Siapakah sebenarnya perampok BLBI dalam kasus yg melibatkan Eddy Tansil?
Simak beritanya dibawah ini dari sumber terpercaya bisa di googling
RIMANEWS-Skandal bantuan likuidasi Bank Indonesia (BLBI) merupakan kejahatan kerah putih yang paling dahsyat, yang diduga melibatkan para direksi BI saat itu, yang di antarannya adalah Boediono, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden.
"Kenapa Mabes Polri tidak periksa Boediono," tanya Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M Massardi, dalam diskusi dengan tema "Penjara dan Pemakzulan Terkait Fakta Hukum Keterlibatan Langsung Boediono dalam Skandal BLBI" di Gallery Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (Minggu, 27/1).
Saat Boediono menjabat direksi BI, kata Adhie, terjadi kebakaran di Gedung BI pada 8 Desember 1997, setelah sebelumnya ada kebakaran di gedung Badan Perenancanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dan di gedung BI tersebut ada dokumen-dokumen yang terbakar.
"Dibakarnya gedung BI lantai 23 dan 24 harus kembali diusut karena ada korban tewas 15 orang. Kala diungkap kembli, Boediono diprediksi akan lebih mudah diusut karena kriminal murni.
"Memang harus masuk lewat jalur kriminal, siapa yang bakar gedung BI. Dan yang bertanggungjawab saat itu Boediono," demikian Adhie.
Secara khusus, keterlibatan Bodiono di balik pengucuran danatalangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terungkap dalam Putusan Kasasi MA No. 981/K/PID/2004.
Dalam putusan itu disebutkan bahwa pada tanggal 21 Agustus 1997 bersama Paul Soetopo, Boediono yang kini adalah Wakil Presiden RI menyetujui dan memberikan fasilitas saldo debet kepada tiga bank, yakni Bank Harapan Sentosa, Bank Nusa Internasional dan Bank Nasional.
Dalam putusan itu juga disebutkan bahwa Paul Soetopo telah dipidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan didenda sebesar Rp 20 juta atas perbuatannya itu. Sementara Boediono yang menjadi koleganya, hingga kini masih bisa melenggang bebas, bahkan menjadi orang terkuat kedua di Indonesia.
BLBI merupakan skema pinjaman yang dikucurkan BI untuk sejumlah bank yang sedang mengalami persoalan likuiditas ketika Indonesia diterjang krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi di tahun 1998. Skema bantuan ini didasarkan pada perjanjian antara Indonesia dan International Monetary Fund (IMF).
Setidaknya, sampai 1998 BI telah menyalurkan dana segar sebesar Rp 147,7 triliun dana BLBI kepada 48 bank. Belakangan audit yang dilakukan BPK menemukan potensi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
BHS, salah satu dari tiga bank yang diselamatkan Boediono dan Paul Sutopo adalah milik Hendra Raharja alias Tan Tjoe Hing. Sejak awal, modus operandi bank ini sudah mengkhawatirkan. BHS membangun cabang di banyak tempat dengan menggunakan model franchise. Hal ini sebenarnya tidak diperolehkan dan melanggar hukum. Namun BI menutup mata, bahkan tetap mengucurkan bantuan sekitar Rp 2 triliun untuk BHS.
Setelah BI mengucurkan danatalangan, Hendra Rahardja membobol BHS dan melarikan diri ke Australia. Dalam pengadilan in absentia di bulan Maret 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup untuk Hendra Rahardja. Dia diwajibkan membayar denda sebesar Rp 30 juta dan mengganti kerugian sebesar Rp 1 triliun.
Selain Hendra, dua direksi BHS, Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian divonis 20 tahun penjara. Keduanya pun sudah lebih dahulu kabur ke negeri kanguru.
Modus operandi pembobolan bank yang dilakukan Hendra Rahardja terbilang canggih. Belakangan setelah kasus BHS mencuat diketahui bank itu bodong sebodong-bodongnya. Dapat dikatakan, BHS tak punya aset sama sekali, atau bisa jadi asetnya sudah dipindahtangankan jauh-jauh sebelum kasus ini meruak ke permukaan.
Kantor-kantor yang selama ini menggunakan banner BHS ternyata kantor sewaan. Bukan cuma kantor, bahkan komputer dan mobil operasional BHS pun barang sewaan yang tak bisa disita negara.
Alhasil, ketika BHS resmi ditutup, negara masih harus merogoh kocek untuk "membantu" BHS, misalnya membayar gaji karyawan yang di-PHK serta kewajiban dengan pihak ketiga lainnya.
Yang lebih menyakitkan, modus operandi BHS dan Hendra Rahardja ini seakan melintas begitu saja di depan mata Boediono dan Paul Sutopo.
Hampir setahun setelah vonis penjara seumur hidup dijatuhkan untuk dirinya, Hendra Rahardja dikabarkan meninggal dunia pada Februari 2003 di Australia.
Hendra Rajahardja adalah kakak dari maestro pembobolan bank kelas kakap pertama di Indonesia, Edy Tansil alias Tan Tjoe Hong alias Tan Tju Fuan. Nama Edy Tansil sangat populer di Indonesia pada tahun 1996 setelah ia melarikan diri dari LP Cipinang di Jakarta tepatnya pada 4 Mei 1996.
Ketika melarikan diri, Edy Tansil tengah menjalani hukuman penjara selama 20 tahun atas perbuatannya menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar AS atau setara dengan Rp 1,6 triliun. Uang ini diperoleh bos Golden Key Group itu dari Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Di tahun 1999 Bapindo dimerger bersama tiga bank lainnya, yakni, Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara dan Bank Ekspor Impor, menjadi Bank Mandiri.
Keberadaan Edy Tansil sampai kini masih misteri. Tahun 1999 sempat tersebar kabar dia mendapatkan lisensi dari produsen bir Jerman, Becks Beer Company, dan membangun pabrik bir di Pu Tian, sebuah kota di Provinsi Fujian, Republik Rakyat China.
Hendra Rahardja dan Edy Tansil adalah anak Hary Tansil alias Tan Tek Hoat, seorang bankir di Makassar, Sulawesi Selatan, yang terkenal pada era 1960an.
Awalnya Hary Tansil mendirikan Bank Banteng. Tetapi belakangan, ia mulai bermasalah hingga akhirnya Bank Banteng bangkrut. Tidak diketahui bagaimana proses penyelesaian kewajiban Tansil Sr.
Gagal dengan Bank Banteng, Hary Tansil tak menyerah begitu saja. Dia mendirikan Bank Pembangunan Sulawesi yang umurnya sangat pendek. Untuk menghindari nasabah yang marah, Hary Tansil angkat koper dan melarikan diri ke Hongkong.
Salah satu nasabah Hary Tansil adalah koperasi polisi. Itulah sebabnya, setelah peristiwa G30S, rumah keluarga Tansil di Botolempangan diambil alih mahasiswa dan diserahkan kepada kepolisian. Hingga kini rumah Tansil itu menjadi mess Polwan
Kementerian Keuangan kewalahan menjual aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Aset-aset sitaan yang berhasil diuangkan masih jauh dari target.
Akibat krisis moneter 1997/1998, pemerintah telah meÂnyuntik dana ratusan triliun keÂpada bank-bank yang terancam bangkrut itu, sepanjang tiga reÂzim. Mulai dari era Soeharto, BJ HaÂbibie, dan Abdurrahman Wahid.
Berdasarkan hasil audit inÂvestigasi Badan Pemeriksa KeuÂangan (BPK) tahun 2000, jumlah bantuan yang dicairkan sebesar Rp 144,5 triliun. Sebesar 95,7 perÂsen atau Rp 138,4 triliun diseÂbabÂkan peÂnyimpangan, kelemaÂhan sisÂtem, dan kelalaian.
BPK meÂnyimÂpulkan, penyaÂluran dan pengÂgunaan BLBI terÂdapat peÂnyimpangan yang meÂnimbulkan dugaan tindak pidana dan meruÂgikan keuangan negara.
Setelah 14 tahun berlalu, pemeÂrintah masih mengejar para peÂnerima BLBI yang sebagian beÂsar berstatus buron. Satu-satuÂnya jaminan yang dimiliki pemeÂrintah adalah, aset para obligor. Aset yang kemudian dikelola BaÂdan Penyehatan Perbankan NaÂsional (BPPN) itulah yang terus dilelang untuk mengganti uang negara yang telah dikuÂcurkan.
Upaya recovery alias pengemÂbalian uang negara eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dilakukan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara KeÂmenterian Keuangan (DJKN KeÂmenkeu). Total aset yang berhasil dilelang hanya Rp 350 miliar.
â��Terakhir, Juli-Agustus lalu sudah masuk Rp 350 miliar. Tapi, proses recovery terus dilakukan meÂlalui lelang aset-aset yang dulu diÂkuasai BPPN,â�� kata Dirjen DJKN, Hadiyanto di Jakarta, akhir pekan lalu.
Ditjen Kekayaan Negara ditunÂtut bisa menjual aset terseÂbut di atas NJOP, tapi tidak gampang. SeÂlain masih banyak yang terbelit masalah hukum, harganyapun banyak yang di bawah NJOP.
Menurutnya, pemerintah sulit mencari untung. Makanya diÂprioÂritaskan baÂgaimana agar reÂcovery aset biÂsa dilakukan seceÂpatnya, sehingÂga dana recovery bisa masuk ke kas neÂgara.
â��Yang kita laÂkukan sekarang lebih pada pengemÂbaÂlian uang yang dulu suÂdah dikeÂluarkan negara,â�� ucapnya.
Diungkapkan, November ini Ditjen Kekayaan Negara kembali melelang aset eks BPPN yang seÂÂbaÂgian besar berupa properti daÂlam bentuk bangunan atau tanah. â��Ada yang belum terjual, makaÂnya kita lelang lagi,â�� ujarnya.
Selain melalui DJKN, upaya reÂcovery aset eks BPPN juga diÂlaÂkukan PT Perusahaan PengeÂlola Aset (PPA). Upaya recovery yang dilakukan PPA antara lain aset eks BPPN di PT Bank PerÂmata, PT Bank Panin, PT Jemblo Cable Company, dan PT Asia NaÂtural Resources Rp 850 miliar, serÂta aset Grup Texmaco yang mencapai Rp 30 triliun.
Jumlah tersebut menjadi beban negara, karena setiap tahunnya peÂmerintah harus membayar bunga kepada BI 3 persen.
Sedangkan, sampai saat ini, bank-bank penerima BLBI belum mengembalikan BLBI kepada pemerintah. Akibatnya, anggaran negara selama puluhan tahun tersandera untuk memÂbayar keÂwajiban para obligor BLBI.
Direktorat Jenderal PengeloÂlaan Utang Kemenkeu, Robert PakÂpahan mengungkapkan, pemerinÂtah akan membayar keÂwajiban surat utang dan obligasi negara, baik pokok mauÂpun imbal hasil pada saat jatuh tempo.
Hal tersebut dalam rangka meÂmenuhi ketentuan Undang-UnÂdang No.24/2002 Tentang Surat Utang Negara dan UnÂdang-UnÂdang No.19/2008 TenÂtang Surat Berharga Syariah NeÂgara. Selain itu, juga menÂjaga keperÂcayaan pelaku pasar atau inÂvestor terÂhadap krediÂbiÂlitas peÂmerintah.
â��Pemerintah setiap tahun menÂalokasikan dana dalam APBN unÂtuk membayar pokok dan bunga/imbalan SBN yang jaÂtuh tempo sampai dengan beraÂkhirnya kewaÂjiban tersebut,â�� ungÂkapnya.
Terbebani Bunga Obligasi 60 Triliun
Abdilla Fauzi Achmad, Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR
BPK menyatakan pencatatan aset eks BPPN masih ambuÂraÂdul akibat kelemahan perhituÂngan dan penilaian aset.
Aset eks BPPN yang telah diÂserahkan kepada Panitia UruÂsan Piutang Negara (PUPN) seÂnilai Rp 11,18 triliun tidak diÂduÂÂkung dokumen valid.
Selain itu, aset eks BPPN beÂrupa tagihan Penyelesaian KeÂwajiban Pemegang Saham (PKPS) Rp 8,68 triliun belum diÂÂÂdukung dokumen keÂsepaÂkaÂtan dengan pemegang saham.
â��Ini sangat memprihatikanÂkan, karena aset eks BPPN itu benar-benar hilang tak berbeÂkas. Padahal, kalau aset negara yang lenyap bisa kembali, saya kira bisa memberikan dampak poÂsitif bagi APBN.â��
Sampai saat ini, pemerintah terbebani bunga obligasi setiap tahun sekitar 60 triliun rupiah. Akibatnya, kondisi APBN tidak sehat dalam mendukung perÂtumÂbuhan ekonomi.
BLBI dalam jumlah besar yang sudah dikucurkan menjadi beban seluruh rakyat, karena unÂÂÂtuk menutupinya, pemerinÂtah menerbitkan obligasi poÂkok dan bunganya dibayar APBN. â��Ini jelas tidak adil.â��
Pemerintah harus segera meÂngusut tuntas hilangnya aset ini. Bahkan, KPK harus mulai ikut menuntasan kasus BLBI. ApaÂlagi, pengusutan kasus korupsi semakin terbuka lebar setelah dunia internasional menyatakan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Sebaiknya langkah penuntaÂsan penanganan BLBI dibaÂrengi dengan upaya meÂnunÂtut keÂkurangan pembayaran seÂjumÂlah obligor BLBI, yang niÂlai asetnya ternyata lebih renÂdah dari nilai aset yang tercanÂtum ketika aset tersebut diseÂrahkan.
Sama Saja Merestui Tindak Kejahatan
Ichsanuddin Noorsy, Pengamat Ekonomi Politik
APBN selalu defisit, antara lain terbebani utang warisan BLBI dari krisis 1997/1998. JumÂlahnya sangat besar, sehingga butuh waktu lama melunasinya.
â��Selama ini, pemerintah memÂÂbiarkan piutang BLBI menÂÂjadi utang. Itu sebuah kesaÂlahan besar yang dilakukan neÂgara, karena akan menyengÂsarakan masyarakat Indonesia.â��
APBN yang seharusnya unÂtuk menseÂjahÂterakan rakyat diÂgunakan membayar kewajiÂban para obligor BLBI. BereÂdar kaÂbar para obligor itu kini jusÂtru lebih kaya raya ketimÂbang seÂbelum krisis. â��PemeÂrinÂtah jusÂÂtru membuat orang kaya maÂÂkin kaya.â��
Pemerintah harus berani deÂngan tegas menyatakan moraÂtorium atau penghentian pemÂbaÂyaran bunga BLBI. â��MengorÂbankan kepentingan rakÂÂyat demi pengemplang BLBI sama deÂngan negara meresÂtui tindak kejaÂhatan yang dilakukan para penÂjahat itu.â�� [Harian Rakyat Merdeka]
Sumber : http://www.rimanews.com/read/2013012...jak-edy-tansil
(RMOL)
Simak beritanya dibawah ini dari sumber terpercaya bisa di googling
RIMANEWS-Skandal bantuan likuidasi Bank Indonesia (BLBI) merupakan kejahatan kerah putih yang paling dahsyat, yang diduga melibatkan para direksi BI saat itu, yang di antarannya adalah Boediono, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden.
"Kenapa Mabes Polri tidak periksa Boediono," tanya Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M Massardi, dalam diskusi dengan tema "Penjara dan Pemakzulan Terkait Fakta Hukum Keterlibatan Langsung Boediono dalam Skandal BLBI" di Gallery Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (Minggu, 27/1).
Saat Boediono menjabat direksi BI, kata Adhie, terjadi kebakaran di Gedung BI pada 8 Desember 1997, setelah sebelumnya ada kebakaran di gedung Badan Perenancanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dan di gedung BI tersebut ada dokumen-dokumen yang terbakar.
"Dibakarnya gedung BI lantai 23 dan 24 harus kembali diusut karena ada korban tewas 15 orang. Kala diungkap kembli, Boediono diprediksi akan lebih mudah diusut karena kriminal murni.
"Memang harus masuk lewat jalur kriminal, siapa yang bakar gedung BI. Dan yang bertanggungjawab saat itu Boediono," demikian Adhie.
Secara khusus, keterlibatan Bodiono di balik pengucuran danatalangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terungkap dalam Putusan Kasasi MA No. 981/K/PID/2004.
Dalam putusan itu disebutkan bahwa pada tanggal 21 Agustus 1997 bersama Paul Soetopo, Boediono yang kini adalah Wakil Presiden RI menyetujui dan memberikan fasilitas saldo debet kepada tiga bank, yakni Bank Harapan Sentosa, Bank Nusa Internasional dan Bank Nasional.
Dalam putusan itu juga disebutkan bahwa Paul Soetopo telah dipidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan didenda sebesar Rp 20 juta atas perbuatannya itu. Sementara Boediono yang menjadi koleganya, hingga kini masih bisa melenggang bebas, bahkan menjadi orang terkuat kedua di Indonesia.
BLBI merupakan skema pinjaman yang dikucurkan BI untuk sejumlah bank yang sedang mengalami persoalan likuiditas ketika Indonesia diterjang krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi di tahun 1998. Skema bantuan ini didasarkan pada perjanjian antara Indonesia dan International Monetary Fund (IMF).
Setidaknya, sampai 1998 BI telah menyalurkan dana segar sebesar Rp 147,7 triliun dana BLBI kepada 48 bank. Belakangan audit yang dilakukan BPK menemukan potensi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
BHS, salah satu dari tiga bank yang diselamatkan Boediono dan Paul Sutopo adalah milik Hendra Raharja alias Tan Tjoe Hing. Sejak awal, modus operandi bank ini sudah mengkhawatirkan. BHS membangun cabang di banyak tempat dengan menggunakan model franchise. Hal ini sebenarnya tidak diperolehkan dan melanggar hukum. Namun BI menutup mata, bahkan tetap mengucurkan bantuan sekitar Rp 2 triliun untuk BHS.
Setelah BI mengucurkan danatalangan, Hendra Rahardja membobol BHS dan melarikan diri ke Australia. Dalam pengadilan in absentia di bulan Maret 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup untuk Hendra Rahardja. Dia diwajibkan membayar denda sebesar Rp 30 juta dan mengganti kerugian sebesar Rp 1 triliun.
Selain Hendra, dua direksi BHS, Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian divonis 20 tahun penjara. Keduanya pun sudah lebih dahulu kabur ke negeri kanguru.
Modus operandi pembobolan bank yang dilakukan Hendra Rahardja terbilang canggih. Belakangan setelah kasus BHS mencuat diketahui bank itu bodong sebodong-bodongnya. Dapat dikatakan, BHS tak punya aset sama sekali, atau bisa jadi asetnya sudah dipindahtangankan jauh-jauh sebelum kasus ini meruak ke permukaan.
Kantor-kantor yang selama ini menggunakan banner BHS ternyata kantor sewaan. Bukan cuma kantor, bahkan komputer dan mobil operasional BHS pun barang sewaan yang tak bisa disita negara.
Alhasil, ketika BHS resmi ditutup, negara masih harus merogoh kocek untuk "membantu" BHS, misalnya membayar gaji karyawan yang di-PHK serta kewajiban dengan pihak ketiga lainnya.
Yang lebih menyakitkan, modus operandi BHS dan Hendra Rahardja ini seakan melintas begitu saja di depan mata Boediono dan Paul Sutopo.
Hampir setahun setelah vonis penjara seumur hidup dijatuhkan untuk dirinya, Hendra Rahardja dikabarkan meninggal dunia pada Februari 2003 di Australia.
Hendra Rajahardja adalah kakak dari maestro pembobolan bank kelas kakap pertama di Indonesia, Edy Tansil alias Tan Tjoe Hong alias Tan Tju Fuan. Nama Edy Tansil sangat populer di Indonesia pada tahun 1996 setelah ia melarikan diri dari LP Cipinang di Jakarta tepatnya pada 4 Mei 1996.
Ketika melarikan diri, Edy Tansil tengah menjalani hukuman penjara selama 20 tahun atas perbuatannya menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar AS atau setara dengan Rp 1,6 triliun. Uang ini diperoleh bos Golden Key Group itu dari Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Di tahun 1999 Bapindo dimerger bersama tiga bank lainnya, yakni, Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara dan Bank Ekspor Impor, menjadi Bank Mandiri.
Keberadaan Edy Tansil sampai kini masih misteri. Tahun 1999 sempat tersebar kabar dia mendapatkan lisensi dari produsen bir Jerman, Becks Beer Company, dan membangun pabrik bir di Pu Tian, sebuah kota di Provinsi Fujian, Republik Rakyat China.
Hendra Rahardja dan Edy Tansil adalah anak Hary Tansil alias Tan Tek Hoat, seorang bankir di Makassar, Sulawesi Selatan, yang terkenal pada era 1960an.
Awalnya Hary Tansil mendirikan Bank Banteng. Tetapi belakangan, ia mulai bermasalah hingga akhirnya Bank Banteng bangkrut. Tidak diketahui bagaimana proses penyelesaian kewajiban Tansil Sr.
Gagal dengan Bank Banteng, Hary Tansil tak menyerah begitu saja. Dia mendirikan Bank Pembangunan Sulawesi yang umurnya sangat pendek. Untuk menghindari nasabah yang marah, Hary Tansil angkat koper dan melarikan diri ke Hongkong.
Salah satu nasabah Hary Tansil adalah koperasi polisi. Itulah sebabnya, setelah peristiwa G30S, rumah keluarga Tansil di Botolempangan diambil alih mahasiswa dan diserahkan kepada kepolisian. Hingga kini rumah Tansil itu menjadi mess Polwan
Kementerian Keuangan kewalahan menjual aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Aset-aset sitaan yang berhasil diuangkan masih jauh dari target.
Akibat krisis moneter 1997/1998, pemerintah telah meÂnyuntik dana ratusan triliun keÂpada bank-bank yang terancam bangkrut itu, sepanjang tiga reÂzim. Mulai dari era Soeharto, BJ HaÂbibie, dan Abdurrahman Wahid.
Berdasarkan hasil audit inÂvestigasi Badan Pemeriksa KeuÂangan (BPK) tahun 2000, jumlah bantuan yang dicairkan sebesar Rp 144,5 triliun. Sebesar 95,7 perÂsen atau Rp 138,4 triliun diseÂbabÂkan peÂnyimpangan, kelemaÂhan sisÂtem, dan kelalaian.
BPK meÂnyimÂpulkan, penyaÂluran dan pengÂgunaan BLBI terÂdapat peÂnyimpangan yang meÂnimbulkan dugaan tindak pidana dan meruÂgikan keuangan negara.
Setelah 14 tahun berlalu, pemeÂrintah masih mengejar para peÂnerima BLBI yang sebagian beÂsar berstatus buron. Satu-satuÂnya jaminan yang dimiliki pemeÂrintah adalah, aset para obligor. Aset yang kemudian dikelola BaÂdan Penyehatan Perbankan NaÂsional (BPPN) itulah yang terus dilelang untuk mengganti uang negara yang telah dikuÂcurkan.
Upaya recovery alias pengemÂbalian uang negara eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dilakukan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara KeÂmenterian Keuangan (DJKN KeÂmenkeu). Total aset yang berhasil dilelang hanya Rp 350 miliar.
â��Terakhir, Juli-Agustus lalu sudah masuk Rp 350 miliar. Tapi, proses recovery terus dilakukan meÂlalui lelang aset-aset yang dulu diÂkuasai BPPN,â�� kata Dirjen DJKN, Hadiyanto di Jakarta, akhir pekan lalu.
Ditjen Kekayaan Negara ditunÂtut bisa menjual aset terseÂbut di atas NJOP, tapi tidak gampang. SeÂlain masih banyak yang terbelit masalah hukum, harganyapun banyak yang di bawah NJOP.
Menurutnya, pemerintah sulit mencari untung. Makanya diÂprioÂritaskan baÂgaimana agar reÂcovery aset biÂsa dilakukan seceÂpatnya, sehingÂga dana recovery bisa masuk ke kas neÂgara.
â��Yang kita laÂkukan sekarang lebih pada pengemÂbaÂlian uang yang dulu suÂdah dikeÂluarkan negara,â�� ucapnya.
Diungkapkan, November ini Ditjen Kekayaan Negara kembali melelang aset eks BPPN yang seÂÂbaÂgian besar berupa properti daÂlam bentuk bangunan atau tanah. â��Ada yang belum terjual, makaÂnya kita lelang lagi,â�� ujarnya.
Selain melalui DJKN, upaya reÂcovery aset eks BPPN juga diÂlaÂkukan PT Perusahaan PengeÂlola Aset (PPA). Upaya recovery yang dilakukan PPA antara lain aset eks BPPN di PT Bank PerÂmata, PT Bank Panin, PT Jemblo Cable Company, dan PT Asia NaÂtural Resources Rp 850 miliar, serÂta aset Grup Texmaco yang mencapai Rp 30 triliun.
Jumlah tersebut menjadi beban negara, karena setiap tahunnya peÂmerintah harus membayar bunga kepada BI 3 persen.
Sedangkan, sampai saat ini, bank-bank penerima BLBI belum mengembalikan BLBI kepada pemerintah. Akibatnya, anggaran negara selama puluhan tahun tersandera untuk memÂbayar keÂwajiban para obligor BLBI.
Direktorat Jenderal PengeloÂlaan Utang Kemenkeu, Robert PakÂpahan mengungkapkan, pemerinÂtah akan membayar keÂwajiban surat utang dan obligasi negara, baik pokok mauÂpun imbal hasil pada saat jatuh tempo.
Hal tersebut dalam rangka meÂmenuhi ketentuan Undang-UnÂdang No.24/2002 Tentang Surat Utang Negara dan UnÂdang-UnÂdang No.19/2008 TenÂtang Surat Berharga Syariah NeÂgara. Selain itu, juga menÂjaga keperÂcayaan pelaku pasar atau inÂvestor terÂhadap krediÂbiÂlitas peÂmerintah.
â��Pemerintah setiap tahun menÂalokasikan dana dalam APBN unÂtuk membayar pokok dan bunga/imbalan SBN yang jaÂtuh tempo sampai dengan beraÂkhirnya kewaÂjiban tersebut,â�� ungÂkapnya.
Terbebani Bunga Obligasi 60 Triliun
Abdilla Fauzi Achmad, Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR
BPK menyatakan pencatatan aset eks BPPN masih ambuÂraÂdul akibat kelemahan perhituÂngan dan penilaian aset.
Aset eks BPPN yang telah diÂserahkan kepada Panitia UruÂsan Piutang Negara (PUPN) seÂnilai Rp 11,18 triliun tidak diÂduÂÂkung dokumen valid.
Selain itu, aset eks BPPN beÂrupa tagihan Penyelesaian KeÂwajiban Pemegang Saham (PKPS) Rp 8,68 triliun belum diÂÂÂdukung dokumen keÂsepaÂkaÂtan dengan pemegang saham.
â��Ini sangat memprihatikanÂkan, karena aset eks BPPN itu benar-benar hilang tak berbeÂkas. Padahal, kalau aset negara yang lenyap bisa kembali, saya kira bisa memberikan dampak poÂsitif bagi APBN.â��
Sampai saat ini, pemerintah terbebani bunga obligasi setiap tahun sekitar 60 triliun rupiah. Akibatnya, kondisi APBN tidak sehat dalam mendukung perÂtumÂbuhan ekonomi.
BLBI dalam jumlah besar yang sudah dikucurkan menjadi beban seluruh rakyat, karena unÂÂÂtuk menutupinya, pemerinÂtah menerbitkan obligasi poÂkok dan bunganya dibayar APBN. â��Ini jelas tidak adil.â��
Pemerintah harus segera meÂngusut tuntas hilangnya aset ini. Bahkan, KPK harus mulai ikut menuntasan kasus BLBI. ApaÂlagi, pengusutan kasus korupsi semakin terbuka lebar setelah dunia internasional menyatakan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Sebaiknya langkah penuntaÂsan penanganan BLBI dibaÂrengi dengan upaya meÂnunÂtut keÂkurangan pembayaran seÂjumÂlah obligor BLBI, yang niÂlai asetnya ternyata lebih renÂdah dari nilai aset yang tercanÂtum ketika aset tersebut diseÂrahkan.
Sama Saja Merestui Tindak Kejahatan
Ichsanuddin Noorsy, Pengamat Ekonomi Politik
APBN selalu defisit, antara lain terbebani utang warisan BLBI dari krisis 1997/1998. JumÂlahnya sangat besar, sehingga butuh waktu lama melunasinya.
â��Selama ini, pemerintah memÂÂbiarkan piutang BLBI menÂÂjadi utang. Itu sebuah kesaÂlahan besar yang dilakukan neÂgara, karena akan menyengÂsarakan masyarakat Indonesia.â��
APBN yang seharusnya unÂtuk menseÂjahÂterakan rakyat diÂgunakan membayar kewajiÂban para obligor BLBI. BereÂdar kaÂbar para obligor itu kini jusÂtru lebih kaya raya ketimÂbang seÂbelum krisis. â��PemeÂrinÂtah jusÂÂtru membuat orang kaya maÂÂkin kaya.â��
Pemerintah harus berani deÂngan tegas menyatakan moraÂtorium atau penghentian pemÂbaÂyaran bunga BLBI. â��MengorÂbankan kepentingan rakÂÂyat demi pengemplang BLBI sama deÂngan negara meresÂtui tindak kejaÂhatan yang dilakukan para penÂjahat itu.â�� [Harian Rakyat Merdeka]
Sumber : http://www.rimanews.com/read/2013012...jak-edy-tansil
(RMOL)