Banyumas, - Di salah satu perempatan jalan di Kota Purwokerto, Jawa Tengah
semua kendaraan menginjak pedal remnya kemudian berbaris rapi, 60 detik waktu
terus menghitung mundur, mengejar detik-detik lampu merah yang akan segera
berubah menjadi hijau. Tiba-tiba entah dari sudut mana muncul seorang gadis
kecil dengan wajah memelas menghampiri setiap pengendara motor dan mobil
dengan menadahkan tangannya.
Di bawah lampu merah gadis kecil itu menyambung nyawa, berjuang sendiri
melawan hari, berlari melawan terik matahari. Dengan suara yang sedikit lirih,
pengendara pun iba dan memberikan sedikit rezekinya, namun adapula yang
seolah tak peduli atau berpura-pura tidak melihat. Keceriaannya telah terenggut
oleh kerasnya kehidupan.
Adalah Dewi Anggraeni, gadis kecil kelahiran 6 Februari 2004 yang kini harus
menanggung semua utang almarhum ibundanya semasa hidup. Gadis kecil yatim
piatu pasangan Maryati dan Wiyatno itu kini diasuh oleh tetangganya, Sriwati
setelah ibunya meninggal dunia karena sakit paru-paru sekitar 1 bulan yang lalu.
Dengan setoran Rp. 50 ribu per hari, Dewi yang masih duduk di kelas III SDN 1
Karengklesem ini harus turun ke jalan untuk menjadi pengemis. Biasanya
pekerjaannya itu dia lakukan sepulangnya dari sekolah yakni sekitar pukul 15.00
hingga 21.00 WIB. Ia mengemis untuk melunasi beban hutang sebesar Rp 6 juta
yang dipinjam oleh ibunya ketika sakit untuk berobat.
"Dewi kerja habis pulang sekolah. Targetnya harus Rp 100 ribu, kalau tidak target
tidak berani pulang," kata Dewi saat ditemui wartawan di deretan ruko-ruko
perempatan Sri Ratu, Kota Purwokerto beberapa waktu lalu.
Setiap hari, uang hasil dia mengemis selalu disetorkan pada Sriwati, salah satu
tetangga yang selama ini merawatnya. Uang itu digunakan untuk mengangsur
utang ibunya.
"Uangnya dikasihkan ke mamahnya Ilham (Sriwati) Untuk membayar utangnya
ibu," jelasnya.
Sementara menurut tetangga Dewi, Supriyatin (44), Dewi sebenarnya memilik
kakak perempuan. Namun semenjak ibunya meninggal, sang kakak pergi. Sejak
itulah hanya Dewi seorang yang berusaha melunasi hutang ibunya.
"Dewi ditarget harus dapet uang sehari minimal Rp 70 ribu, kalau sampai malam
sehabis Isya dia belum dapat segitu, dia tidak mau pulang dan selalu menangis di
pinggir jalan tempat dia meminta minta," ujar Supriyatin.
Selain takut tidak bisa memenuhi target, Dewi juga sering mendapat marah dari
Sriwati. Pasalnya, uang dari hasil Dewi mengemis, sebagian harus diberikan untuk
Sriwati.
"Dari uang Rp 70 ribu, dibagi Rp 50 ribu buat rentenir yang Rp 20 ribu buat bu
Sri," ujarnya.
Dia menjelaskan, utang almarhum ibunda Dewi awalnya hanya Rp 2 juta, tapi
berkembang menjadi Rp 6 juta dan diwariskan padanya sehingga harus ia lunasi.
Padahal kondisi Dewi semakin hari semakin kurus dan sakit-sakitan.
"Sempat pas waktu malam-malam Dewi badannya panas, dan bersandar di tiang
listrik. Lalu saya belikan obat, dan saya bawa pulang," ucap Dewi.
Karena pulang mengemis hingga larut malam, dia akhirnya beberapa kali pula
sempat mengantuk ketika mengikuti kegiatan belajar di dalam kelas. Bahkan
ketika berangkat ke sekolah, lebih sering dirinya tidak bisa sarapan lantaran tidak
ada nasi untuk dimakan. Melihat hal tersebut, guru di sekolahnya kadang
membelikan ketupat dan mendoan untuk mengisi perut Dewi yang kosong.
Sejak ibunya meninggal, pihak sekolah sebenarnya mengetahui jika Dewi selama
ini menjadi gadis peminta-minta di perempatan jalan. Pihak sekolah juga tahu
saat Dewi sedang mengemis dan melihat guru atau teman-temannya melintas
dirinya langsung bersembunyi.
"Dewi anak yang lincah, baik, dan penurut, tapi jarang masuk sekolah. Setelah di
selidiki, ternyata Dewi sering bekerja untuk mengemis di jalan," kata Marsini,
salah satu guru Dewi.
Sebenarnya Dewi Anggraeni mendapatkan bantuan siswa miskin (BSM). Dana
bantuan ini digunakan untuk keperluan sekolah. Sementara untuk biaya-biaya lain
di sekolah, termasuk buku pelajaran semua di gratiskan, karena sekolah sudah
mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Perubahan Dewi bukan hanya di sekolah, tapi juga ditempat Dewi selama ini ikut
belajar mengaji, sejak ibunya meninggal, Dewi tidak pernah lagi ikut belajar
mengaji dan mengikuti kegiatan lain seperti bermain kentongan.
"Dia anak yang aktif, sebelum ibunya meninggal, tetapi setelah ibunya meninggal
dia lebih sering berada di perempatan jalan untuk mengemis," kata guru ngaji
Dewi, Musaffa (37).
Menurut Musaffa, pihaknya sudah berusaha melaporkan hal itu ke pihak Dinas
Sosial Kabupaten Banyumas, tapi sampai saat ini belum ada respon. Bahkan
Ketua RT setempat juga merasa kewalahan setelah mendapatkan ancaman dari
orang yang memberikan utang pada almarhum ibunya Dewi karena membela
Dewi.
"Kita akan menggerakkan teman-teman mahasiswa untuk melakukan
penggalangan dana, dan melunasi hutang Dewi. Setelah hutangnya lunas, Dewi
akan kami ambil dan akan di masukkan ke pondok pesantren," pungkas Musaffa.
Sumber : m.detik.com/news/read/2015/05/03/082946/2904063/10/1/gadis-kecil-ini-harus-mengemis-untuk-bayar-warisan-utang-ibunya
Ayo Bantu.
Link: http://adf.ly/1GE3jX
semua kendaraan menginjak pedal remnya kemudian berbaris rapi, 60 detik waktu
terus menghitung mundur, mengejar detik-detik lampu merah yang akan segera
berubah menjadi hijau. Tiba-tiba entah dari sudut mana muncul seorang gadis
kecil dengan wajah memelas menghampiri setiap pengendara motor dan mobil
dengan menadahkan tangannya.
Di bawah lampu merah gadis kecil itu menyambung nyawa, berjuang sendiri
melawan hari, berlari melawan terik matahari. Dengan suara yang sedikit lirih,
pengendara pun iba dan memberikan sedikit rezekinya, namun adapula yang
seolah tak peduli atau berpura-pura tidak melihat. Keceriaannya telah terenggut
oleh kerasnya kehidupan.
Adalah Dewi Anggraeni, gadis kecil kelahiran 6 Februari 2004 yang kini harus
menanggung semua utang almarhum ibundanya semasa hidup. Gadis kecil yatim
piatu pasangan Maryati dan Wiyatno itu kini diasuh oleh tetangganya, Sriwati
setelah ibunya meninggal dunia karena sakit paru-paru sekitar 1 bulan yang lalu.
Dengan setoran Rp. 50 ribu per hari, Dewi yang masih duduk di kelas III SDN 1
Karengklesem ini harus turun ke jalan untuk menjadi pengemis. Biasanya
pekerjaannya itu dia lakukan sepulangnya dari sekolah yakni sekitar pukul 15.00
hingga 21.00 WIB. Ia mengemis untuk melunasi beban hutang sebesar Rp 6 juta
yang dipinjam oleh ibunya ketika sakit untuk berobat.
"Dewi kerja habis pulang sekolah. Targetnya harus Rp 100 ribu, kalau tidak target
tidak berani pulang," kata Dewi saat ditemui wartawan di deretan ruko-ruko
perempatan Sri Ratu, Kota Purwokerto beberapa waktu lalu.
Setiap hari, uang hasil dia mengemis selalu disetorkan pada Sriwati, salah satu
tetangga yang selama ini merawatnya. Uang itu digunakan untuk mengangsur
utang ibunya.
"Uangnya dikasihkan ke mamahnya Ilham (Sriwati) Untuk membayar utangnya
ibu," jelasnya.
Sementara menurut tetangga Dewi, Supriyatin (44), Dewi sebenarnya memilik
kakak perempuan. Namun semenjak ibunya meninggal, sang kakak pergi. Sejak
itulah hanya Dewi seorang yang berusaha melunasi hutang ibunya.
"Dewi ditarget harus dapet uang sehari minimal Rp 70 ribu, kalau sampai malam
sehabis Isya dia belum dapat segitu, dia tidak mau pulang dan selalu menangis di
pinggir jalan tempat dia meminta minta," ujar Supriyatin.
Selain takut tidak bisa memenuhi target, Dewi juga sering mendapat marah dari
Sriwati. Pasalnya, uang dari hasil Dewi mengemis, sebagian harus diberikan untuk
Sriwati.
"Dari uang Rp 70 ribu, dibagi Rp 50 ribu buat rentenir yang Rp 20 ribu buat bu
Sri," ujarnya.
Dia menjelaskan, utang almarhum ibunda Dewi awalnya hanya Rp 2 juta, tapi
berkembang menjadi Rp 6 juta dan diwariskan padanya sehingga harus ia lunasi.
Padahal kondisi Dewi semakin hari semakin kurus dan sakit-sakitan.
"Sempat pas waktu malam-malam Dewi badannya panas, dan bersandar di tiang
listrik. Lalu saya belikan obat, dan saya bawa pulang," ucap Dewi.
Karena pulang mengemis hingga larut malam, dia akhirnya beberapa kali pula
sempat mengantuk ketika mengikuti kegiatan belajar di dalam kelas. Bahkan
ketika berangkat ke sekolah, lebih sering dirinya tidak bisa sarapan lantaran tidak
ada nasi untuk dimakan. Melihat hal tersebut, guru di sekolahnya kadang
membelikan ketupat dan mendoan untuk mengisi perut Dewi yang kosong.
Sejak ibunya meninggal, pihak sekolah sebenarnya mengetahui jika Dewi selama
ini menjadi gadis peminta-minta di perempatan jalan. Pihak sekolah juga tahu
saat Dewi sedang mengemis dan melihat guru atau teman-temannya melintas
dirinya langsung bersembunyi.
"Dewi anak yang lincah, baik, dan penurut, tapi jarang masuk sekolah. Setelah di
selidiki, ternyata Dewi sering bekerja untuk mengemis di jalan," kata Marsini,
salah satu guru Dewi.
Sebenarnya Dewi Anggraeni mendapatkan bantuan siswa miskin (BSM). Dana
bantuan ini digunakan untuk keperluan sekolah. Sementara untuk biaya-biaya lain
di sekolah, termasuk buku pelajaran semua di gratiskan, karena sekolah sudah
mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Perubahan Dewi bukan hanya di sekolah, tapi juga ditempat Dewi selama ini ikut
belajar mengaji, sejak ibunya meninggal, Dewi tidak pernah lagi ikut belajar
mengaji dan mengikuti kegiatan lain seperti bermain kentongan.
"Dia anak yang aktif, sebelum ibunya meninggal, tetapi setelah ibunya meninggal
dia lebih sering berada di perempatan jalan untuk mengemis," kata guru ngaji
Dewi, Musaffa (37).
Menurut Musaffa, pihaknya sudah berusaha melaporkan hal itu ke pihak Dinas
Sosial Kabupaten Banyumas, tapi sampai saat ini belum ada respon. Bahkan
Ketua RT setempat juga merasa kewalahan setelah mendapatkan ancaman dari
orang yang memberikan utang pada almarhum ibunya Dewi karena membela
Dewi.
"Kita akan menggerakkan teman-teman mahasiswa untuk melakukan
penggalangan dana, dan melunasi hutang Dewi. Setelah hutangnya lunas, Dewi
akan kami ambil dan akan di masukkan ke pondok pesantren," pungkas Musaffa.
Sumber : m.detik.com/news/read/2015/05/03/082946/2904063/10/1/gadis-kecil-ini-harus-mengemis-untuk-bayar-warisan-utang-ibunya
Ayo Bantu.
Link: http://adf.ly/1GE3jX