Nusa Dua, Bali: ke tingkat dimana ada yang "menang" dari, argumen emosional sengit antara dua negara tetangga, Australia telah memenangkan pergolakan spionase. Menteri Luar Negeri Julie Bishop telah menegosiasikan kesepakatan yang sebenarnya sama sekali tidak mengakui tuntutan dari pihak Indonesia, Marty Natalegawa.
Penandatanganan Kesepahaman Bersama Kode Etik di Bali pada hari Kamis (28/8) hanya memiliki arti bahwa Australia dapat terus mengumpulkan intelijen apa pun dari Indonesia dengan menggunakan metode teknis apapun. Tak seorang pun akan mengatakan ini secara resmi, tentu saja, karena pernyataan sombong tersebut akan merusak hubungan yang sudah sangat tegang, tapi itu benar.
Bahkan dari sudut pandang Pemerintah Abbott lebih baik - suatu kebetulan yang menyenangkan dari sudut pandangnya - adalah bahwa sembilan bulan kebekuan hubungan baik antara kedua negara telah memungkinkan Operasi Sovereign Borders untuk mendorong sembilan kapal pencari suaka kembali ke Indonesia tanpa merusak hubungan karena, yah, hubungan mereka memang sudah di titik paling buruk.
Hal ini telah membantu menyampaikan pesan untuk para pencari suaka berjumlah lebih dari 10.000 di Indonesia bahwa "jalan telah ditutup". Kata-kata yang digunakan dalam perjanjian ini menunjukkan Australia belum beranjak satu inci dari posisinya pada hari dimana skandal mata-mata terkuak pada 18 November tahun lalu.
Tony Abbott mengatakan kepada parlemen hari itu: "Pemerintah Australia menggunakan semua sumber daya, termasuk informasi, untuk membantu teman-teman kita dan sekutu kita, bukan untuk menyakiti mereka." Bagian dari pidato tersebut telah membuat Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono marah sampai-sampai ia menggambarkannya sebagai "pengkhianatan", dan menulis di Twitter malam itu untuk mengkritik Perdana Menteri Abbott.
Tapi kata-kata Abbott yang tepat digaungkan dalam pemahaman berikut: para pihak berjanji untuk "tidak menggunakan intelijen mereka, termasuk kapasitas pengawasan atau sumber lain dengan cara yang akan membahayakan kepentingan" pihak lain. Dikatakan, pada dasarnya, "Kami akan terus memata-matai tapi kami berjanji untuk tidak menggunakannyauntuk melawan Anda". Tentu saja ada kesetujuan untuk sensitivitas Indonesia.
Dalam tanggapan awal pecahnya permusuhan November lalu, Natalegawa menyebut tindakan Australia sebagai pelanggaran terhadap konvensi PBB, sehingga Kesepahaman Bersama memiliki klausul mengacu pada Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia. Ini tentu mengacu pada Pasal 12: "Tidak seorangpun dapat secara sewenang-wenang dilanggar privasi, keluarga, rumah atau korespondensinya." (Jangan lupa bahwa pendapat ini terjadi karena Australia melakukan penyadapan pada tahun 2009 yang melanggar privasi pribadi Presiden dan istrinya di bawah slogan Sinyal Pertahanan Direktorat: "Ungkap rahasia mereka -Lindungi Diri Kita".)
Tapi referensi samar untuk perjanjian PBB yang sudah ada yang sudah dilanggar seluruhnya tidak akan menghambat Australia. Fairfax Media dengan susah payah mengungkapkan bahwa Misi (Kedubes) Australia di Jakarta masih dilengkapi dengan peralatan pengintaian mata-mata.
Adapun untuk permintaan lebih eksplisit dari Natalegawa pada 4 Juni yang lalu bahwa "kedua pemerintah tidak boleh menyadap telepon satu sama lain", tetapi hal semacam itu sama sekali tidak tercermin dalam dokumen kesepakatan.
Hal ini membuat memungkinkan kedua belah pihak untuk mengumpulkan intelijen, ini hanya berusaha untuk mengatur dunia yang bermasalah dan mencoba untuk mengatur penggunaannya dengan menghindari "bahaya".
Kerja sama yang ditambahkan pada masalah-masalah intelijen yang disertakan ini disambut baik, meskipun kerjasama sudah ada dalam klausul eksplisit pada tahun 2006 (Traktat Lombok). Ini mungkin memiliki efek meningkatkan hubungan pribadi antara mata-mata, dan memotivasi lembaga yang saling mencurigai satu sama lain di kedua negara untuk lebih membantu satu sama lain.
Tapi kewajiban kerjasama dan keterbukaan antara badan-badan intelijen Australia dan Indonesia di bawah perjanjian baru ini akan jatuh jauh dari "sahabat baik" kesepakatan antara "lima mata" klub Australia, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru dan Kanada. Di bawah "Lima Mata" tersebut itulah penyadapan telepon terhadap Yudhoyono dilakukan.
Mari kita perjelas: penyadapan itu sendiri dan fakta bahwa DSD (Direktorat Persandian Australia) membual tentang hal itu dalam presentasi Powerpoint yang kurang tangkas. Tanggapan parlemen Abbott juga kikuk, dan dibangun berdasarkan tujuan untuk memusuhi seorang presiden yang diketahui sangat sensitif dan protektif terhadap keluarganya. I
Memerlukan waktu sembilan bulan untuk menegosiasikan dua titik adendum ini dalam Traktat Lombok karena penghinaan terhadap Yudhoyono begitu besar, sampai mendorong sikap politik yang ekstrim dari menteri luar negerinya.
Butuh waktu sembilan bulan bagi Indonesia untuk bergerak kembali dari posisi itu. Tapi bergerak kembali , hanya sampai ke posisi yang Australia duduki. Yudhoyono meninggalkan kursi kepresidenan pada bulan Oktober dan komentarnya pada saat penandatanganan membuat jelas, bahwa ia secara pribadi termotivasi untuk menghindari masalah masih terbuka dan mencemari warisannya sebagai seorang negarawan internasional.
Dialah yang menentukan tenggat waktu negosiasi di bulan Agustus, perasaannya bahwa ia telah dikhianati telah diredakan, tidak diragukan lagi, oleh sanjungan berbunga-bunga Abbott dalam pertemuan bilateral mereka Juni lalu di Pulau Batam. Julie Bishop, kedutaannya di Jakarta dan badan-badan intelijen Australia akan senang dengan hasil ini. Mari kita berharap mereka tidak menjadi besar kepala.
Link: http://adf.ly/rZZVS