Sesuai dengan kaidah Triaspolitika Pers (media massa) merupakan pilar ke empat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam hal ini, peran ideal pers ada empat antara lain: Sumber informasi yang berimbang dan mendidik masyarakat (pendidikan politik), Pengawas penguasa (watchdog) dalam menjalankan pemerintahan, Mediator antara publik dengan pemerintah, dan sebagai ruang advokasi publik.
Tak ada perbantahan, semua sepakat bahwa media berperan sangat penting dalam perkembangan demokrasi. Terlihat nyata dalam Pemilu 2014, Media (elektronik dan cetak) dinilai sebagai sarana yang paling efektif untuk melakukan sosialisasi yaitu menyiarkan visi, misi, dan program partai capres dan cawapres.
Pada Pemilu 2014 ini, sejumlah pemilik media ikut menjadi pemain dalam pemilu ini. Terkait dengan hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingatkan agar media memberi ruang sosialisasi yang sama bagi semua kandidat Pilpres mendatang. Permintaan SBY ini bukanlah tanpa alasan, tujuannya agar pers tetap pada fungsinya sebagai media pendidikan bagi masyarakat secara profesional, berimbang, tentu sesuai fakta yang terjadi.
Jika melihat yang terjadi pada Pemilu 2014, kita semua patut cemas terhadap sikap netral awak media. Terlihat media menjadi corong politik bagi para pemilik modal (pemilik media). Akibatnya, aspek jurnalistik yang benar, profesional, dan obyektif agak terpinggirkan. Hanya fakta-fakta yang mendukung saja yang disiarkan.
Hemat kami, Pelaksanaan Pemilu 2014 adalah ujian independensi dan kredibilitas bagi media maupun jurnalis dalam menerapkan jurnalisme politiknya. Independen dari otoritas politik, sosial, bisnis, dan pribadi. Namun, fakta menunjukkan media gagal melewati ujian ini. Media belum mampu menjadi kekuatan kontrol atas proses politik nasional yang berlangsung bahkan terjebak menjadi corong kepentingan kekuatan elit politik dan mengabaikan fungsi media pendidikan pemilih.
Memang tak ada larangan pemilik media terjun ke politik. Kita tak bisa menyalahkan para pemilik media masuk ke ranah politik, karena itu hak asasi mereka. Tapi kalau mereka terus dibiarkan menyalahgunakan media yang mereka miliki akan terjadi penindasan oleh media. Bukankah masyarakat berhak mendapatkan informasi yang baik, bukan informasi yang selera pemilik media sesuai dengan agenda setting politiknya.
Mengenai hal ini Prof Mahfu MD menulis, Capres Prabowo memang sangat fenomenal. Bayangkan, sekitar enam minggu sebelum pemungutan suara, elektabilitas Prabowo kalah jauh (22 %) terhadap Jokowi (46 %). Tapi, saat pemungutan suara ternyata Prabowo mampu menempatkan dirinya seimbang dengan rivalnya itu. Bahkan, Tim Prabowo-Hatta meyakini Prabowo menang. Itu pun, Prabowo dikeroyok oleh lawan-lawannya melalui sekelompok media massa secara brutal, jauh dari kaidah pers dengan segala kode etiknya. Hantaman media terhadap Prabowo tidak hanya melalui pemberitaan yang tidak imbang melainkan secara brutal melalui mutilasi berita, dilepas dari konteksnya, sehingga Prabowo selalu disudutkan. Bukan hanya Prabowo yang dibegitukan, Tim Prabowo-Hatta pun dibantai secara sadis.
Tiga hari sebelum KPU mengumumkan hasil penghitungan suara, sebagai Ketua Timkamnas Prabowo-Hatta, Prof Mahfud MD diwawancarai oleh tiga televisi tentang peluang Prabowo. "Dia menjawab, kami yakin Prabowo-Hatta menang, tetapi jika ternyata nanti kalah, saya akan kembalikan mandat karena gagal mengantarkan kemenangan Prabowo-Hatta."
Mahfud juga menyatakan takkan ikut tim hukum karena tim hukum dan timkamnas tugasnya berbeda. Ternyata, salah satu media memutilasi berita itu dengan menyiarkan secara berulang-ulang, "Mahfud MD kembalikan mandat karena gagal memenangkan Prabowo Hatta."
Beritanya dimutilasi dengan membuang bagian atas dan bagian bawahnya. Pada rapat resmi Tim Prabowo-Hatta tanggal 20 Juli 2014 di Four Season Hotel ada semangat banyak tokoh di lingkungan Prabowo-Hatta untuk menggugat ke MK.
Disisi lain, Koran The Jakarta Post menyatakan sikap resminya untuk mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pemilu Presiden 2014. Sikap itu diambil setelah dilakukan diskusi panjang bersama internal redaksi senior Jakarta Post.
Dalam editorialnya yang diberi judul "Endorsing Jokowi", Jumat (4/7/2014), The Jakarta Post menyebut pasangan Jokowi-Kalla merupakan pasangan yang paling memiliki kesamaan visi dengan media tersebut. Selama ini, media berbahasa Inggris itu selalu fokus pada isu mengenai pluralisme, hak asasi manusia, dan reformasi.
Berdasarkan catatan Kompas.com, dukungan kepada calon presiden secara resmi baru pertama kali dilakukan oleh media di Indonesia. Walau begitu, pernyataan dukungan semacam lazim dilakukan oleh media-media di beberapa negara lain.
Lembaga pemantau media, Remotivi meminta Dewan Pers mengeluarkan media-media dari keanggotaannya di lembaga pers jika tidak netral dan tidak independen dalam memberitakan pemilu presiden 2014.
Direktur Remotivi, Roy Thaniago menilai Dewan Pers punya peran strategis untuk menegakkan etika jurnalistik media saat Pemilu. Dikeluarkannya media partisan dari lembaga pers akan membuat media tersebut tidak lagi di lindungi Undang-Undang Pers. Sehingga memungkinkan publik menggugat mereka jika dirugikan dalam pemberitaannya.
"Saya pikir langkah yang paling ekstrim bahkan Dewan Pers bisa mengeluarkan tv-tv atau media yang tidak menjalankan prinsip jurnalisme atau melanggar kode etik dikeluarkan dari komunitas pers. Sehingga dengan demikian mereka tidak lagi dilindungi oleh UU Pers, mereka bukan lagi komunitas pers, dan mereka tidak ada yang bisa melindungi perbuatan-perbuatan mereka, jadi ketika orang merasa ada berita sesat mereka bahkan bisa mempidanakannya, karena mereka bukan lagi komunitas pers," ujarnya kepada KBR, Selasa (24/6).
Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan ultimatum kepada TVOne dan Metro TV selama sepekan ini untuk memperbaiki tayangan. KPI menilai kedua lembaga penyiaran tersebut sudah tak lagi seimbang dalam memberitakan Capres-Cawapres.
Anggota KPI, Sujarwanto Rahmat M. Arifin mengatakan KPI akan memberikan sanksi tegas mulai dari penghentian program sementara hingga pengurangan durasi program. Dia berharap kedua TV tersebut bisa memperbaiki dan menjaga etika penyiaran dalam masa Pemilu presiden 2014 ini.
Tapi himbauan tinggal himbauan, hingga kini media terus saja dengan aksi dukung mendukung ini. Episode terupdate ini kita lihat bagaimana media terus menghabisi Prabowo sambil memecah belah Koalisi Merah Putih. Mudah-mudahan KMP menyadari hal ini, tidak termakan oleh berita-berita adu domba. Menyadari betapa pentingnya penguasaan media.
Sumber Terkait: http://news.detik.com/read/2014/05/2...14?nd772205103
http://www.voaindonesia.com/content/...-/1861611.html
http://www.radioaustralia.net.au/ind...a-2014/1285446
Link: http://adf.ly/rcXkc