SITUS BERITA TERBARU

Hindari Mafia KPU & MK: Gubernur Dipilih Presiden, Pilkada Cukup di Pilih DPRD saja!

Thursday, October 17, 2013
Pengamat: Pilkada Dihapus, Bisa Hindari Konflik di Daerah
Kamis, 17-10-2013 13:53

JAKARTA, PESATNEWS- Pengamat Politik Universitas Nasional (Unas), Alfan Alfian menilai wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) kembali dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat memperkecil konflik politik. Tapi digantinya sistem Pilkada menjadi pemilihan langsung lantaran DPRD dinilai menjadi lahan korupsi sebagai institusi penyelenggara Pilkada. "Kalau dikembalikan lagi ke DPRD, maka kita akan kembali ke sistem yang lama. Memang kalau dikembalikan ke DPRD, maka memperkecil area konflik politik," kata Alfian saat dihubungi wartawan, Kamis (17/10/2013).

Namun menurutnya apabila Pilkada kembali dilakukan dengan sistem pengambilan suara di DPRD tidak lantas menjadi bersih dari praktik transaksional. Perubahan yang terjadi merupakan buntut dari kekesalan masyarakat yang menganggap DPRD telah menyelewengkan wewenangnya dalam Pilkada. "Tetapi, belum tentu model ini kebal pragmatisme transaksional pula, sebab dulu salah satu kritiknya adalah DPRD lahan korupsi ketika Pilkada dilakukan diinstitusi ini," ungkapnya.

Kendati begitu disisi lain jika Pilkada menggunakan sistem DPRD maka memiliki beberapa kelebihan dan Alfian menilai ini menjadi solusi untuk saat ini, dimana Pilkada selalu berujung dengan konflik. "Tetapi, kelebihannya adalah lebih simpel dan membatasi konflik. Biaya penyelenggaraan pilkada juga lebih murah. Pilihan kembali ke DPRD itu satu solusi yang cukup masuk akal," terangnya. Lebih lanjut Akademisi ini mendukung Pilkada yang dilakukan secara pemilihan angsung lantaran hal ini sudah berjalan. Sehingga yang dibutuhkan memperbaiki sistem yang sudah berjalan bukan menggantinya dengan sistem lama yang diketahui memiliki kelemahan. "Karenanya ada solusi lain yang juga perlu dipertimbangkan memperbaiki mekanisme dan kultur demokrasi lokal. Sehingga Pilkada bisa tetap dilakulan secara langsung. Jalan tengahnya, bisa ada dua alternatif Pilkada menyesuaikan kondisi daerah," saran Alfian.

Namun kemudian muncul wacana apabila Pilkada dikembalikan dalam sistem DPRD maka akan menutup lahan lembaga-lembaga survei yang tengah menjamur. Akan tetapi ini bukan menjadi persoalan mendasar lembaga survei masih dapat berkreasi meski sistem Pilkada kembali pada DPRD. "Lahan yang bisa dikerjakan masih banyak. Tak berarti kalau kembali Pilkada ke DPRD, mereka tidak akan ada lahan lagi untuk diteliti," himbau Alfian
http://www.pesatnews.com/read/2013/1...flik-di-daerah

Gubernur Dipilih Langsung, Bupati Dipilih DPRD
Selasa, 30 Juli 2013 04:12

Dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, mengusulkan pemilihan gubernur secara langsung. Sementara pemilihan bupati/walikota melalui DPRD. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Restuardy Daud mengatakan, pemerintah ingin memperkuat posisi dan peran gubernur. �Pilkada gubernur secara langsung diharapkan akan memperkuat legitimasi gubernur dalam mendukung efektivitas dan sinergi pemerintah daerah, terutama tugas pembinaan dan pengawasan gubernur terhadap kabupaten/kota,� kata Ardy, Senin (29/7), di Jakarta.

Di Pembahasan awal, seluruh kepala daerah dipilih melalui DPRD. Dalam perjalanan pemerintah, DPD, dan beberapa fraksi mengusulkan pemilihan gubernur secara langsung. UUD 1975 Pasal 18 Ayat (4) kata Ardy, mengamanatkan gubernur/bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Dalam UUD 1945 secara eksplisit yang disebutkan dipilih langsung rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden. �Jika mengacu pada sila ke-4 Pancasila, pemaknaan demokrasi untuk pilkada bupati dan walikota melalui DPRD dapat menjadi suatu pilihan,� katanya. Mendagri Gamawan Fauzi menyampaikan, masih ada beberapa isu yang belum sampai pada kata sepakat, antara lain mekanisme langsung atau tidak langsung, paket kepala daerah dan wakil kepala daerah, keserentakan, serta penyederhanaan biaya kampanye. (Sumber : Kompas, 30 Juli 2013)
http://otda.kemendagri.go.id/index.p...i-dipilih-dprd

LIPI: Harusnya Gubernur Bisa Dipilih Presiden
17/04/2013 17:09

Liputan6.com, Jakarta : Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara tidak langsung seperti pemilihan Bupati, Walikota atau Gubernur yang dipilih oleh DPRD ataupun ditunjuk langsung oleh Presiden terus berkembang. Sebab, konflik horizontal pasca-pilkada terus mewarnai demokrasi di Indonesia. Profesor Riset bidang perkembangan politik Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menjelaskan, sebetulnya Presiden bisa memilih langsung seorang gubernur atau kepala daerah di tingkat provinsi bila mekanismenya provinsi bagian dari kepanjangan tangan pemerintah pusat, dan bukan bagian dari daerah yang memiliki otonomi seperti tingkat Kabupaten atau Kota. "Kalau provinsi hanya kepanjangan tangan dari pusat dan bukan daerah otonom maka Gubernur ditunjuk saja oleh Presiden dan tidak usah dipilih oleh DPRD maupun masyarakat melalui pilkada langsung," kata Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI ini di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (17/4/2013).

Haris menjelaskan, sebetulnya konsep provinsi sangat berbeda dengan kabupaten/kota yang memiliki otonomi seperti yang diatur dalam UU nomor 32 tahun 2004 tentang daerah otonom. Karena itu, mengingat kabupaten/kota memiliki otonomi, maka pemilihan Bupati dan Walikota harus melalui mekanisme pemilihan langsung oleh masyarakat. "Kalau di kabupaten atau kota memiliki locus otonomi, maka mau enggak mau pilkada harus tetap langsung," tuturnya. Kerena itu, jelas haris, bila desakan pemilihan kepala daerah tidak langsung melalui mekanisme DPRD terus bergulir, maka konsepnya harus jelas terlebih dahulu. Lantaran selama ini perdebatan mengenai pilkada langsung atau tidak langsung itu tidak terlihat kerangka besarnya dan masih mengalami kerancuan. "Mestinya jelas dulu konsepsi kabupaten atau kota itu sendiri sebagai daerah otonom atau tidak. Apakah tetap di kabupaten atau kota daerah otonomnya atau diubah ke provinsi daerah otonomnya atau dua-duanya daerah otonom jadi itu dulu yang musti disepakati. Karena daerah yang memiliki otonomi itu harus dilakukan pemilihan langsung," pungkas Syamsuddin Haris.
http://news.liputan6.com/read/564120...pilih-presiden

Usulan Gubernur Dipilih Presiden Masih Penuh Pro-Kontra

Jakarta (ANTARA News) - Usulan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) bahwa sebaiknya Gubernur tidak lagi dipilih melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) tapi dipilih langsung oleh Presiden, ditanggapi dengan berbagai pendapat yang berbeda di sejumlah daerah. Menurut sebagian kalangan di daerah, Jumat, wacana penghapusan pilkada gubernur tidak sesuai dengan semangat reformasi dan merupakan kemunduran dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Namun ada juga pendapat bahwa usulan tersebut perlu didukung karena memang sesuai dengan posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, serta sebagai solusi penghematan biaya dan menghindari terjadinya konflik yang kerap terjadi saat pilkada gubernur. "Terkesan pemerintah pusat akan melakukan resentralisasi dan memangkas otonomi daerah, dengan melakukan berbagai kebijakan yang sebenarnya tidak tepat," kata pengamat sosial politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sujito MSi.

Oleh sebab itu, katanya, wacana dari Lemhanas agar gubernur dipilih oleh Presiden dinilai sebagai gagasan yang tidak populer dan merupakan kemunduran demokrasi. Menurut Arie Sujito, jika pemerintah pusat menilai otonomi daerah saat ini tidak berjalan semestinya atau melenceng dari undang-undang yang ada, bukan kemudian pemerintah pusat memangkas otonomi daerah, tetapi seharusnya yang dilakukan adalah mengevaluasi serta memperbaiki tata pengelolaan pemerintahan daerah.

Hal senada disampaikan Ketua KPU Sumut Irham Buana Nasution. Menurut dia, wacana penunjukan gubernur oleh Presiden merupakan sebuah langkah mundur dalam kehidupan berdemokrasi di Tanah Air. Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia dewasa ini, pilkada langsung merupakan sebuah tuntutan. "Kalau ada pemikiran gubernur cukup ditunjuk presiden, itu merupakan sebuah langkah mundur," katanya. Pilkada langsung yang kini mulai dilaksanakan di berbagai daerah, merupakan hasil perjuangan panjang selama beberapa dekade. "Jadi, sebaiknya pemikiran seperti itu tidak diwacanakan," ujarnya.

Usulan agar gubernur dipilih langsung oleh presiden disampaikan Ketua Lemhanas Muladi usai acara pembekalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada peserta program pendidikan Lemhanas angkatan ke-40 di Istana Negara Jakarta, Kamis (6/12). Menurut Muladi, pemilihan langsung oleh rakyat relevan untuk memilih bupati dan walikota, sementara pemilihan gubernur bisa dilakukan oleh presiden, melalui penunjukan kepada DPR RI dan mendapat persetujuan DPRD. Usulan Lemhanas ini sejalan dengan keinginan Wapres Jusuf Kalla yang meminta dilakukan penyederhanaan dalam proses Pemilu. Pertimbangan usulan tersebut adalah karena posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sementara ujung tombak otonomi daerah adalah daerah tingkat dua, bukan daerah tingkat satu. Jadi, pilkada cukup untuk daerah tingkat dua
http://www.antaranews.com/print/86156/

Kalau KPU Beres, tak Ada Sengketa Pilkada ke MK
Kamis, 10/10/2013 - 20:33

JAKARTA, (PRLM).- Wasekjend DPP PDIP Hasto Kristianto meyakini jika dalam kasus suap di Mahkamah Konstitusi (MK) termasuk yang melibatkan Ketua MK Akil Mochtar ada back up kekuasaan, ada uang, ada persekongkolan. Tapi, ketidakberesan ini jangan hanya difokuskan ke MK, melainkan juga penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab, kalau pemilu itu beres, maka tak ada kasus sengketa Pilkada yang ke MK. �Jangan terfokus ke MK, tapi juga KPU sebagai penyelenggara pemilu dan Pilkada. Bayangkan di MK itu ada sekitar 634 kasus sengkata Pilkada. Padahal, kalau penyelenggara pemilu baik, semua akan baik. KPU bermasalah dan cenderung pada kekuasaan. Seperti halnya Anas Urbaningrum, Andi Nurpati, dan Andi Malarangeng semuanya masuk Demokrat,� tegas Hasto Kristianto dalam diskusi �Masihkah MK RI bisa dipercaya?� bersama Ahmad Yani dari FPPP dan mantan Ketua MK Mahfud MD di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (10/10/2013).

Menurut Hasto, sengketa Pilkada yang diputus Akil Mochtar banyak yang aneh-aneh. Misalnya, tidak mempermasalahkan orang yang menyoblos sampai sepuluh kali, ada asas kemanfaatan, dan suap. �Sedangkan dalam kasus Pilkada Provinsi Bali, ada sekitar 137 TPS yang seharusnya diulang, tapi diabaikan oleh MK,� ujarnya. Menurut Mahfud, bagaimana pun satu orang itu satu suara, karena tidak bisa menyoblos sampai sepuluh kali. Juga tak bisa diwakilkan. �Kalau bisa mewakilkan, maka akan banyak borongan-pembelian suara melalui perwakilan orang lain. Padahal, perwakilan ini hanya berlaku untuk Pilkada Papua, yang memang diwakili oleh kepala suku, karena rakyatnya belum siap nyoblos sendiri dengan berbagai pertimbangan,� katanya.

Sementara asas kemanfaatan lanjut Mahfud, hanya berlaku untuk kasus Pilkada Aceh, di mana Irwandi Yusuf sebagai calon independen ditolak oleh partai Aceh, tapi partai Aceh sampai pendaftaran ditutup belum juga mendaftarkan calonnya. �Untuk itu, MK memerintahkan agar partai Aceh menggugat KPU, agar calonnya didaftar. Kedua kasus Pilkada itu tidak berlaku bagi daerah lain,� tambah Mahfud. Soal tetap terjadi kecurangan dalam Pilkada itu pasti terjadi, baik yang menang maupun yang kalah. Hanya saja diakui Mahfud, itu tidak signifikan. �Kasus-kasusnya yang dilaporkan ke MK kalau pun dikabulkan, tetap tak bisa memanangi calon yang sudah menang. Seperti hanya di 2 TPS dan semacamnya,� ungkapnya.
http://www.pikiran-rakyat.com/node/254450

70 Persen Putusan MK Dituding Bermasalah
11 October 2013 19:15 wib

Arteria Dahlan mengaku dirinya dan sejumlah pengacara lain akan segera melakukan eksaminasi (peninjauan ulang) terhadap sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Menurut Arteria, langkah eksaminasi terutama dilakukan terhadap putusan-putusan yang diduga bertentangan dengan hukum berlaku. Jadi tidak semata-mata karena tertangkapnya Ketua MK non aktif, Akil Mochtar. �Eksaminasi kita lakukan untuk melihat mana hukum yang bertentangan dengan norma-norma hukum. Hasil eksaminasi untuk bukti awal dalam melakukan peninjauan ulang. Setelah eksaminasi, kita undang Hakim MK, demikian juga dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),� ujar Arteria dilansir JPNN(Affiliasi padangtoday) dalam diskusi Komunitas Jurnalis Peduli Pemilu (KJPP) di Jakarta, Jumat (11/10).

Beberapa putusan MK yang akan dieksaminasi di antaranya, putusan MK terhadap PHPU Pilkada Provinsi Bali, Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah. Untuk kasus Bali, Kuasa Hukum pasangan calon Gubernur Bali, Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga-Dewa Nyoman Sukrawan (PAS) ini menilai putusan MK benar-benar tidak masuk akal. �Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di Bali bermasalah, KPU dan DKPP juga berpihak. Tapi putusan MK didasarkan pada Panwaslu. Apa iya, Desa Kubu, Karangasem, pemilih dipilih dengan cara diwakili? Boleh tiap orang milih lebih dari 100 kali?� ujarnya.

Dalam Pilkada Bali, Arteria juga menyatakan terdapat 19 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang terbukti terjadi pelanggaran, namun oleh MK tidak diperintahkan untuk dilakukan pemilihan ulang. �Ini kan aneh, MK ciptakan norma baru dan negosiasi dengan konstitusi. Kasus Bali ada aliran dana Rp 80 miliar sampai Rp 200 miliar,� katanya. Untuk kasus Pilkada Sumut, Arteria juga menilai telah terjadi kejahatan yang benar-benar terstruktur, sistematis dan massif yang dilakukan MK. �MK hebat, perkara kalah bisa dimenangkan. Kian hari putusannya makin ngawur. Di era pak Mahfud MD (Ketua MK), ada 10 persen masalah. Tapi di era Akil, ada 70 persen masalah. Oleh karena itu kita akan undang Hakim MK dan diputuskan lagi, apa betul putusan MK sesuai koridor hukum. Dalam tmpo 90 hari pascaputusan, kita minta terobosan hukum. Putusan Tata Usaha Negara (TUN) bisa anulir putusan MK sepanjang terkait pengangkatan bupati terpilih,� katanya.
http://padangtoday.com/today/detail/49205

