SITUS BERITA TERBARU

pengamat : MK abaikan proses UUMD3

Wednesday, October 1, 2014
Pengamat: MK Abai Terhadap Proses Di Balik UU MD3
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (tengah) dan para hakim konstitusi (dari kiri) Muhammad Alim, Marida Farida Indrati, Patrialis Akbar, dan Wahiduddin Adams memimpin jalannya sidang uji materi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (29/9).
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (tengah) dan para hakim konstitusi (dari kiri) Muhammad Alim, Marida Farida Indrati, Patrialis Akbar, dan Wahiduddin Adams memimpin jalannya sidang uji materi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (29/9). (sumber: Antara/Andhika Wahyu)
Jakarta - Pengamat menilai Mahkamah Konstitusi menutup mata terhadap kecacatan proses perumusan Undang-Undang No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ketika menolak uji materi undang-undang tersebut.

"MK hanya melihat aspek konstitusional saja, tapi tidak melihat bahwa sesungguhnya undang-undang harus mengikuti proses yang menjamin kedaulatan rakyat, misalnya apakah undang-undang tersebut disusun berdasarkan prinsip transparansi, partisipatif dan dilakukan dengan demokratis," kata Ari Dwipayana, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, pada Beritasatu.com, Senin (29/9).

"Mereka tidak mempedulikan apakah ada naskah akademik, apakah melewati uji publik, namun hanya membicarakan hasilnya. Menurut saya, itu salah satu catatan kekurangan MK, meskipun memang kewenangan konstitusionalnya tidak sampai di sana."

MK memutuskan menolak uji materi yang diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai ini meminta MK untuk membatalkan beberapa pasal dalam undang-undang yang dikenal sebagai UU MD3 tersebut, termasuk pasal 84, 97, 104, 109, 115, 121 dan 152.

Bila dalam UU MD3 yang lama, jabatan-jabatan strategis di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk ketua DPR, ketua komisi, ketua Badan Anggaran, ketua Badan Legislasi, ketua Mahkamah Kehormatan, Ketua Badan Urusan Rumah Tangga dan Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen, diberikan pada partai pemenang Pemilu, pasal-pasal di atas dalam undang-undang yang baru mengubah metodenya menjadi musyawarah, atau bila gagal, voting dengan suara terbanyak fraksi atau anggota.

Perubahan sistem ini baru dibahas dalam waktu antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Dalam persidangan sebelumnya, PDI-P menyatakan bahwa tidak pernah ada diskusi tentang perubahan sebelumnya dan bahwa tidak ada uji publik yang dilakukan terkait perubahan tersebut.

Namun demikian, hakim MK, Patrialis Akbar menyatakan bahwa tidak ada sistem yang salah dengan merevisi UU MD3 tersebut dan sistem pemilihan ketua DPR dan jabatan strategis lainnya tidaklah melanggar UUD 1945 dan tidak diskriminatif.

Ari mengatakan bahwa putusan MK ini akan membawa paling sedikit dua akibat.

"Yang pertama, yang akan terjadi adalah model pembagian jatah politik di antara partai-partai Koalisi Merah Putih," kata Ari.

"Power sharing ini dibangun untuk merebut atau menduduki pimpinan DPR dan MPR. Ini untuk memuluskan proses menguasai seluruh DPR dan kelengkapannya, termsuk MPR. Orientasi partai-partai tidak sekedar di eksekutif, tapi juga di legislatif."

Sebagai akibat yang kedua, Ari mengatakan akan terjadi divided government, di mana pemerintahan eksekutif dikuasai oleh koalisi Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dan legislatif dikuasai oleh Koalisi Merah Putih.

"Ini membuat kerja-kerja politik yang dirumuskan oleh Jokowi dalam visi dan misinya menjadi tidak mudah, baik dalam hal legislasi, budgeting dan rekruitment untuk posisi-posisi yang strategis," kata Ari, menambahkan bahwa ini memunculkan kompetisi politik dalam mekanisme pasar bebas.

Penulis: Camelia Pasandaran/FQ
Sumber:Jakarta Globe

Link: http://adf.ly/sV70s
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive