo Subianto, hingga kini masih belum sepenuhnya tuntas. Kedua, harian Kompas itu sendiri memang hakekatnya tetap mengambil sikap pro Benny bahkan sejak era pemerintahan Suharto.
Hendro memang bagian mata-rantai dari Benny Murdani, yang ketika antara 1996 hingga reformasi, mencoba pake Mega sebagai kuda troya. Dengan harapan begitu Suharto lengser 1998, Mega naik dengan skeme Dewan Rakyat, tapi di belakangnya jaringan benny yang pegang kendali. Termasuk Hendro, Theo Syafei, Agum Gumelar, Adang Rochiatna, dan sebagainya.
Namun skenario mereka gagal, ketika duet Ginanjar-Akbar tarik 14 menteri dari pemerintahan Suharto. Dan dukung Habibie. Di sini, skenario meng-kuda troyakan Mega jadi ternetralisir. Mereka coba lagi dengan skenario pemilu 1999, dengan asumsi Mega akan menang karena dia adalah simbol perlawanan terhadap Suharto.
Namun, Gus Dur, dengan memanfaatkan sistem politik lama yang mana MPR tetap penentu presiden, meski mega pemenang pemilu, maka gagal lagi lah skenario Benny dan Hendro. Ketika Mega berkuasa gantikan Gus Dur, Mega dengan dalih harus kompromi, maka mega bisa menjinakkan kekuatan Benny, sehingga tidak semuanya masuk dalam posisi kunci di kabinet.
Ketika SBY menang, praktis jaringan Benny mati angin, karena meski mereka merapat ke gerbong mega, namun karena Mega mengambil sikap patah arang dengan SBY, mereka ga bisa mengakses kekuasaan. Waktu pilres 2009, dengan keputusan Mega duet dengan Prabowo, meski Taufik Kiemas menentang, praktis jaringan militer Prabowo, masuk ke dalam lingkar dalam kekuasaan Mega.
Sehingga kubu Benny pun mati angin. Dan mendapat imbangan dengan masuknya Prabowo dan konco konco militernya yang notabene merupakan musuh kubu Benny sejak tersingkir dari kekuasaan Suharto sejak 1993. Dan Mei 1998, adalah titik kulminasi pertarungan terselubung Benny versus Prabowo. Jadi, bisa dimengerti kan kenapa Hendro nulis macam itu di Kompas.
Sekarang, jaringannya masih tetap hidup baik di militer/intelijen maupun sipil. Masalah besar mereka sekarang, mereka ga punya outlet/kendraan sesuai dengan sistem dan aturan main yang ada sekarang. Dan salah satu agenda strategisnya dalam waktu dekat, tentu saja bagaimana caranya memblokir kemunculan Prabowo Subianto di kancah politik nasional. Khususnya pada Pemilu Presiden 2014.
Perseteruan terselubung Benny Murdani, yang pernah jadi orang kuat kedua setelah Suharto sejak putra kelahiran Solo ini diangkat jadi Panglima TNI pada 1983, dengan mantan Pangkostrad Prabowo Subianto, sudah berlangsung sejak era 1980-an tatkala menantu Pak Harto ini masih berpangkat kapten.
Meski hanya seorang kapten, Prabowo sebagai anak menantu punya akses langsung pada Pak Harto. Menurut informasi dari mantan Menteri Dalam Negeri almarhum Rudini, satu ketika Prabowo pernah menginformasikan pada bapak mertuanya kalau Benny telah memberi beberapa peralatan militer dari Yugoslavia, dan telah digudangkan di Indonesia secara diam-diam entah untuk tujuan apa.
Dari keterangan Rudini pada penulis ketika itu, bisa dibayangkan betapa kagetnya Pak Harto mendengar informasi semacam itu. Dan bisa dipastikan sejak saat itu Pak Harto memandang Benny sebagai potensi lawan politiknya di kelak kemudian hari. Pada saat yang sama, menurut Rudini lebih lanjut, sejak itu Benny memandang Prabowo dan sayap militer pendukungnya, sebagai lawan politiknya pula.
Bagi kita, sebagai bagian dari elemen strategis bangsa, memang harus berada di luar persoalan, namun tetap bersikap dan mengambil garis tegas bahwa Pemilu 2014 mendatang harus ditujukan agar para pemimpin dan masyarakat tidak boleh lagi ada sekat-sekat yang memisahkan jarak antara keduanya. Aspirasi masyarakat harus bisa jadi jembatan yang menghancurkan sekat-sekat politis dan psikologis antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya.
Pada tataran ini, masalah sentral bukan masuk dalam kancah dukung mendukung Prabowo atau sebaliknya masuk dalam perangkap gerakan anti Prabowo yang didasarkan pada sakit hati dan iri hati. Melainkan fokus harus diarahkan pada satu isu sentral: Apakah Memang Prabowo merupakan pilihan yang layak dan pas untuk jadi menawarkan aspirasi dan konsepsi yang bisa menjembatani sekaligus penghancur sekat-sekat antara pemimpin dan yang dipimpin.
http://www.theglobal-review.com/cont...8#.U5e9WnKSzjU
Gerakan Anti-Prabowo Menjadi Bumerang Bagi Capres Lain
Selasa, 29 April 2014 20:07 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gerakan anti-Prabowo via serangan isu fasis dan pelanggaran hak asasi manusia berat yang dialamatkan kepada Prabowo Subianto bisa menjadi bumerang bagi Capres yang menjadi lawan politiknya. Rakyat sudah paham keterlibatan asing soal HAM ini.
Rakyat lebih suka membahas isu ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat ketimbang membahas isu musiman yang digunakan untuk menyerang Capres lainnya.
"Sekarang rakyat sudah tidak bisa dibodoh-bodohi lagi. Rakyat sudah tahu, mana isu yang dipesan pihak lawan untuk menjatuhkan Prabowo, dan mana yang bukan. Pendukung mereka malah bisa berbalik mendukung Prabowo. Ini yang akan terjadi," kata Koordinator Nasional Relawan Prabowo Budi Susilo dalam keterangan persnya, Selasa (29/4/2014).
Susilo menuturkan, semakin kencang menggenjot isu pelanggaran HAM, justru dukungan rakyat akan berpindah kepada Prabowo. "Rakyat tidak suka dengan Capres yang suka menyerang Capres lainnya dengan isu-isu fasis atau HAM seperti ini. Coba saja mainkan, bisa ditinggalkan pendukungnya tuh Capres yang menyuruh mengembangkan isu ini," ucapnya.
Susilo juga menjelaskan, bahwa isu pelanggaran HAM berat 1998 yang dituduhkan kepada Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto itu sudah usang dan sengaja diangkat kembali oleh lawan politik untuk menjatuhkan Prabowo. "Kasus penghilangan paksa dan penculikan aktivis di 1998 telah diadili di mahkamah militer, dan para pelakunya telah menjalani hukuman," tuturnya.
Pengadilan kata Susilo, juga sudah menyatakan bahwa kasus tersebut telah usai dan Prabowo tak terbukti sebagai orang yang harus bertanggung jawab. "Kasus 1998 itu pernah diadili melalui mahkamah militer, pelakunya ada yang dipecat dan dihukum penjara. Jadi sudah selesai," ujarnya.
Justru, kata Susilo, dalam kasus tersebut Prabowo mengambil alih tanggung jawab karena posisinya saat itu sebagai Komandan Jenderal Kopassus. Inilah yang disebut sebagai seorang ksatria karena tak lepas tanggung jawab atas apa yang dilakukan anak buahnya.
Oleh sebab itu, Susilo meminta agar semua pihak tidak menuding sembarangan Prabowo sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi di 1998. "Apalagi jika upaya seperti itu terbukti disuruh asing, ini kan namanya pengkhianat bangsa," katanya.
Kampanye hitam, opini negatif, dan serangan politik kepada Prabowo yang serupa ini juga pernah terjadi di tahun politik sebelumnya. Pada 2004 dan 2009, isu pelanggaran HAM berat selalu kembali mencuat dan diarahkan pada Capres dari Partai Gerindra itu. Setelah isu HAM kurang mempan, kampanye hitam ditambah dengan pembobotan isu fasis.
http://www.tribunnews.com/pemilu-201...gi-capres-lain
-----------------------------------
Generasi muda TNI yag sekarang masih aktif, tentu untuk yang berada di tataran Perwira saja, harus menyadari realitas sejarah seperti itu. Lalu ambil sikap tegas, bahwa keberpihakan hanya untuk NKRI dan rakyat semata. Jangan mau terseret-seret mainstream dari kelompok barisan sakit hati para mantan jendral yang pro-Benny Moerdhani lagi, atau jangan pula masuk ke kubu mantan jenderal-jenderal yang pro-Prabowo.