Sidang Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, baru-baru ini menyatakan, bahwa pelaksanaan konvensi hak sipil dan politik di Indonesia masih belum disikronkan dengan aturan nasional; bahkan tidak konsisten dengan isi Konvensi Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia pada 2005.
Dalam hal ini, Komite HAM PBB menyimpulkan pula bahwa aparat penegak hukum memiliki pengetahuan terbatas tentang konvensi ini, sehingga pelaksanaan hukum atas pelaksanaan konvensi tidak berjalan efektif.
Sebanyak 29 butir rekomendasi diberikan; diantaranya permintaan untuk menuntaskan kasus-kasus di masa lalu yaitu penghilangan paksa tahun 1997/1998 dan pembunuhan Munir Said Thalib.
Selain itu, Rancangan Undang-Undang Ormas, pencegahan penggunaan kekuatan berlebih oleh aparat keamanan, serta pelaksanaan hukum cambuk di Aceh juga tercantum dalam rekomendasi.
"Pemerintah Indonesia harus melakukan langkah-langkah efektif untuk menghapuskan hukuman badan, termasuk hukum cambuk di Aceh, dan melakukan upaya pencegahan penggunaan hukum tersebut sampai dicabut dari sistem hukum pidana Aceh," demikian isi butir keempat rekomendasi Komite HAM PBB.
Juru kampanye internasional KontraS, Indria Fernida Alphasonny, dalam wawancara dengan acehonline.info, di Jakarta, Kamis (1/8), merespon baik rekomendasi PBB.
Meskipun PBB tidak menjatuhkan sanksi, kata Indria, namun rekomendasi ini harus direspon oleh DPR dan pemerintah, selaku pembuat Undang-Undang (UU).
"Karena pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik, seharusnya ada semacam penyesuaian dalam UU Nasional. Tetapi persoalannya, bahkan di dalam UU baru mereka tidak mengacu pada prinsip HAM dari konvensi itu. Kami dari organisasi masyarakat sipil selalu mengusulkan uji materi (kepada Mahkamah Konstitusi), namun hakim dan jaksa juga kelihatannya tidak mengacu pada isu-isu HAM," ungkap Indria, yang turut menghadiri sidang tersebut di Jenewa, dua pekan lalu.
Menurutnya, selain DPR - selaku pembuat UU, para penegak hukum pun secara normatif tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai HAM.
Untuk kasus penghilangan paksa, Munir dan UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang penistaan agama, Komite HAM PBB memberikan waktu bagi pemerintah Indonesia selama setahun untuk menyediakan informasi yang memadai atas penerapan rekomendasi yang sudah diberikan.
"Beberapa rekomendasi yang harus dijalankan dalam setahun ke depan betul-betul yang krusial karena nanti ada mekanisme lanjutan dari komite (jika tidak dilaksanakan). Ini sejalan dengan situasi politik Indonesia tahun depan, dimana kita akan melaksanakan pemilu. Catatan dari komite HAM PBB ini harus menjadi pertimbangan bagi Presiden dan calon presiden," kata Indria.
Dalam sidang Komite HAM PBB itu, pemerintah Indonesia diwakili antara lain oleh Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo dan Direktur HAM dan Kemanusiaan Direktorat Jenderal Multilateral, Kementerian Luar Negeri, Mohammad Anshor.(sumber)
Koq sibuk aja tuch kawan denga kebijakan hukum negeri orang,,,
Dalam hal ini, Komite HAM PBB menyimpulkan pula bahwa aparat penegak hukum memiliki pengetahuan terbatas tentang konvensi ini, sehingga pelaksanaan hukum atas pelaksanaan konvensi tidak berjalan efektif.
Sebanyak 29 butir rekomendasi diberikan; diantaranya permintaan untuk menuntaskan kasus-kasus di masa lalu yaitu penghilangan paksa tahun 1997/1998 dan pembunuhan Munir Said Thalib.
Selain itu, Rancangan Undang-Undang Ormas, pencegahan penggunaan kekuatan berlebih oleh aparat keamanan, serta pelaksanaan hukum cambuk di Aceh juga tercantum dalam rekomendasi.
"Pemerintah Indonesia harus melakukan langkah-langkah efektif untuk menghapuskan hukuman badan, termasuk hukum cambuk di Aceh, dan melakukan upaya pencegahan penggunaan hukum tersebut sampai dicabut dari sistem hukum pidana Aceh," demikian isi butir keempat rekomendasi Komite HAM PBB.
Juru kampanye internasional KontraS, Indria Fernida Alphasonny, dalam wawancara dengan acehonline.info, di Jakarta, Kamis (1/8), merespon baik rekomendasi PBB.
Meskipun PBB tidak menjatuhkan sanksi, kata Indria, namun rekomendasi ini harus direspon oleh DPR dan pemerintah, selaku pembuat Undang-Undang (UU).
"Karena pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik, seharusnya ada semacam penyesuaian dalam UU Nasional. Tetapi persoalannya, bahkan di dalam UU baru mereka tidak mengacu pada prinsip HAM dari konvensi itu. Kami dari organisasi masyarakat sipil selalu mengusulkan uji materi (kepada Mahkamah Konstitusi), namun hakim dan jaksa juga kelihatannya tidak mengacu pada isu-isu HAM," ungkap Indria, yang turut menghadiri sidang tersebut di Jenewa, dua pekan lalu.
Menurutnya, selain DPR - selaku pembuat UU, para penegak hukum pun secara normatif tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai HAM.
Untuk kasus penghilangan paksa, Munir dan UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang penistaan agama, Komite HAM PBB memberikan waktu bagi pemerintah Indonesia selama setahun untuk menyediakan informasi yang memadai atas penerapan rekomendasi yang sudah diberikan.
"Beberapa rekomendasi yang harus dijalankan dalam setahun ke depan betul-betul yang krusial karena nanti ada mekanisme lanjutan dari komite (jika tidak dilaksanakan). Ini sejalan dengan situasi politik Indonesia tahun depan, dimana kita akan melaksanakan pemilu. Catatan dari komite HAM PBB ini harus menjadi pertimbangan bagi Presiden dan calon presiden," kata Indria.
Dalam sidang Komite HAM PBB itu, pemerintah Indonesia diwakili antara lain oleh Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo dan Direktur HAM dan Kemanusiaan Direktorat Jenderal Multilateral, Kementerian Luar Negeri, Mohammad Anshor.(sumber)
Koq sibuk aja tuch kawan denga kebijakan hukum negeri orang,,,