SITUS BERITA TERBARU

The WSJ: Mitos Nasionalisme Sumber Daya Indonesia

Monday, October 7, 2013
[imagetag]
Tambang batubara di Kalimantan

[imagetag]
Mitos Nasionalisme Sumber Daya Indonesia
2. October 2013, 13:05:20 SGT
oleh John Kurtz dan James Van Zorge

Pemerintah Indonesia baru-baru ini menggulirkan serangkaian kebijakan yang membuat pusing kepala para petinggi urusan minyak dan pertambangan. Regulasi baru tersebut ditujukan mereformasi industri pertambangan dan perminyakan atas nama �kepentingan nasional.� Kebijakan-kebijakan tersebut berpotensi menurunkan produksi industri terkait, serta mengganggu modal asing dan pertumbuhan ekonomi.

Kalimantan dan Papua akan menjadi daerah yang mengalami imbas terburuk dari kebijakan baru pemerintah. Mengingat minyak dan pertambangan memiliki peran besar dalam perekonomian di kedua wilayah tersebut.

�Dengan membandingkan pemerintah sebagai Kaisar Nero dan industri pertambangan setempat sebagai Roma kuno,� ujar Bill Sullivan, konsultan urusan legal dalam bidang pertambangan di Indonesia, �[saat ini] seakan-akan Nero memilih bermuslihat saat Roma dilanda kebakaran.�

Alasan di balik terjadinya akal-akalan hingga saat ini masih jadi pertanyaan, terutama karena para investor kakap telah memangkas rencana belanja modal. Sejumlah pemain industri minyak dan pertambangan menunjuk lemahnya koordinasi di level kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah sebagai kambing hitam. Sebagian lagi menyalahkan campur tangan para pengambil kebijakan yang minim pemahaman mengenai industri tersebut.

Secara diam-diam, para eksekutif domestik dan asing mengklaim bahwa �kepentingan nasional� tak lebih dari upaya menarik setoran, yang acap kali ditujukan pada korporasi berkantong tebal. Karena itu, para pemegang saham dan direksi sejumlah perusahaan seperti Newmont, BP, Total Oil, dan Freeport McMoRan gerah. Dengan adanya kebijakan baru itu, mereka mempertimbangkan kembali pelaksanaan usaha di Indonesia.
More In opini

Sebenarnya, penyimpangan yang mengatasnamakan kesejahteraan umum telah lama dijalankan. Indonesia terlalu banyak memiliki juru masak di dapur regulasi sejak mantan Presiden B.J. Habibie menggulirkan kebijakan �Big Bang� pada 1999 yang menyangkut otonomi daerah. Sejak itu, pemimpin daerah memiliki kekuasaan besar untuk meminta setoran.

Labirin di lingkungan birokrasi serta mandat yang tumpang-tindih pada tingkat daerah dan pusat menyebabkan kebingungan serta pelbagai penundaan yang mahal harganya bagi perusahaan tambang dan minyak. Namun, bagi yang dapat mengambil peluang dari lamanya persetujuan izin atau hal-hal yang berkaitan dengan masalah teknis, kondisi ini menguntungkan. �Izin yang diloloskan oleh suatu level pemerintahan dengan mudahnya ditampik atau dicabut oleh level [pemerintahan] lain,� ujar seorang geolog senior. �Tingkat kemungkinan konflik sangat tinggi. Bagi investor asing, kecil kemungkinan, untuk mengatakan mustahil, melakukan tindakan hukum.�

Seorang eksekutif pertambangan teringat insiden pengajuan izin produksi kepada seorang gubernur. Untuk mendapatkan tanda tangan sang gubernur, ia harus menyetor $5 juta. Jika permintaan setoran ditolak, proyek tersebut akan mengambang.

Para politisi lokal bukan satu-satunya pihak yang memberi kejutan. Pemerintah pusat merevisi UU pertambangan dan secara efektif memicu terhentinya aktivitas eksplorasi dan pelaksanaan proyek greenfield. Banyaknya persyaratan divestasi bagi para investor asing, tingginya pajak ekspor mineral mentah, dan mengarahkan perusahaan tambang untuk berinvestasi pada smelter menimbulkan pergesekan.

Maka, tak mengejutkan saat survei tahunan dari Fraser Institute atas investasi pertambangan mengelaskan Indonesia sebagai tujuan investasi yang kurang menarik secara global. Indonesia berada di bawah sejumlah negara seperti Zimbabwe dan Republik Demokrasi Kongo.

Industri minyak dan gas bumi Indonesia menghadapi tantangan serupa. Yang terhangat adalah keputusan pemerintah Indonesia untuk mencabut potongan pajak terhadap korporasi-korporasi migas dari Inggris dan Belanda dan menetapkan pungutan pajak baru yang berlaku surut sejauh satu dasawarsa. Setidaknya, satu perusahaan minyak besar kini menghadapi tagihan pajak bernilai miliaran dolar AS. Jika tidak dibayarkan, maka perusahaan harus menutup usahanya. �Kami takkan [terlalu] berkeberatan jika ada perubahan pajak di masa depan,� ujar seorang eksekutif senior. �Tapi, sangat tidak masuk akal jika pajak [yang harus dibayarkan] berlaku surut.�

Parahnya, para pejabat pemerintah juga memutuskan untuk memajaki aktivitas eksplorasi. Ada satu perusahaan migas asing berskala besar yang telah dikirimi tagihan pajak atas survei seismik lepas pantai tahun ini. Industri migas seharusnya mendapat ganjaran karena telah menempuh risiko. Dalam kaitan ini, pemerintah lagi-lagi gagal menjadi mitra yang dapat dipercaya.

Dengan meningkatnya tanda-tanda di antara figur kunci pemerintah untuk mulai mengembalikan kepercayaan pemodal, langkah penting yang harus diambil sudah jelas: Kekuasaan pemerintah daerah yang turut campur dalam industri minyak dan pertambangan harus diminimalisir. Proses mendapatkan izin harus dibuat lebih mudah. Sebisa mungkin, proses itu dilakukan oleh satu lembaga pemerintah seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal. Aktivitas eksplorasi harus mendapat ganjaran, atau setidaknya tidak mendapat penalti.

Terkhusus, para pelaku korupsi dalam industri tersebut harus ditindak. Para pencari setoran mengatasnamakan kepentingan nasional sebagai kedok. Sementara, kepentingan riil Indonesia, seperti pengembangan energi dan keamanan, berada dalam bahaya.

Tentu saja, mengidentifikasi solusi lebih mudah dari merealisasikannya. Jika pemerintah pusat berupaya melucuti kekuasaan pemerintah daerah, pasti akan ada perlawanan. Indonesia tengah menyambut pemilihan umum 2014 dan masalah pendanaan mengemuka. Para calon akan sungguh-sungguh menentang reformasi yang akan berprospek mengurangi jumlah setoran.

Bahkan jika pemerintah berhasil mereformasi kebijakan lokal, butuh upaya keras untuk dapat meyakinkan investor. Daniel Poller, konsultan pertambangan internasional, mengatakan, �perusahaan sumber daya alam berpikir dalam hitungan dekade, bukan tahunan. Mereka harus yakin pemerintah Indonesia tidak bersikap plin-plan dengan mengubah undang-undang sesuai dengan tujuan sepihak. Mendapatkan kembali kepercayaan itu tidak semudah membalik telapak tangan.� Artinya, jalan menuju Roma yang lebih baik masih panjang.

� John Kurtz adalah Kepala Wilayah Asia Pasifik untuk A.T Kearney, sementara James Van Zorge adalah rekan senior di perusahaan konsultan manajemen global tersebut.
http://indo.wsj.com/posts/2013/10/02...aya-indonesia/

------------------------------------

Pengelolaan SD Indonesia itu banyak bermasalah akibat operatornya 'nakal', banyak yang enggan bayar pajak dan royalty

[imagetag]
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive