Krisis ekonomi 2008 BI Rate 9,5 persen, sekarang sudah 7 persen
Kamis, 29 Agustus 2013 22:25:22
Keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya atau BI Rate sebesar 50 basis poin dari 6,5 persen menjadi 7 persen, membuka babak baru skenario kebijakan penyelamatan ekonomi nasional. Di satu sisi, langkah bank sentral menaikkan suku bunga acuannya diyakini bisa mendorong penguatan nilai tukar Rupiah sekaligus mengembalikan kepercayaan investor. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran kondisi ekonomi saat ini sudah mendekati masa-masa seperti krisis 2008.
Taoi kekhawatiran ini buru-buru dibantah oleh staf khusus Presiden bidang ekonomi Firmanzah. "Belum krisis ekonomi dan moneter. Di Oktober 2008, BI Rate mencapai 9,55 persen. Kondisi saat ini terus kita waspadai, tetapi kalau dibilang krisis, jawabannya tidak. Setor riil dan konsumsi masih tinggi," ujar Firmanzah di Istana Negara, Kamis (29/8). Dia menuturkan, pemerintah sudah mengambil peran dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dari sisi fiskal untuk mendorong investasi, peningkatan ekspor-impor, dan daya beli masyarakat. "Mengelola pasokan kebutuhan pokok untuk tahan inflasi, penyerapan tenaga kerja, terus menjaga pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa tidak banyak berkomentar mengenai kenaikan BI Rate. Namun dia sependapat dengan Firmanzah. "Tidak akan menimbulkan krisis," singkat Hatta. Menteri Keuangan Chatib Basri menyambut positif kebijakan bank sentral. "Bagus dong," ucapnya. Sebelumnya, Bank Indonesia melihat, kebijakan ini merupakan langkah preventif atau antisipasi agar kondisi perekonomian Indonesia tidak semakin buruk ke depannya. Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Difi Ahmad Johansyah, apabila BI menaikkan BI Rate sebesar 25 bps, belum cukup untuk menghadapi kondisi ke depan. Oleh sebab itu, angka 50 bps diambil dengan berbagai pertimbangan.
"Karena tekanan inflasi ke depan jadi tidak cukup 26 bps. Kebutuhan paling penting adalah stabilitas sistem keuangan karena dalam jangka pendek kita ingin menstabilkan pasar keuangan. Jadi ini mungkin dosis yang pas untuk menstabilkan pasar keuangan jangka pendek," kata Difi.
http://www.merdeka.com/uang/krisis-e...-7-persen.html
Berbagai Indikator Makro Ekonomi Terus Merosot, Pemerintah Alami Defisit Kepercayaan dan Kredibilitas
Thu, 29/08/2013 - 11:18 WIB
RIMANEWS-Tugas utama pemerintah sampai akhir Desember ini adalah harus mampu menurunkan Quatro-Deficits (Empat Defisit) yang kini terjadi. Empat defisit sekaligus itulah yang terus menekan nilai tukar rupiah, sekaligus membuat ekonomi nasional dalam status �lampu kuning�, sehingga Rupiah anjlok ke Rp 11.350/US$. Jika tidak segera diatasi, bukan mustahil Indonesia akan masuk ke status �lampu merah� seperti yang terjadi pada saat krisis moneter tahun 1998.
�Pemerintah harus bisa menekan empat deficit itu secepatnya. Defisit transaksi berjalan, misalnya, kalau sekarang -US$9,8 miliar, maka pada akhir tahun minimal harus tinggal setengahnya, sekitar -US$5 miliar. Kalau pemerintah bisa menekan quatro-deficit seperti itu, baru orang percaya pemerintah credible. Tapi masalahnya, selama ini terbukti pemerintah tidak mampu fokus. Padahal keempat defisit tersebut tidak terjadi dalam semalam. Tanda-tanda kemerosotannya telah terjadi selama 2 tahun terakhir. Tidak ada antisipasi, tidak ada kebijakan alternatif, baru kaget setelah terjadi. Presiden dan para menterinya justru sibuk melakukan pencitraan untuk kepentingan 2014. Akibatnya rakyat yang menjadi korban,� papar Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli saat bicara di Metro TV, Rabu malam (28/8).
Kondisi saat ini berbeda dengan tahun 2008 ketika terjadi krisis ekonomi Amerika. Pada saat itu, seluruh indikator fundamental ekonomi makro Indonesia positif. Apalagi rasio ekspor/GDP Indonesia hanya 25% sehingga krisis 2008 tidak terlalu berdampak terhadap ekonomi Indonesia. Saat ini nyaris semua indikator fundamental ekonomi Indonesia negatif (defisit), ditambah dengan berakhirnya siklus booming komoditas dan pengurangan ekspansi likuiditas di Amerika. Faktor-faktor internal dan eksternal itulah yang menyebabkan rupiah bisa terjun ke 13.000-14.000 per dollar, kecuali defisit transaksi berjalan bisa dikurangi setengahnya sampai akhir Desember 2013.
Menurut calon presiden paling ideal versi The President Centre ini, bukti tidak fokusnya pemerintah dapat dilihat dari stimulus ekonomi yang baru diterbitkan ternyata tidak ada gregetnya. Semuanya serba biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Akibatnya, para pelaku ekonomi malah memberikan respon negatif.
Quatro-deficits sekaligus yang dimaksudkannya itu adalah defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar, defisit Neraca Pembayaran -U$9,8 miliar, deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar pada Q1-2013, dan defisit APBN plus utang lebih dari Rp2.100 triliun. Ini benar-benar bahaya.
Selama tiga bulan terakhir cadangan devisa sudah berkurang �US$14,6 miliar. Kemerosotannya lebih besar, -US$20 miliar, jika dibandingkan posisi akhir tahun lalu. Sampai 31 Juli 2013 cadangan devisa tinggal US$92,7 miliar. Padahal, sampai akhir Agustus 2011 cadangan devisa masih US$124,6 miliar. �Pertanyaannya, kemana saja pemerintah kita selama ini? Kok bisa, memburuknya berbagai indikator makro itu dibiarkan saja terus terjadi? Apa karena SBY dan para menterinya sibuk berpolitik? Yang pasti, akibat pemerintah "telmi" alias telat mikir, rakyat jadi korban. Setelah terpukul naiknya harga pada Ronde 1 akibat kenaikan harga BBM dan bulan puasa, rakyat kembali terpukul akibat kenaikan harga pangan Ronde 2 sebesar 10-15% karena anjloknya nilai tukar Rupiah. Saya sudah sarankan sejumlah langkah untuk menurunkan harga pangan sejak tiga bulan lalu ke Kepala Bulog, Menteri Perdagangan dan melalui media masa. Namun saran-saran itu diabaikan,� ungkap Rizal Ramli.
Sedangkan menyangkut terus melemahnya rupiah, Capres yang di kalangan Nahdiyin akrab disapa Gus Romli ini menyatakan, hal itu lebih banyak disebabkan memburuknya indikator-indikator makro ekonomi. Ditambah dengan besarnya jatuh tempo utang dolar pemerintah dan swasta, sekitar $27 milyar, dalam waktu dekat ini, rupiah pun semakin tertekan. Sehubungan dengan itu, dia berpendapat upaya Bank Indonesia (BI) yang terus-menerus melakukan intervensi dengan menjual dolar hanya akan sia-sia. Langkah itu ibarat �menggarami laut� yang justru berakibat makin tergerusnya devisa. Masalah yang dihadapi Indonesia memang sangat berat. Pasalnya, quatro defisits itu juga ditambah dengan defisit kepercayaan dan kredibilitas atas kesungguhan dan kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah. Perlu dicatat pada tahun 1998, defisit kepercayaan di tengah-tengah kemerosotan ekonomi makro serta gejolak eksternal, akhirnya berujung pada perubahan politik
http://www.rimanews.com/read/2013082...-alami-defisit
Menuju Pemilu & Pilpres 2014:
Problematika Pemimpin dan Kepemimpinan Nasional Masa Depan
Lebih dari satu dekade reformasi telah digulirkan, namun hingga saat ini sejumlah masalah masih menimpa bangsa Indonesia. Di bidang politik, hukum, dan keamanan, bangsa kita adalah raksasa rapuh. Di sektor kesejahteraan rakyat, sejumlah luka bangsa masih belum hilang: angka kemiskinan yang tinggi, biaya kesehatan dan pendidikan yang mahal, serta anak-anak busung lapar yang belum hilang dari angka statistik. Di bidang ekonomi dan industri, kita tidak berdaulat atas nasib ekonomi kita sendiri. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab semuanya, salah satunya adalah kegagalan para elit kita memimpin bangsa ini.
Tiadanya pemimpin yang berani mengambil alih masalah orang lain menjadi tanggung jawab dirinya dan berperan sebagai problem solver bagi masalah lingkungannya, telah menyeret bangsa ini pada persoalan-persoalan yang tak berujung. Soekarno sebelumnya dielu-elukan rakyatnya, akhir masa jabatannya tercatat begitu suram. Ia digoyang dan dijatuhkan oleh rakyat. Mati dalam kesendirian. Begitu juga Soeharto, bapak pembangunan ini pun tersungkur di masa akhir jabatannya. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid lebih menyedihkan lagi. Hanya seumur jagung memerintah. Kursinya dicopot beramai-ramai lewat sebuah mekanisme yang hampir tidak masuk akal. Karena itu, bangsa Indonesia memerlukan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi problem solver.
Pemimpin yang lahir dari generasi baru, bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan juga berasal dari individu yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu, melainkan seorang tokoh yang berani, jujur dengan cita-cita perjuangan, memiliki komitmen dan keteguhan terhadap ideologi, serta sabar dalam berjuang. Pemimpin yang mampu memberikan visi, arah, dan tujuan, membangun kepercayaan, memberikan harapan dan optimisme, serta memiliki keberanian melihat dirinya sebagai katalis. Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, toleransi terhadap risiko, disiplin seorang entrepreneur, dan bukan pemimpin bertipe makelar yang hanya mencari untung bagi kepentingan pribadinya sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Pusat Penelitian Politik LIPI akan menyelenggarakan diskusi publik dengan judul �Menuju Pemilu 2014:
Problematika Pemimpin dan Kepemimpinan Nasional Masa Depan� pada hari Rabu, 20 Juli 2011 yang bertempat di Ruang Seminar LIPI, Gedung Widya Graha lt 1. Acara dibuka oleh Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI yaitu Prof. Dr. Syamsuddin Haris sekaligus memberikan sambutan.
Pembicara pertama yaitu Eva Kusuma Sundari (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI) membahas tentang Bagaimana Parpol dan Parlemen Membentuk Pemimpin, yaitu:
Pembicara selanjutnya yaitu Budiarto Shambazy, ia membahas tentang �Situasi dan Prospek Politik Dewasa Ini�. Menurutnya politik nasional memasuki masa krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah republik ini. Sejak Oktober 2010 pemerintah, seperti diungkapkan dengan tepat oleh WikiLeaks, praktis sudah tidak berjalan lagi alias lumpuh. Penyebab utama kelumpuhan pemerintah adalah:
Pembicara ketiga Sofjan Wanandi yaitu salah satu Pengusaha yang mengutarakan pendapat serta pemikirannya pemimpin dan kepemimpinan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Selain itu, Bpk. Sofjan Wanandi memberikan pandangannya terhadap kondisi bangsa Indonesia dari sudut pandang seorang pelaku ekonomi.
Pembicara terakhir yaitu Prof. Dr. Syamsuddin Haris dengan tema �Krisis Kepemimpinan Politik dan Tantangan 2014�.
http://www.politik.lipi.go.id/in/keg...asa-depan.html
Menggugat Stok Lama, Mana Capres Muda?
Senin, 15/07/2013 17:28 WIB
Den Haag - Bagaimana partai lainnya? Gerindra tampaknya masih menanti waktu yang tepat untuk mengumumkan Prabowo (61 tahun). Begitu juga PAN, melihat karakter Hatta Rajasa (59 tahun) yang berhati-hati, saya rasa dia akan menimbang betul strategi pencalonan presiden dari partainya.
Sedangkan PKS tampaknya masih terus melakukan konsolidasi internal di daerah-daerah pasca badai yang menimpa partai tersebut. PDIP tampak masih akan mengunggulkan Megawati Soekarnoputri (66 tahun), meski banyak juga suara arus bawah yang mendukung Jokowi (52 tahun). Partai lainnya tampak belum berani berkomentar sebelum menerima hasil dari pemilu legislatif.
Melihat deretan nama yang berkembang di belantika politik Indonesia, tampaknya tidak ada satu pun yang berusia di bawah 45 tahun. Bahkan, daftar ini berisikan nama-nama yang telah lama mengisi perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak era reformasi bergulir. Lalu di manakah para calon Presiden muda ini? Apakah mereka memilih untuk tidak terjun dalam pencalonan karena melihat �percuma� dengan pertimbangan sumber daya yang ada. Ataukah mereka tertekan oleh sistem yang memaksa mereka hanya menjadi �kandidat prospektif� sepanjang masa?
Indonesia bukan tidak punya tokoh potensial. Jika dibuat daftar bisa jadi ratusan nama akan berada di dalamnya dan sebagian bahkan sudah berkiprah dalam parpol. Saya melihat setidaknya ada tiga faktor yang menghambat tampilnya calon presiden muda dalam perhelatan demokrasi Indonesia era kini.
Faktor Patron-klien
Kebanyakan parpol di Indonesia masih merupakan sebuah kendaraan pribadi atau kelompok tertentu. Parpol belum menjadi institusi pengkaderan yang mampu melakukan regenerasi kepemimpinan secara sistemik dan melahirkan pemimpin muda baru secara berkala.
Saya melihat, parpol masih sulit melepaskan diri dari bayang-bayang pemodal utama dari partai tersebut. Kita bisa melihat bagaimana Demokrat yang sempat memproklamirkan diri sebagai parpol moderen pun kini tak bisa lepas dari pengaruh besar SBY dan keluarganya. Demikian pula PDIP dengan Megawati Soekarnoputri, Gerindra dan Prabowo-nya, Nasdem dan Surya Paloh, atau Hanura dan Wiranto
http://news.detik..com/read/2013/07/...na-capres-muda
-------------------------------
Kepercayaan masyarakat dan dunia bisnis (dalam dan luar negeri), akan bergantung pada figur Capres yang akan diusung Parpol!
kalau yang diangkat semacam figur Hatta Radjasa, Ical, Prabowo, Pramono Edhi, atau Wiranto dgn Harry Tanoenya itu .... siapa yang akan memilih dan percaya pada mereka?
Kamis, 29 Agustus 2013 22:25:22
Keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya atau BI Rate sebesar 50 basis poin dari 6,5 persen menjadi 7 persen, membuka babak baru skenario kebijakan penyelamatan ekonomi nasional. Di satu sisi, langkah bank sentral menaikkan suku bunga acuannya diyakini bisa mendorong penguatan nilai tukar Rupiah sekaligus mengembalikan kepercayaan investor. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran kondisi ekonomi saat ini sudah mendekati masa-masa seperti krisis 2008.
Taoi kekhawatiran ini buru-buru dibantah oleh staf khusus Presiden bidang ekonomi Firmanzah. "Belum krisis ekonomi dan moneter. Di Oktober 2008, BI Rate mencapai 9,55 persen. Kondisi saat ini terus kita waspadai, tetapi kalau dibilang krisis, jawabannya tidak. Setor riil dan konsumsi masih tinggi," ujar Firmanzah di Istana Negara, Kamis (29/8). Dia menuturkan, pemerintah sudah mengambil peran dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dari sisi fiskal untuk mendorong investasi, peningkatan ekspor-impor, dan daya beli masyarakat. "Mengelola pasokan kebutuhan pokok untuk tahan inflasi, penyerapan tenaga kerja, terus menjaga pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa tidak banyak berkomentar mengenai kenaikan BI Rate. Namun dia sependapat dengan Firmanzah. "Tidak akan menimbulkan krisis," singkat Hatta. Menteri Keuangan Chatib Basri menyambut positif kebijakan bank sentral. "Bagus dong," ucapnya. Sebelumnya, Bank Indonesia melihat, kebijakan ini merupakan langkah preventif atau antisipasi agar kondisi perekonomian Indonesia tidak semakin buruk ke depannya. Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Difi Ahmad Johansyah, apabila BI menaikkan BI Rate sebesar 25 bps, belum cukup untuk menghadapi kondisi ke depan. Oleh sebab itu, angka 50 bps diambil dengan berbagai pertimbangan.
"Karena tekanan inflasi ke depan jadi tidak cukup 26 bps. Kebutuhan paling penting adalah stabilitas sistem keuangan karena dalam jangka pendek kita ingin menstabilkan pasar keuangan. Jadi ini mungkin dosis yang pas untuk menstabilkan pasar keuangan jangka pendek," kata Difi.
http://www.merdeka.com/uang/krisis-e...-7-persen.html
Berbagai Indikator Makro Ekonomi Terus Merosot, Pemerintah Alami Defisit Kepercayaan dan Kredibilitas
Thu, 29/08/2013 - 11:18 WIB
RIMANEWS-Tugas utama pemerintah sampai akhir Desember ini adalah harus mampu menurunkan Quatro-Deficits (Empat Defisit) yang kini terjadi. Empat defisit sekaligus itulah yang terus menekan nilai tukar rupiah, sekaligus membuat ekonomi nasional dalam status �lampu kuning�, sehingga Rupiah anjlok ke Rp 11.350/US$. Jika tidak segera diatasi, bukan mustahil Indonesia akan masuk ke status �lampu merah� seperti yang terjadi pada saat krisis moneter tahun 1998.
�Pemerintah harus bisa menekan empat deficit itu secepatnya. Defisit transaksi berjalan, misalnya, kalau sekarang -US$9,8 miliar, maka pada akhir tahun minimal harus tinggal setengahnya, sekitar -US$5 miliar. Kalau pemerintah bisa menekan quatro-deficit seperti itu, baru orang percaya pemerintah credible. Tapi masalahnya, selama ini terbukti pemerintah tidak mampu fokus. Padahal keempat defisit tersebut tidak terjadi dalam semalam. Tanda-tanda kemerosotannya telah terjadi selama 2 tahun terakhir. Tidak ada antisipasi, tidak ada kebijakan alternatif, baru kaget setelah terjadi. Presiden dan para menterinya justru sibuk melakukan pencitraan untuk kepentingan 2014. Akibatnya rakyat yang menjadi korban,� papar Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli saat bicara di Metro TV, Rabu malam (28/8).
Kondisi saat ini berbeda dengan tahun 2008 ketika terjadi krisis ekonomi Amerika. Pada saat itu, seluruh indikator fundamental ekonomi makro Indonesia positif. Apalagi rasio ekspor/GDP Indonesia hanya 25% sehingga krisis 2008 tidak terlalu berdampak terhadap ekonomi Indonesia. Saat ini nyaris semua indikator fundamental ekonomi Indonesia negatif (defisit), ditambah dengan berakhirnya siklus booming komoditas dan pengurangan ekspansi likuiditas di Amerika. Faktor-faktor internal dan eksternal itulah yang menyebabkan rupiah bisa terjun ke 13.000-14.000 per dollar, kecuali defisit transaksi berjalan bisa dikurangi setengahnya sampai akhir Desember 2013.
Menurut calon presiden paling ideal versi The President Centre ini, bukti tidak fokusnya pemerintah dapat dilihat dari stimulus ekonomi yang baru diterbitkan ternyata tidak ada gregetnya. Semuanya serba biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Akibatnya, para pelaku ekonomi malah memberikan respon negatif.
Quatro-deficits sekaligus yang dimaksudkannya itu adalah defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar, defisit Neraca Pembayaran -U$9,8 miliar, deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar pada Q1-2013, dan defisit APBN plus utang lebih dari Rp2.100 triliun. Ini benar-benar bahaya.
Selama tiga bulan terakhir cadangan devisa sudah berkurang �US$14,6 miliar. Kemerosotannya lebih besar, -US$20 miliar, jika dibandingkan posisi akhir tahun lalu. Sampai 31 Juli 2013 cadangan devisa tinggal US$92,7 miliar. Padahal, sampai akhir Agustus 2011 cadangan devisa masih US$124,6 miliar. �Pertanyaannya, kemana saja pemerintah kita selama ini? Kok bisa, memburuknya berbagai indikator makro itu dibiarkan saja terus terjadi? Apa karena SBY dan para menterinya sibuk berpolitik? Yang pasti, akibat pemerintah "telmi" alias telat mikir, rakyat jadi korban. Setelah terpukul naiknya harga pada Ronde 1 akibat kenaikan harga BBM dan bulan puasa, rakyat kembali terpukul akibat kenaikan harga pangan Ronde 2 sebesar 10-15% karena anjloknya nilai tukar Rupiah. Saya sudah sarankan sejumlah langkah untuk menurunkan harga pangan sejak tiga bulan lalu ke Kepala Bulog, Menteri Perdagangan dan melalui media masa. Namun saran-saran itu diabaikan,� ungkap Rizal Ramli.
Sedangkan menyangkut terus melemahnya rupiah, Capres yang di kalangan Nahdiyin akrab disapa Gus Romli ini menyatakan, hal itu lebih banyak disebabkan memburuknya indikator-indikator makro ekonomi. Ditambah dengan besarnya jatuh tempo utang dolar pemerintah dan swasta, sekitar $27 milyar, dalam waktu dekat ini, rupiah pun semakin tertekan. Sehubungan dengan itu, dia berpendapat upaya Bank Indonesia (BI) yang terus-menerus melakukan intervensi dengan menjual dolar hanya akan sia-sia. Langkah itu ibarat �menggarami laut� yang justru berakibat makin tergerusnya devisa. Masalah yang dihadapi Indonesia memang sangat berat. Pasalnya, quatro defisits itu juga ditambah dengan defisit kepercayaan dan kredibilitas atas kesungguhan dan kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah. Perlu dicatat pada tahun 1998, defisit kepercayaan di tengah-tengah kemerosotan ekonomi makro serta gejolak eksternal, akhirnya berujung pada perubahan politik
http://www.rimanews.com/read/2013082...-alami-defisit
Menuju Pemilu & Pilpres 2014:
Problematika Pemimpin dan Kepemimpinan Nasional Masa Depan
Lebih dari satu dekade reformasi telah digulirkan, namun hingga saat ini sejumlah masalah masih menimpa bangsa Indonesia. Di bidang politik, hukum, dan keamanan, bangsa kita adalah raksasa rapuh. Di sektor kesejahteraan rakyat, sejumlah luka bangsa masih belum hilang: angka kemiskinan yang tinggi, biaya kesehatan dan pendidikan yang mahal, serta anak-anak busung lapar yang belum hilang dari angka statistik. Di bidang ekonomi dan industri, kita tidak berdaulat atas nasib ekonomi kita sendiri. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab semuanya, salah satunya adalah kegagalan para elit kita memimpin bangsa ini.
Tiadanya pemimpin yang berani mengambil alih masalah orang lain menjadi tanggung jawab dirinya dan berperan sebagai problem solver bagi masalah lingkungannya, telah menyeret bangsa ini pada persoalan-persoalan yang tak berujung. Soekarno sebelumnya dielu-elukan rakyatnya, akhir masa jabatannya tercatat begitu suram. Ia digoyang dan dijatuhkan oleh rakyat. Mati dalam kesendirian. Begitu juga Soeharto, bapak pembangunan ini pun tersungkur di masa akhir jabatannya. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid lebih menyedihkan lagi. Hanya seumur jagung memerintah. Kursinya dicopot beramai-ramai lewat sebuah mekanisme yang hampir tidak masuk akal. Karena itu, bangsa Indonesia memerlukan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi problem solver.
Pemimpin yang lahir dari generasi baru, bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan juga berasal dari individu yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu, melainkan seorang tokoh yang berani, jujur dengan cita-cita perjuangan, memiliki komitmen dan keteguhan terhadap ideologi, serta sabar dalam berjuang. Pemimpin yang mampu memberikan visi, arah, dan tujuan, membangun kepercayaan, memberikan harapan dan optimisme, serta memiliki keberanian melihat dirinya sebagai katalis. Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, toleransi terhadap risiko, disiplin seorang entrepreneur, dan bukan pemimpin bertipe makelar yang hanya mencari untung bagi kepentingan pribadinya sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Pusat Penelitian Politik LIPI akan menyelenggarakan diskusi publik dengan judul �Menuju Pemilu 2014:
Problematika Pemimpin dan Kepemimpinan Nasional Masa Depan� pada hari Rabu, 20 Juli 2011 yang bertempat di Ruang Seminar LIPI, Gedung Widya Graha lt 1. Acara dibuka oleh Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI yaitu Prof. Dr. Syamsuddin Haris sekaligus memberikan sambutan.
Pembicara pertama yaitu Eva Kusuma Sundari (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI) membahas tentang Bagaimana Parpol dan Parlemen Membentuk Pemimpin, yaitu:
- Parpol masih buruk yaitu belum punya sistem dan cara untuk menghasilkan pemimpin yang baik. Tidak punya indikator performa.
- Parpol belum punya gagasan reform untuk dirinya maupun bangsa, contohnya bisa dilihat pada ketiadaan pendidikan politik yang baik dalam badan parpol. Kader belajar sendiri di lapangan, tidak dibekali pendidikan, pengetahuan, dan skill berpolitik
- Parpol kuat diwarnai hubungan-hubungan personal berbasis kedekatan pertemanan dan kekeluargaan.
- Anggota parpol tidak loyal, loncat dari satu parpol ke parpol lain, bukti tidak ada ideologi dan indikator performa
- Parlemen dalam proses kerjanya juga tidak punya gagasan reform yang mendasar dan tidak punya indikator performa antara lain kerapkali bekerja berdasarkan suka atau tidak suka, dan hubungan kedekatan personal.
- Parlemen bekerja tidak berdasarkan meritokrasi yaitu memberikan penghargaan berdasarkan pencapaian merit (proven ability) seseorang yaitu bagaimana orang yang berkompeten.
- Parlemen cenderung mengarah kepada kleptokrasi, yaitu upaya-upaya memperkaya diri dari uang publik.
- Perempuan di parlemen, masih kecil perannya (dampaknya hampir tdk ada). Secara umum kesempatan perempuan Indonesia untuk menjadi pemimpin bangsa masih tertutup.Perempuan dimana kalau tidak punya hubungan pertemanan, kekeluargaan, klan maka kecil kesempatannya untuk berpolitik dan menjadi pemimpin
- Sistem pemilu tidak adil pada perempuan antara lain dari kesempatan awal sampai pada proses menjadi bagian dari sistem politik.
- Ada beberapa rekomendasi menurut anggota DPR RI ini, yaitu: Sistem pemilu: no money politics, adil gender, berdasarkan kemampuan, bukan suara terbanyak tapi nomor urut berdasarkan kemampuan. Parpol Reform: Kaderisasi parpol yang sistematis dan terukur. (Pendidikan politik yang baik dan adil gender untuk masyarakat luas). Mengupayakan sistem merit yang solid dalam parlemen dan parpol (penghargaan berdasarkan kompetensi) yaitu performance indikator yang jelas.
Pembicara selanjutnya yaitu Budiarto Shambazy, ia membahas tentang �Situasi dan Prospek Politik Dewasa Ini�. Menurutnya politik nasional memasuki masa krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah republik ini. Sejak Oktober 2010 pemerintah, seperti diungkapkan dengan tepat oleh WikiLeaks, praktis sudah tidak berjalan lagi alias lumpuh. Penyebab utama kelumpuhan pemerintah adalah:
- Sosok Presiden SBY yang tidak efektif lagi karena watak kepemimpinan yang lemah.
- Kevakuman kepemimpinan nasional tersebut juga gagal diisi oleh Wakil Presiden Boediono.
- Keraguan terhadap keabsahan hasil Pemilu-Pilpres 2009 juga tampak jelas pada proses penyidikan Skandal Century oleh DPR. Keputusan Rapat Paripurna DPR amat jelas: aparat hukum (dalam hal ini Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung) harus menyidik dan menyelidiki hubungan antara bail out Rp 6,9 trilyun Bank Century dengan dugaan politik uang yang dilakukan oleh partai dan capres-cawapres tertentu.
- Wartawan senior Kompas ini menilai kemungkinan yang terjadi pada saat pilpres 2014, barangkali sangat bisa terjadi adalah proses konstitusional dan political bargains di kalangan elit yang memerintah, yang berpusat di masalah keabsahan Pemilu-Pilpres 2009, akhirnya akan berujung pada penyelenggaraan pemilu-pilpres ulang sebelum 2014.
- Pemilu-pilpres ulang bisa diselenggarakan secara murah, cepat, dan jurdil jika melibatkan bantuan/keterlibatan pihak-pihak asing seperti PBB, Uni Eropa, ASEAN, dan negara-negara sahabat. Kita menengarai terdapat puluhan juta pemilih yang dirampas haknya, padahal rakyatlah yang berhak menentukan pilihan masing-masing�bukan lewat cara-cara persekongkolan elit politik di dalam kompleks MPR-DPR, kudeta, atau Pemilu-Pilpres 2014 yang tak mustahil amburadul lagi pelaksanaannya seperti tahun 2009.
Pembicara ketiga Sofjan Wanandi yaitu salah satu Pengusaha yang mengutarakan pendapat serta pemikirannya pemimpin dan kepemimpinan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Selain itu, Bpk. Sofjan Wanandi memberikan pandangannya terhadap kondisi bangsa Indonesia dari sudut pandang seorang pelaku ekonomi.
- Para pengusaha perlu mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam mengembangkan sektor usahanya agar dapat menarik investor dari luar maupun dalam negeri. Selama ini, Pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap pengusaha dalam menjalankan perekonomian maupun sektor bisnis dalam pemerintahan. Menurut Sofjan, bila pemerintah bisa bekerjasama dengan pengusaha, maka baik sektor perekonomian dan bisnis dapat berjalan dengan baik dan lebih efisien.
Pembicara terakhir yaitu Prof. Dr. Syamsuddin Haris dengan tema �Krisis Kepemimpinan Politik dan Tantangan 2014�.
- Menurutnya bangsa kita saat ini tengah mengalami krisis kepemimpinan politik, baik tingkat nasional maupun lokal. Pada tingkat nasional, krisis kepemimpinan politik itu tidak hanya tampak pada kepemimpinan lembek Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melainkan juga terlihat dari kinerja kepemimpinan partai-partai politik hasil Pemilu 2009. Sedangkan di tingkat lokal, krisis kepemimpinan politik tampak dalam kinerja kepala-kepala daerah yang minim kreatifitas dan terobosan, dan sebaliknya justru tersandera berbagai kasus hukum akibat korupsi dan penyalahgunaan dana APBD.
- Ia membahas tentang enam dimensi krisis kepemimpinan politik yang bisa diidentifikasi dan tengah melanda bangsa kita dewasa ini, yaitu Krisis komitmen etis, Krisis keteladanan, Krisis kecerdasan dan kreatifitas, Krisis kapasitas manajerial, Krisis tanggung jawab, dan Krisis kewibawaan.
- Selanjutnya, peneliti yang akrab disapa pak Haris ini, membahas bagaimana partai-partai politik adalah institusi paling bertanggung jawab dalam menghasilkan para pemimpin politik bangsa kita saat ini. Menurutnya, para politisi dan pemimpin parpol yang �bermasalah� tidak memiliki hak moral untuk menjadi calon pemimpin bangsa kita di masa depan. Realitas politik sejauh ini memperlihatkan, para politisi dan pemimpin parpol yang �bermasalah� lebih merupakan beban ketimbang solusi bagi bangsa kita. Terakhir ia membahas bagaimana adanya kerjasama dan konsolidasi sipil dari berbagai elemen kekuatan masyarakat sipil. Kerjasama dan konsolidasi itu tidak hanya diperlukan untuk mencari sumber kepemimpinan politik baru, melainkan juga guna mendorong dan mendesak parpol-parpol kita yang masih peduli agar benar-benar berpihak pada nasib rakyat kita dan masa depan bangsa ini.
http://www.politik.lipi.go.id/in/keg...asa-depan.html
Menggugat Stok Lama, Mana Capres Muda?
Senin, 15/07/2013 17:28 WIB
Den Haag - Bagaimana partai lainnya? Gerindra tampaknya masih menanti waktu yang tepat untuk mengumumkan Prabowo (61 tahun). Begitu juga PAN, melihat karakter Hatta Rajasa (59 tahun) yang berhati-hati, saya rasa dia akan menimbang betul strategi pencalonan presiden dari partainya.
Sedangkan PKS tampaknya masih terus melakukan konsolidasi internal di daerah-daerah pasca badai yang menimpa partai tersebut. PDIP tampak masih akan mengunggulkan Megawati Soekarnoputri (66 tahun), meski banyak juga suara arus bawah yang mendukung Jokowi (52 tahun). Partai lainnya tampak belum berani berkomentar sebelum menerima hasil dari pemilu legislatif.
Melihat deretan nama yang berkembang di belantika politik Indonesia, tampaknya tidak ada satu pun yang berusia di bawah 45 tahun. Bahkan, daftar ini berisikan nama-nama yang telah lama mengisi perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak era reformasi bergulir. Lalu di manakah para calon Presiden muda ini? Apakah mereka memilih untuk tidak terjun dalam pencalonan karena melihat �percuma� dengan pertimbangan sumber daya yang ada. Ataukah mereka tertekan oleh sistem yang memaksa mereka hanya menjadi �kandidat prospektif� sepanjang masa?
Indonesia bukan tidak punya tokoh potensial. Jika dibuat daftar bisa jadi ratusan nama akan berada di dalamnya dan sebagian bahkan sudah berkiprah dalam parpol. Saya melihat setidaknya ada tiga faktor yang menghambat tampilnya calon presiden muda dalam perhelatan demokrasi Indonesia era kini.
Faktor Patron-klien
Kebanyakan parpol di Indonesia masih merupakan sebuah kendaraan pribadi atau kelompok tertentu. Parpol belum menjadi institusi pengkaderan yang mampu melakukan regenerasi kepemimpinan secara sistemik dan melahirkan pemimpin muda baru secara berkala.
Saya melihat, parpol masih sulit melepaskan diri dari bayang-bayang pemodal utama dari partai tersebut. Kita bisa melihat bagaimana Demokrat yang sempat memproklamirkan diri sebagai parpol moderen pun kini tak bisa lepas dari pengaruh besar SBY dan keluarganya. Demikian pula PDIP dengan Megawati Soekarnoputri, Gerindra dan Prabowo-nya, Nasdem dan Surya Paloh, atau Hanura dan Wiranto
http://news.detik..com/read/2013/07/...na-capres-muda
-------------------------------
Kepercayaan masyarakat dan dunia bisnis (dalam dan luar negeri), akan bergantung pada figur Capres yang akan diusung Parpol!
kalau yang diangkat semacam figur Hatta Radjasa, Ical, Prabowo, Pramono Edhi, atau Wiranto dgn Harry Tanoenya itu .... siapa yang akan memilih dan percaya pada mereka?