SITUS BERITA TERBARU

(Panastak Datanglahhhhh) Jokowi dan Badut2 yang tak Menginjak Bumi

Wednesday, October 23, 2013
[imagetag]

Jokowi dan Badut-Badut yang tak Menginjak Bumi

Saya memasuki Jakarta tahun 1995, pada masa Gubernur Soerjadi Soedirdja (1992 - 1997).

Saat itu, kantor redaksi saya magang ada di Pertamburan 12, Jakarta Pusat. Mas Wendo sebagai big bos di sana berbaik hati, mengijinkan tenaga magang tak bergaji seperti saya memakai fasilitas kantor sekaligus tidur di sana.

Honor saya dapat dari asigment tugas liputan majalah inhouse publishing beberapa perumahan dan mal yang dikomando Greg Sarsidi, adik Mas Wendo. Oleh keahlian menulis cerpen anak-anak untuk Majalah Ina dan tabloid Fantasy, kelak setelah berhenti dari sana saya tahu pendapatan saya lebih besar dari pegawai bergaji.

Tanah Abang

Tak jauh dari kantor saya adalah pasar Tanah Abang yang padat. Bermacam orang tumpah ruah di sana, preman, pedagang, pencopet sampai pelacur ada.

Untuk mencari inspirasi, dan juga saat berpegian tak jarang saya melewati Tanah Abang yang macetnya setengah mati. Macet yang terjadi tak lain karena banyaknya lapak pedagang kakilima di kiri-kanan jalan.

Waktu itu, Pasar Tanah Abang sepenuhnya masih dikelolah Pasar Jaya, blok A masih belum ber-AC dan sementereng sekarang.

Sekitar setengah tahun di sana, orang-orang berkulit gelap (Afrika) mulai bermunculan. Konon mereka adalah pedagang dari Afrika yang tengah bebelanja partai besar untuk dijual di negaranya. Semakin hari, orang-orang berkulit hitam ini semakin banyak beredar di jalan. Pedagang-pedagang bertambah banyak, hotel-hotel di sekitar tanah Abang seperti hotel Pertamburan berkembang pesat.

Tahun 1997, saya tak berkantor di Pertamburan lagi. Namun, sesekali masih melewatinya memakai angkot dan tetap macet parah.

Setelah tahun 1998, pasca kerusuhan rasial berdarah, okupasi jalan oleh pedagang kakilima menjadi-jadi. Tahun 2011 saat berkunjung lagi, saya mendapatkan seluruh jalan aspal di pasar Tanah Abang telah diokupasi pedagang kakilima, yang menyisakan jalan kecil untuk dilewati motor dan pembeli yang lalu lalang.

Kadang bau kambing menyeruak diantara pedagang baju, ternyata saking padatnya di sekitar pedagang kambing musiman yang dulu kosong kini telah dipenuhi pedagang baju.

4 Pariode Gubernur

Jadi, sudah 3 pariode gubernur saya lewati, dari jaman Soerjadi (1992-1997), Sutiyoso(1997-2007), Fawzi Bowo(2007-2012) dan kini Jokowi Ahok (2012-sekarang). Saya menulis Jokowi Ahok, karena pada pariode-pariode lalu peran wakil gubernur nyaris tak terdengar, hanyalah sebuah pelengkap seremonia. Barulah di erah Jokowi Ahok ini, peran wakil gubernur bukan sekedar ban serep.

Saya mengalami masa gubernur-gubernur terdahulu sebelum Jokowi Ahok yang tak mampu membereskan Tanah Abang, meskipun salah satu mantan gubernur itu berlatar belakang militer.

Pada masa-masa itu, Tanah Abang adalah tanah para jawara yang sulit disentuh, tak jarang perebutan kekuasaan antar dua kelompok membawa pedang di jalan terjadi dan negara seolah abstain, tanah Abang menjadi sebuah negara di dalam negara. Ada juga yang berpendapat, para preman ini justru dipelihara negara? Seperti tulisan Esha Tegar Putra, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Bung Hatta di Padang Ekspres � Selasa, 19/03/2013.

Masa Jokohok

Maka saya tak sabar mengambil libur, ketika mendengar dari media Tanah Abang sudah diberesi.

Memberesi �negara� di dalam negara tidaklah mudah. Ada banyak kepentingan bermain di situ. Tak tanggung-tanggung, untuk menegakkan konstitusi, bahwa negara hadir di Tanah Abang, Ahok sebagai wakil gubernur pasang badan! Siap Mati!

Saat itu, Balaikota digoyang sekelompok sipil berseragam layaknya militer. Sebenarnya rada aneh juga, di dalam sebuah negara berdaulat, sekelompok orang tak jelas berani mengintimidasi seorang Wakil Gubernur yang merupakan Pejabat Negara.

Bukan Ahok namanya bila tak mampu mengatasi hal itu. Dari peristiwa itu juga bisa dilihat, Ahok bukan orang biasa. Ahok sebagai pejabat negara berhasil menegakkan wibawa negara di hadapan orang-orang itu.

Saya tak sabar ingin melihat new Tanah Abang dengan mata kepala saya sendiri.

Maka, saat libur, mengendarai motor bernostagia ke ke Tanah Abang. Wuih, perjalanan yang sangat lancar. Saya berputar-putar beberapa kali.

Waduk Pluit dan Rusun

Puas di Tanah Abang, saya menuju Waduk Pluit yang dulunya adalah daerah kumuh penuh tumpukan sampah. Saya duduk di bangku taman ditemani angin senja dan anak-anak yang bercenkramah. Waduk telah difungsikan kembali dengan merelokasi penghuni liar di sana tidak dengan kekerasan. Mereka diberi tempat tinggal yang layak berikut isinya seperti kulkas, televisi dan perabotan lainnya. Rusun-rusun yang mangkrak menjadi rumah hantu pada masa gubernur sebelumnya kini bisa dimanfaatkan rakyat.

Sekarang

Hari-hari ini, dari tempat saya di Kemayoran, saat menyusuri Jalan Gunung Sahari menuju Mangga Dua, saya mendapatkan taman yang indah sepanjang sisi kiri jalan Gunung Sahari. Kali Ciliwung tak tampak hitam lagi, airnya kadang berwarna hijau karena pantulan tanaman sekitarnya.

Saat menyusuri Jalan Gajah Mada ke Stasiun Kota, saya mendapatkan trotoar pejalan kaki yang sebelumnya rendah dan gampang dilindas pengendara motor kini juga telah ditinggikan menjadi lebih indah.

Serangan Demokrat

Beberapa hari ini, setelah Amin Rais, tampaknya wakil rakyat dari partai Demokrat rajin membombardir Jokowi.

Setelah �tembakan� oleh Nurhayati, Waketum Partai Demokrat, kemudian Ruhut Sitompul yang gagal menjadi ketua komisi III juga menilai Jokowi gagal mengurus Jakarta (detik..com Selasa, 22/10/2013 13:23 WIB )

Terus-terang, sebagai orang yang tak berpolitik, saya merasa aneh dengan pernyataan �wakil-wakil rakyat� ini. Rakyat mana yang mereka wakili?

Oleh kemewahan yang mereka dapatkan dari pajak yang dibayar rakyat, tak ada konstribusi berarti mereka berikan untuk bangsa ini, selain �akrobat-akrobat� badut dalam sirkus. Tak ada teladan yang bisa ditiru dari orang-orang partai Demokrat ini, selain kepandaian mereka dalam �mengangkat-angkat� atasan mereka.

Najwa Shihab, dalam salah satu talk shownya Mata Najwa pernah mengatakan pada Ruhut Sitompul, Jangan-jangan kalau presidennya sudah ganti omongannya akan berbeda lagi.

Saya malah berpikir, ucapan para pesohor partai Demokrat ini seperti ucapan mereka yang tidak �menginjak� bumi.

Melalui akrobat-akrobat mereka, masyarakat Indonesia semakin tahu mana loyang dan mana berlian. Kita bisa menghukum �badut-badut� itu dengan tak memilih mereka atau parpol pendukungnya di pemilu nanti.

Sumber: http://politik.kompasiana.com/2013/1...mi-603045.html

Hahahaha... ...Bye bye Bemokrat, Katakan tidak pada Demokrat
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive