Beberapa hari ini, berita tentang penyalahgunaan kekuasaan marak kembali, menyeruak ditengah kehebohan berita Mudik dan kenaikan bahan pangan. Koruptor tetap merajalela, berita kemacetan yang melanda Jakarta pun semakin parah.
Yang Terakhir mengenai kemacetan, kedepannya, selepas lebaran pastinya kondisinya akan semakin parah. Pastinya kisah-kisah pelanggaran lalu-lintas ditambah penyalahgunaan kekuasaan akan marak. Penyebabnya adalah adanya daerah abu-abu dalam penerapan hukum itu sendiri.
Bisa dipastikan, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi seperti maraknya para pengguna kendaraan pribadi yang masuk ke jalur Transjakarta, tidak bisa diatasi kalau mental malu kita hilang. Beberapa hari lalu, ada yang mengaku anak Jendral demi diloloskan untuk menggunakan jalur busway. Belum selesai itu, terjadi lagi, petugas yang notabene mengerti hukum. Pun ikutan melanggar, kali ini mengatasnamakan pengawal Presiden.
Kedepannya siapa lagi yang akan seperti ini? Mungkin media bisa membantu dalam melakukan pengamatan. Berapa banyak bis-bis pegawai Instansi Pemerintah yang masuk jalur Bus way seenaknya. Ini bisa kita lihat ketika jam masuk dan pulang kantor.
Nah pembiaran-pembiaran seperti ini nantinya akan membuat lunturnya nilai kepatuhan kita terhadap hukum itu sendiri. Sebisa mungkin buat peraturan yang jelas dan detil. Siapapun tidak bisa masuk jalur bus way, kecuali pemadam kebakaran, ambulance dan lainnya yang sifatnya darurat. Nah yang sifatnya darurat ini yang terkadang menjadi bahasa abu-abu.
Ini yang menjadi tempat berlindung bagi para pelanggar-pelanggar tadi, anggota DPR bisa bebas masuk jalur bus way, dengan mengatakan ia memiliki keadaan darurat. Kalau sekedar darurat takut terlambat rapat dan datang kantor, apakah itu dinamakan darurat.
Perlu juga ketegasan dari para petugas dilapangan, apapun alasannya, apapun seragamnya, bila perlu Presiden pun tidak diperkenankan memasuki jalur Transjakarta jika keadaan tidak darurat dan mendesak.
Kembali ke budaya malu, seharusnya para pejabat yang mengerti hukum dan melakukan pelanggaran sejatinya diberikan hukuman yang lebih berat. Karena ia tahu hukum dan mengerti akan klausul-klausul didalamnya. Kalau para punggawa hukum atau setiap orang yang melek hukum saja melakukan pelanggaran dan tidak bisa memberikan contoh yang baik. Lalu apa jadinya orang-orang seperti saya yang buta akan hukum dan tidak berani melanggar peraturan.
Yang saya lihat, kalau mereka bisa masuk Jalur Busway sesuka hatinya, saya juga. Toch saya juga bayar pajak. Kalau keperluan mendesak, saya juga punya alasan itu. Toch mendesak bagi masing-masing orang berbeda persepsinya kan. Saya kebelet untuk ke toilet.
Salam Perubahan,
Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang mudah dan mulai saat ini..
sumber : http://korneliusginting.blogdetik..c...lu-nya-kemana/
Yang Terakhir mengenai kemacetan, kedepannya, selepas lebaran pastinya kondisinya akan semakin parah. Pastinya kisah-kisah pelanggaran lalu-lintas ditambah penyalahgunaan kekuasaan akan marak. Penyebabnya adalah adanya daerah abu-abu dalam penerapan hukum itu sendiri.
Bisa dipastikan, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi seperti maraknya para pengguna kendaraan pribadi yang masuk ke jalur Transjakarta, tidak bisa diatasi kalau mental malu kita hilang. Beberapa hari lalu, ada yang mengaku anak Jendral demi diloloskan untuk menggunakan jalur busway. Belum selesai itu, terjadi lagi, petugas yang notabene mengerti hukum. Pun ikutan melanggar, kali ini mengatasnamakan pengawal Presiden.
Kedepannya siapa lagi yang akan seperti ini? Mungkin media bisa membantu dalam melakukan pengamatan. Berapa banyak bis-bis pegawai Instansi Pemerintah yang masuk jalur Bus way seenaknya. Ini bisa kita lihat ketika jam masuk dan pulang kantor.
Nah pembiaran-pembiaran seperti ini nantinya akan membuat lunturnya nilai kepatuhan kita terhadap hukum itu sendiri. Sebisa mungkin buat peraturan yang jelas dan detil. Siapapun tidak bisa masuk jalur bus way, kecuali pemadam kebakaran, ambulance dan lainnya yang sifatnya darurat. Nah yang sifatnya darurat ini yang terkadang menjadi bahasa abu-abu.
Ini yang menjadi tempat berlindung bagi para pelanggar-pelanggar tadi, anggota DPR bisa bebas masuk jalur bus way, dengan mengatakan ia memiliki keadaan darurat. Kalau sekedar darurat takut terlambat rapat dan datang kantor, apakah itu dinamakan darurat.
Perlu juga ketegasan dari para petugas dilapangan, apapun alasannya, apapun seragamnya, bila perlu Presiden pun tidak diperkenankan memasuki jalur Transjakarta jika keadaan tidak darurat dan mendesak.
Kembali ke budaya malu, seharusnya para pejabat yang mengerti hukum dan melakukan pelanggaran sejatinya diberikan hukuman yang lebih berat. Karena ia tahu hukum dan mengerti akan klausul-klausul didalamnya. Kalau para punggawa hukum atau setiap orang yang melek hukum saja melakukan pelanggaran dan tidak bisa memberikan contoh yang baik. Lalu apa jadinya orang-orang seperti saya yang buta akan hukum dan tidak berani melanggar peraturan.
Yang saya lihat, kalau mereka bisa masuk Jalur Busway sesuka hatinya, saya juga. Toch saya juga bayar pajak. Kalau keperluan mendesak, saya juga punya alasan itu. Toch mendesak bagi masing-masing orang berbeda persepsinya kan. Saya kebelet untuk ke toilet.
Salam Perubahan,
Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang mudah dan mulai saat ini..
sumber : http://korneliusginting.blogdetik..c...lu-nya-kemana/