Ada 4 Pola Suap Hakim Mahkamah Konstitusi
Sun, 13/10/2013 - 21:52 WIB

RIMANEWS--Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, ada empat pola pemberian suap kepada hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Dia menduga, empat pola itu yang biasa dipakai para hakim dan pihak berperkara dalam bertransaksi.

Pertama, katanya, hakim kontitusi sengaja memeras pemenang sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Dia mengatakan, dalam pola ini, saat mempelajari perkara, hakim sebenarnya sudah tahu permohonan tidak layak dikabulkan. "Tidak ada potongan perkara untuk dikabulkan. Tapi ia (hakim konstitusi) tetap memeras juga, menginjak kaki pemenang. Mereka (pihak yang menang) pasti mau bayar. dan transaksi Rp 1 miliar itu terlalu kecil untuk mengamankan kemenangan," ujar Refly.

Kedua, tuturnya, pasangan calon kepala daerah yang sudah ditetapkan menang oleh Komisi Pemilihan umum (KPU) khawatir kemenangannya dianulir MK. Karenanya, kata Refli, yang bersangkutan bergerak cepat dengan menyuap hakim. "Mereka yang berperkara takut kemenangannya dibatalkan MK. Kemudian biaya suap masuk. Tapi harus ada brokernya (makelar)," katanya.

Pola ketiga, ia menjelaskan, hakim sudah mengetahui pemenang sengketa di MK. Ia menuturkan, dengan pengetahuannya itu, hakim yang bersangkutan akan mendatangi pihak pemenang dengan membawa amar putusan yang palsu. Dia mengatakan, dalam amar palsu dituliskan, pihak yang menang justru dikalahkan. "Hakim yang punya kepentingan memeras klien. Kalau tidak mau bayar, maka putusannya begini (mengalahkan pihak yang diperas)," lanjutnya. Ia mengatakan, dalam tiga pola tersebut, hakim konstitusi bisa jadi hanya bermain sendiri.

Sedangkan pola keempat, ujarnya, seperti yang terjadi pada sengketa pilkada Kabupaten Lebak. "Untuk mengubah yang menang jadi kalah, yang kalah jadi menang. Sehingga diperintahkan pemungutan suara ulang," katanya. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif Akil Mochtar sebagai tersangka untuk dua kasus dugaan suap, yaitu dugaan suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan dugaan suap sengketa Pilkada Lebak, Banten. Pengumuman tersangka ini disampaikan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (3/10/2013) sore, oleh Ketua KPK Abraham Samad.
http://www.rimanews.com/read/2013101...mah-konstitusi

---------------------------

Sistem pemilihan Gubernur oleh Presiden, setelah mendapat usulan nama dari DPR, tentu akan lebih baik. Sebab, Gubernur akan taat patuh dan setia dengan pemerintah pusat dan Presidens eperti zaman ORBA dulu. Lalu dipilihnya Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) oleh anggota DPRD, juga mengembalikan sistem kedaulatan berdasarkan perwakilan. Partai politik yang menang dan menguasai anggota DPRD, memang akhirnya penentu mutlak, siapa yang akan mereka naikkan sebagai Kepala daerah setempat. Tapi hal ini akan menjadikan Kepala Daerah yang kuat karena akan didukung oleh mayotitas agggota DPRD yang memilihnya sehingga sistem Pemerintahan di daerah lebih stabil. Perkara ada suap-menyuap politik, asal sistemnya dibikin transparan dan pengawasan aparat BPK dan KPK serta Kejaksaan/Kepolisian cukup berperanan, kondisi seperti itu bisa ditekanlah secara pelan-pelan.


[imagetag]
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive