ERINGATAN World Press Freedom Day dipusatkan di Riga, Latvia, pada 2-4 Mei 2015. Di Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merayakannya di Taman Menteng, Minggu (3/5). Salah satu yang AJI angkat, catatan buruk Polri.
Dalam catatan AJI, sejak 1996 delapan kasus kematian jurnalis belum diusut tuntas polisi, ditambah 37 kasus kekerasan sepanjang 3 Mei 2014-3 Mei 2015. Sebelas dari 37 kasus kekerasan itu dilakukan polisi, enam kasus dilakukan orang tak dikenal, empat kasus dilakukan satuan pengamanan atau keamanan, empat kasus dilakukan massa, dan lainnya oleh berbagai macam profesi.
Seluruh kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan polisi itu tak pernah diselesaikan sampai pengadilan. Pada Agustus 2014, sebagai contoh, genap 18 tahun kasus terbunuhnya jurnalis Harian Bernas Yogyakarta Muhammad Fuad Syafrudin alias Udin. Namun, pembunuhnya tak pernah diusut polisi.
"Berulang kali petinggi polisi berjanji mengusut kembali kasus Udin, namun sampai masa kedaluwarsa datang yaitu 18 tahun, tak ada tindak lanjut dari polisi," kata Ketua Umum AJI Suwarjono.
Tujuh jurnalis lainnya Naimullah (Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat, meninggal 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (Asia Press meninggal di Timor Timur 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (TVRI Aceh meninggal 17 Juni 2003), Ersa Siregar (RCTI meninggal 29 Desember 2003), Herliyanto (Tabloid Delta Pos meninggal 29 April 2006), Adriansyah Matra'is Wibisono (TV Merauke meninggal 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (Tabloid Pelangi Maluku ditemukan meninggal 18 Desember 2010).
Di seluruh dunia, sejak 1992 sebanyak 1.123 jurnalis terbunuh karena aktivitas jurnalistiknya. Sebanyak 19 di antaranya terbunuh pada 2015.
Catatan buruk juga datang terlihat dari ranah kebebasan berekspresi warga negara. Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform, sejak 2008 lebih dari 80 kasus kriminalisasi terhadap warga negara karena mengeluarkan pendapat atau ekspresi di internet. Latar belakang para korban kriminalisasi itu ibu rumah tangga, mahasiswa, aktivis, wartawan, dan pengacara.
"Di beberapa kota, mulai muncul ketakutan narasumber diwawancara media online karena ancaman pasal karet UU ITE itu. Karena itu, pada 2015, AJI menetapkan kepolisian sebagai musuh kebebasan pers," ujar Suwarjono.
AJI, kata Suwarjono, menyatakan polisi gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik. Presiden Joko Widodo pun diminta melakukan reformasi besar-besaran kepolisian karena kebebalan untuk berubah.
Di sisi lain, AJI mencatat, kebebasan pers di Papua masih dikekang. Lembaga clearing house telah dipakai membatasi akses setiap jurnalis asing yang ingin meliput di sana. Bahkan, kata Suwarjono, setiap jurnalis asing yang berhasil mendapatkan akses liputan ke Papua, kerap dikuntit atau dikawal saat menjalankan tugas jurnalistiknya.
"Jurnalis lokal pun kerap mendapatkan intimidasi, bahkan terdapat beberapa kasus pembunuhan. Pembatasan akses jurnalis di Papua justru berdampak lebih buruk bagi rakyat Papua, lebih jauh Indonesia," ungkapnya.
Sumber: http://www.harnas.co/2015/05/04/dela...bunuhan-mandek
wahhh ngeri juga gan
Link: http://adf.ly/1GGt0s
Dalam catatan AJI, sejak 1996 delapan kasus kematian jurnalis belum diusut tuntas polisi, ditambah 37 kasus kekerasan sepanjang 3 Mei 2014-3 Mei 2015. Sebelas dari 37 kasus kekerasan itu dilakukan polisi, enam kasus dilakukan orang tak dikenal, empat kasus dilakukan satuan pengamanan atau keamanan, empat kasus dilakukan massa, dan lainnya oleh berbagai macam profesi.
Seluruh kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan polisi itu tak pernah diselesaikan sampai pengadilan. Pada Agustus 2014, sebagai contoh, genap 18 tahun kasus terbunuhnya jurnalis Harian Bernas Yogyakarta Muhammad Fuad Syafrudin alias Udin. Namun, pembunuhnya tak pernah diusut polisi.
"Berulang kali petinggi polisi berjanji mengusut kembali kasus Udin, namun sampai masa kedaluwarsa datang yaitu 18 tahun, tak ada tindak lanjut dari polisi," kata Ketua Umum AJI Suwarjono.
Tujuh jurnalis lainnya Naimullah (Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat, meninggal 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (Asia Press meninggal di Timor Timur 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (TVRI Aceh meninggal 17 Juni 2003), Ersa Siregar (RCTI meninggal 29 Desember 2003), Herliyanto (Tabloid Delta Pos meninggal 29 April 2006), Adriansyah Matra'is Wibisono (TV Merauke meninggal 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (Tabloid Pelangi Maluku ditemukan meninggal 18 Desember 2010).
Di seluruh dunia, sejak 1992 sebanyak 1.123 jurnalis terbunuh karena aktivitas jurnalistiknya. Sebanyak 19 di antaranya terbunuh pada 2015.
Catatan buruk juga datang terlihat dari ranah kebebasan berekspresi warga negara. Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform, sejak 2008 lebih dari 80 kasus kriminalisasi terhadap warga negara karena mengeluarkan pendapat atau ekspresi di internet. Latar belakang para korban kriminalisasi itu ibu rumah tangga, mahasiswa, aktivis, wartawan, dan pengacara.
"Di beberapa kota, mulai muncul ketakutan narasumber diwawancara media online karena ancaman pasal karet UU ITE itu. Karena itu, pada 2015, AJI menetapkan kepolisian sebagai musuh kebebasan pers," ujar Suwarjono.
AJI, kata Suwarjono, menyatakan polisi gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik. Presiden Joko Widodo pun diminta melakukan reformasi besar-besaran kepolisian karena kebebalan untuk berubah.
Di sisi lain, AJI mencatat, kebebasan pers di Papua masih dikekang. Lembaga clearing house telah dipakai membatasi akses setiap jurnalis asing yang ingin meliput di sana. Bahkan, kata Suwarjono, setiap jurnalis asing yang berhasil mendapatkan akses liputan ke Papua, kerap dikuntit atau dikawal saat menjalankan tugas jurnalistiknya.
"Jurnalis lokal pun kerap mendapatkan intimidasi, bahkan terdapat beberapa kasus pembunuhan. Pembatasan akses jurnalis di Papua justru berdampak lebih buruk bagi rakyat Papua, lebih jauh Indonesia," ungkapnya.
Sumber: http://www.harnas.co/2015/05/04/dela...bunuhan-mandek
wahhh ngeri juga gan
Link: http://adf.ly/1GGt0s