SITUS BERITA TERBARU

Saatnya Kaum Muda Merebut Masa Depan Politik

Saturday, October 12, 2013
Pemilu adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat untuk memiih anggota DPR, DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi rakyat berdasarkan asas langsung,umum,bebas,rahasia,jujur dan adil serta menjamin prinsip-prinsip keterwakilan, akuntabilitas dan legitimasi.

Dari istilah tersebut bisa difahami bahwa dalam pemilu mengandung beberapa makna strategis yakni pertama, momentum perubahan dengan sistem yang terjamin oleh undang-undang. Kedua, lahirnya pemimpin baru yang mendapat legitimasi rakyat secara penuh. Ketiga, ajang kontestasi bagi siapapapun untuk mendedahkan baktinya terhadap bangsa.

Sebelum saya ulas lebih jauh dan mendalam tentang hal tersebut, ada baiknya kita berefleksi tentang �semangat kebaruan� reformasi yang banyak dicatat oleh khalayak hitam dan putih. Dan memang terasa sangat relevan sebetulnya, jika dalam menyongsong pemilu ini kita menggali kembali semangat yang dikandung dalam peristiwa tersebut.

Catatan penting bagi era Reformasi 1998, yang disampaikan Komaruddin Hidayat menguraikan bahwa eformasi 1998 telah melahirkan barisan tokoh muda, tetapi mereka kembali tergilas dengan pola pikir lama (Kompas, 29 Mei 2012). Reformasi memang sempat membawa harapan besar, yaitu adanya perubahan kepemimpinan politik, sistem politik dan budaya politik baru yang lebih menjanjikan. Namun, kenyataan tersebut sirna bersama �sinetron politik muda� yang melukai semangat zaman , dan kembali orang tua menjadi pemain utamanya. Sinyalemen ini sejalan dengan gejala politik aktual di mana Pemilihan Umum Legislatif bahkan Presiden 2014 tampaknya akan menjadi ajang bagi politisi tua.

Akankah situasi ini kita biarkan dan �berdiam pangku tangan�, serta menyerahkan para pemain politik yang tidak bertanggung jawab? Baru-baru ini pengamat andrianof chaniago berseloroh bahwa minimnya kader muda partai yang menonjol, membuat angka golput di kalangan pemilih muda masih cukup tinggi. Kondisi diperburuk citra partai politik yang terpuruk akibat korupsi. Jujur saja, sejauh ini meski pesta demokrasi sudah mulai bersiap namun, masih banyak pemilih muda yang belum menentukan sikap, saya yakin karena citra partai sudah merosot dan kader (potensial) minim.

Partai politik memang perlu dan harus memperbaiki citranya di mata pemilih. Proses perbaikan tersebut mesti selesai sebelum triwulan pertama 2014. Sehingga, pada saat nantinya pemilu legislatif digelar jumlah pemilih golput akan rendah. Seperti diketahui, hasil survei Indo Barometer menunjukkan, dari 1.200 responden yang ada, sebanyak 30 persen menyatakan belum menentukan sikap atau golput jika pemilu dilaksanakan hari ini. Untuk itu figur kader partai menjadi hal penting yang harus dimiliki partai. Penting juga artinya bagi partai untuk memberi tempat kaum muda sekaligus mengetahui pandangan pemilih muda mengingat merekalah yang nantinya akan meneruskan bangsa. Selain itu, jumlahnya yang signifikan yakni mencapai 35 persen dari total pemilih 2014 dianggap mampu mewakili pandangan masyarakat.

Berdasarkan hasil survei Indo Barometer yang dilangsungkan pada 15-25 Maret terhadap 1.200 responden pemilih muda (16-30 tahun) dari 33 provinsi di Indonesia, sebanyak 18,8 persen responden memilih PDI-P jika pemilu legislatif digelar pada hari ini. Perolehan suara PDI-P berselisih tipis dengan Golkar (17,5 persen) dan Gerindra (14,3 persen). Sementara Partai Demokrat yang menjadi pemenang dalam Pemilu Legislatif 2009 hanya mampu menduduki posisi keempat (4,8 persen). Disusul PKB (3,2 persen), Nasdem (2,9 persen), PAN (2,6 persen), PKS (1,9 persen), Hanura (1,5 persen) dan PPP (1,1 persen). PBB dan PKPI saat survei belum dimasukkan karena belum disahkan oleh KPU sebagai parpol peserta pemilu. Namun, meskipun PDI-P menempati posisi tertinggi, sebanyak 30,3 persen pemuda mengatakan belum menentukan sikap.

Merebut Momentum

Hemat saya, saat ini kaum muda harus kembali mengambil momentum untuk memimpin karena beberapa alasan. Pertama, menguatnya pola pikir lama dan warisan budaya politik lama yang kemudian merusak citra dan kredibilitas politik kaum muda. Agenda Reformasi 1998 yang menuntut pemberantasan korupsi ternyata menjebak sejumlah politisi muda. Kedua, konsolidasi oligarki kekuasaan ekonomi-politik warisan Orde Baru menempatkan kaum tua terus berkuasa di posisi puncak partai politik.

Ketiga, perlunya �angin segar� dalam politik lima tahunan yang telah tereduksi sehingga menimbulkan apatisme politik di kalangan masyarakat. Mati rasa politik akibat dari seremonial politik yang amat menjemukan bagi rakyat serta pendidikan politik yang tidak berjalan. Wakil rakyat mayoritas menunjukkan arogansi sosial, menimbun harta benda, korupis, serta pamer kekayaan di tengah kemiskinan rakyat yang diwakilinya.

Memahami pemuda, perlu kiranya kita bedah kerngak filosifisnya, sehinga kita tidak terjebak pada diskusi �wadaq� istilah, yang kadang dibaca semata-mata usia dan fisik saja. Lebih dari sekadar kriteria usia, kaum muda merefleksikan sikap kejiwaan. Suatu kebaruan cara pandang yang memutus hubungan dengan tradisi kejahiliahan masa lalu, dengan keberanian memperjuangkan visi perubahan yang menjanjikan pencerahan masa depan. Tapi, tak terhindarkan, mereka yang berani mengemban visi perubahan lebih mungkin tumbuh dari mereka yang tidak terlalu digayuti beban masa lalu.

Meminjam pandangan Hatta, generasi baru kaum terdidik dengan kemampuannya untuk membebaskan diri dari hipnosis kolonial lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoretis bagi aksi-aksi kolektif Maka, tidak mengherankan, orang-orang muda ada di balik tonggak-tonggak terpenting pembangunan bangsa, sebagaimana disebut, revolusi kemerdekaan 1940-an dilukiskan Ben Anderson sebagai revolusi pemuda.

Setelah lebih dari setengah abad merdeka, Indonesia sebagai proyek historis kaum muda harus menghadapi kenyataan tua renta, kehilangan elan vital daya muda. Indonesia tanpa jiwa muda (kebaruan-kemajuan) dan kepemimpinan pemuda adalah Indonesia yang menyangkali jati dirinya.

untruKehendak membangun daya saing bangsa menuntut kita untuk memudakan kembali Indonesia. Akselerasi alih kepemimpinan nasional di segala bidang menjadi tuntutan.

Kaum muda dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia berperan penting dalam �menemukan politik� (the invention of politics) -yang hingga awal abad ke-20, istilah politik tersebut tak ada padanannya dalam bahasa Melayu-Indonesia. Kaum muda pada masa kini dituntut untuk meraih kembali �politik� yang hilang dari genggamananya seraya mengembalikannya ke jalur yang benar.

Politik dalam kesadaran kaum muda, jauh dari bahasa teori �pilihan rasional�. Rationalitas adalah kepentingan individual yang harus dibayar oleh ketidakrasionalitasan kehidupan kolektif. Politik dalam konsep mereka merupakan usaha resolusi atas problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif. Mirip dengan pemahaman Aristotelian, politik dipandang sebagai seni mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum, terutama kepentingan kaum terjajah dengan jalan menyubordinasikan kepentingan-kepentingan partikular pada kepentingan (kaum terjajah) secara keseluruhan.

Peran politik kaum muda seperti itu kini dipanggil kembali oleh sejarah ketika politik sebagai seni mengelola republik demi kebajikan kolektif mulai tersisihkan oleh politik yang berorientasi parokial. Politik masa kini lebih memprioritaskan kepentingan elite dengan mengatasnamakan �kebajikan publik�. Dengan demikian, politik menjadi semacam seni memerintah dengan menipu rakyat. Kaum muda harus menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada republik dengan mengembalikan politik pada khitahnya.

Kemiskinan dan kebodohan adalah penyakit yang bisa diidap semua orang dan pembebasan terhadap adalah bahasa semua bangsa (ragil farhan effendy-theater bhumi jogja 94) !!

sumber: www.farhaneffendy.com
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive