Jakarta - Jelang 2014, pembicaraan di berbagai jejaring sosial dan warung kopi mulai mengarah kepada siapa bakal calon presiden Indonesia selanjutnya. Namun pembicaraan itu banyak berkutat pada figur personal, bukan pada apa gagasan dan ideologi. Diskusi figur tanpa melihat ide merupakan cermin dari masyarakat Indonesia yang masih melihat sampul ketimbang isi, mengutamakan penampilan ketimbang kapasitas. Selama seseorang itu menyenangkan dilihat dan bisa menyentuh hati, dialah yang akan dipilih.
Ironisnya, parpol yang menjadi pengusung bakal calon presiden pun juga hanya mengandalkan citra personal. Bung Karno pernah berkata, Sebuah partai harus dipimpin oleh ide, menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide." Parpol terjebak pada realita bahwa tokoh yang diusung harus seorang yang menarik dan mampu menggaet pasar pemilih. Inilah saya kira, ketika politik disamakan dengan bisnis maka akan berdampak pada minimnya kualitas gagasan yang dibawa tentang bagaimana memajukan Indonesia. Ada kesalahan logika bila memaknai kampanye parpol sebagai political marketing yang cenderung pragmatis, bukan sebagai arena kontestasi gagasan masa depan.
Minimnya diskusi gagasan ini bukan hanya terkait dengan budaya Indonesia yang cenderung menghindari debat, tetapi juga dikarenakan rendahnya kemampuan para bakal calon presiden dan parpol pengusung dalam membaca pola sejarah, menjabarkan tantangan masa kini dan menajamkan gagasan ke depan. Akibatnya, publik tidak memiliki visualisasi tentang bagaimana hidup mereka dan nasib Indonesia bila nantinya memiliki presiden A atau B.
Bila kita bertanya pada publik, apakah ada perbedaan kebijakan jika kelak capres yang terpilih dari Demokrat, Golkar, PKS, atau PDIP? Apakah BBM akan naik atau turun bila mereka memimpin? Atau bagaimana konsep pembangunan sumber daya manusia ke depan? Saya prediksi, publik belum bisa menjawabnya karena para capres tidak memberikan gambaran kebijakan secara jelas. Mereka hanya bermain pada pencitraan, gembar-gembor quote yang menarik hati, serta rangkaian iklan yang cenderung monoton. Dalam forum terbuka atau media massa pun, mereka kerap bermain dengan pernyataan normatif: pendidikan Indonesia lebih berdaya saing, pembangunan industri berkelanjutan, tatakelola pemerintah berbasis good governance, atau ekonomi yang mengutamakan rakyat kecil. Atau sekedar jargon tanpa bentuk seperti Negara Kesejahteraan, Indonesia Unggul, atau Indonesia yang Lebih Baik.
Pernyataan semacam itu bukanlah gagasan yang ingin didengar oleh publik, tetapi publik ingin mendengar dan juga perlu dibiasakan- tentang berapa persen pajak yang harus dibayar ketika mereka buka usaha, sejauh mana subsidi kesehatan bagi kelas bawah dan menengah, bagaimana strategi ekonomi agar kurs rupiah menguat terhadap Dollar Amerika, atau tentang bagaimana skema pembangunan desa versi capres pasca disahkannya UU Desa pekan lalu. Bila diskusi semacam ini dilakukan oleh para capres, maka perdebatan mengenai strategi jitu membangun Indonesia bisa lebih dirasakan oleh publik.
Perbedaan gagasan antara capres sejatinya bisa menjadi kesempatan bagi presiden terpilih kelak untuk mematangkan konsep pengelolaan negeri ini. Selama masa kampanye, seorang capres dituntut untuk mampu memiliki data akurat, memetakan tantangan secara jelas, dan mengolahnya menjadi strategi jitu dalam membangun Indonesia. Sehingga, perang dalam pemilu adalah perang pemikiran dan gagasan, bukan perang media dan pencitraan. Jangan sampai pemilihan presiden republik ini tak ubahnya pemilihan Idol yang hanya berbasiskan wajah, kesukaan sikap, atau sekedar suara tanpa isi.
Pemilu adalah kontestasi gagasan, bukan arena ajang adu bakat mencitrakan diri. Saya kira, publik juga sudah muak dengan ribuan spanduk, baliho, dan poster yang hanya berisikan wajah berukuran besar dengan sedikit sekali informasi mengenai program apa yang ia bawa. Pemilihan presiden adalah wahana untuk merapatkan rakyat dalam menentukan masa depan Indonesia. Rakyat perlu digiring untuk mendukung gagasan, bukan sosok rupawan.
sumber
=====
tumben isi detik kali ini agak nggenah dikit