KALAU KOMENTAR DI FACEBOOK PAGES INI DIMUAT DI KORAN
#STOPBULLYING - Sebagian besar korban bullying di sekolah adalah siswa baik-baik dan tidak neko-neko. Sekolah juga terkadang membully siswa dengan alasan mempertahankan reputasi. Sekolah, orangtua, dan masyarakat perlu waspada terhadap bullying karena dampaknya dirasakan seumur hidup.

Dalam delapan bulan terakhir, dari 280 kasus kekerasan di sekolah, 40 persen atau 70 kasus di antaranya adalah bullying. Yang mengejutkan, korbannya kebanyakan adalah siswa yang baik-baik saja atau tidak neko-neko.
Catatan Hotline Pendidikan Surabaya, lembaga nonpemerintah di bidang pendidikan, itu sejalan dengan beberapa temuan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim yang kerap menerima permintaan pendampingan siswa korban bullying.
Ketua LPS Jatim Adi Nugroho mencontohkan satu kasus yang baru-baru ini ditangani lembaganya. "Anak ini pandai, tetapi pendiam. Saat ujian, dia menolak memberi contekan terhadap teman-teman. Karena itu, ia dibully," ungkapnya, Kamis (2/10).
Siswa yang baru saja masuk SMP favorit di Surabaya itu tergolong pandai. Tapi, karena sikap jujur dan lurusnya itu, ia jadi sasaran bullying sejumlah teman di kelas VII. Setiap hari ia diolok-olok dan dijahili beramai-ramai. "Dia sampai tidak mau bersekolah lagi," katanya.
Orangtua siswa yang akhirnya mengetahui permasalahan yang dihadapi anaknya, berusaha merajuk agar si anak kembali bersekolah. Tak hanya itu, ia juga meminta bantuan sekolah dan bahkan sampai menunggui putranya belajar di sekolah.
Namun, mental si anak telanjur drop, sehingga tetap menolak meneruskan sekolah.
Priyono, dan LPA, pun turun memberikan pendampingan. Tapi, si anak tetap tidak mau belajar di tempat yang sama. Ia mau bersekolah asal pindah ke tempat lain. Akhirnya, siswa itu tinggal di pondok pesantren.
#STOPBULLYING - Sebagian besar korban bullying di sekolah adalah siswa baik-baik dan tidak neko-neko. Sekolah juga terkadang membully siswa dengan alasan mempertahankan reputasi. Sekolah, orangtua, dan masyarakat perlu waspada terhadap bullying karena dampaknya dirasakan seumur hidup.

Dalam delapan bulan terakhir, dari 280 kasus kekerasan di sekolah, 40 persen atau 70 kasus di antaranya adalah bullying. Yang mengejutkan, korbannya kebanyakan adalah siswa yang baik-baik saja atau tidak neko-neko.
Catatan Hotline Pendidikan Surabaya, lembaga nonpemerintah di bidang pendidikan, itu sejalan dengan beberapa temuan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim yang kerap menerima permintaan pendampingan siswa korban bullying.
Ketua LPS Jatim Adi Nugroho mencontohkan satu kasus yang baru-baru ini ditangani lembaganya. "Anak ini pandai, tetapi pendiam. Saat ujian, dia menolak memberi contekan terhadap teman-teman. Karena itu, ia dibully," ungkapnya, Kamis (2/10).
Siswa yang baru saja masuk SMP favorit di Surabaya itu tergolong pandai. Tapi, karena sikap jujur dan lurusnya itu, ia jadi sasaran bullying sejumlah teman di kelas VII. Setiap hari ia diolok-olok dan dijahili beramai-ramai. "Dia sampai tidak mau bersekolah lagi," katanya.
Orangtua siswa yang akhirnya mengetahui permasalahan yang dihadapi anaknya, berusaha merajuk agar si anak kembali bersekolah. Tak hanya itu, ia juga meminta bantuan sekolah dan bahkan sampai menunggui putranya belajar di sekolah.
Namun, mental si anak telanjur drop, sehingga tetap menolak meneruskan sekolah.
Priyono, dan LPA, pun turun memberikan pendampingan. Tapi, si anak tetap tidak mau belajar di tempat yang sama. Ia mau bersekolah asal pindah ke tempat lain. Akhirnya, siswa itu tinggal di pondok pesantren.
Kasus lain yang ditangani LPA Jatim adalah siswi SMA Kota Surabaya yang justru di-bully pihak sekolah. Lembaga yang seharusnya memberinya pendidikan malah menginginkan ia keluar.
Siswi ini, kata Priyono, berasal dari keluarga broken home. Ia tidak ada yang merawat. Kedua orang tuanya bercerai. Melati, sebuat saja demikian, hamil di luar nikah hingga melahirkan bayi.
Awalnya, pihak sekolah tidak mengetahui latar belakang dan problem yang dialami gadis ini. Namun, seiring berjalannya waktu, 'borok' ini pun terungkap. Lantaran kasus ini sudah berlalu, pihak sekolah kesulitan mengeluarkan Melati.
Tapi, meski tetap bersekolah, Melati tidaklah bisa belajar dengan tenang. Sebab, ia harus menghadapi aksi bullying para guru maupun petugas bimbingan dan konseling. "Pihak sekolah terkesan membuat siswi ini tidak nyaman dan keluar atas kemauan sendiri," katanya.
Yang membuat Priyono mengelus dada, bullying itu kerap dilakukan guru justru dalam kelas. Mereka menyindir-nyindir kasus asusila Melati saat proses belajar berlangsung. "Kami bersyukur, dia masih bisa bertahan. Kami terus mendampingi dan memberikan penguatan," tegas Priyono.
Relawan LPA Jatim secara berkala memberikan pendampingan untuk menjaga mental siswi itu agar tidak drop out. "Sekolah sering berusaha menjaga image sebagai sekolah yang baik. Salah satunya mereka mengeluarkan para siswa yang dianggap bermasalah. Padahal, kalau sudah dikeluarkan, anak-anak seperti itu juga kesulitan mendapat sekolah baru," tegasnya.
Selain menangani anak-anak di Surabaya, LPA Jatim banyak menangani kasus dari sekitarnya, seperti Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan. "Ke depan, kami akan sampaikan data kasus yang ditangani masing-masing lembaga kepada pihak provinsi. Dengan demikian, ada data yang komprehensif di seluruh wilayah Jatim," papar Priyono.
Data 2013 menyebutkan, ada total 133 kasus bullying anak-anak yang ditangani lembaga ini. Sedangkan untuk 2014, hingga September terdapat total 87 kasus. Bullying akan semakin marak jika pihak sekolah dan masyarakat tidak berubah sikap.
SUMBER
Dikutip dari: http://adf.ly/sf2xu


