SITUS BERITA TERBARU

Gawat, 200.000 Orang Jadi Budak di Indonesia!

Friday, October 18, 2013
Sementara yang berada di Indonesia, jeratan hutang adalah praktik umum yang digunakan untuk memperbudak masyarakat di berbagai sektor, dengan praktek kerja paksa dan pekerja anak dibawah umur ditemukan di dalam industri kelapa sawit.

Quote:
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Inilah fakta terbaru yang dikirim seorang kawan yang membuat saya miris pada Kamis siang tadi. Sebuah laporan tahunan yang diterbitkan oleh Walk Free Foundation pada Kamis (17/10) di Chatham House, London, menyebutkan, Global Slavery Index mengungkap bahwa lebih dari 200.000 orang hidup di bawah perbudakan di Indonesia!

Walk Free Foundation sendiri adalah sebuah organisasi global dengan misi untuk mengakhiri perbudakan modern di generasi kita dengan memobilisasi gerakan aktivis global, menghasilkan penelitian berkualitas tinggi, mendatangkan bantuan bisnis dan meningkatkan tingkat modal untuk mendorong terjadinya perubahan di negara-negara dan industri yang paling bertanggung jawab atas perbudakan modern saat ini.

Caranya, dengan mengidentifikasi negara dan industri yang paling bertanggung jawab atas perbudakaan modern; mengidentifikasi dan melaksanakan intervensi bersama para mitra di negara-negara dan industri yang memiliki dampak terbesar pada perbudakan modern; dan
Menilai dampak kita secara kritis.

Laporan tersebut menyebut, Asia telah menjadi tempat tinggal bagi hampir tiga perempat masyarakat dunia yang hidup diperbudak. Index yang diterbitkan setiap tahun ini, adalah laporan pertama yang memberikan pengukuran paling akurat dan komprehensif mengenai
tingkat dan risiko perbudakan modern, dan dilihat negara per negara.

Index memperkirakan bahwa terdapat lebih dari 21 juta orang yang diperbudak di Asia, atau lebih dari 72% dari total 29,8 juta orang yang diperbudak di seluruh dunia. Indonesia memiliki jumlah penduduk diperbudak terbesar ke-16 di dunia, namun berada di peringkat 114 dari 162 negara jika dilihat dalam hal proporsi penduduk di perbudakan modern. Indeks ini, juga membuat rekomendasi bagi para pembuat kebijakan di Indonesia dan seluruh dunia.

Sebagai sebuah penelitian, index tersebut mengungkap fakta, betapa warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, khususnya di kawasan Timur Tengah dan Asia-Pacific, telah dieksploitasi secara seksual, dipekerjakan secara paksa, baik dalam bidang rumah tangga,
konstruksi, perikanan dan perhotelan.

Sementara yang berada di Indonesia, jeratan hutang adalah praktik umum yang digunakan untuk memperbudak masyarakat di berbagai sektor, dengan praktek kerja paksa dan pekerja anak dibawah umur ditemukan di dalam industri kelapa sawit.

Hebatnya lagi, empat negara di Asia Tenggara muncul di dua puluh besar teratas negara dengan jumlah penduduk diperbudak terbanyak, dengan Thailand di peringkat ke-7, Myanmar ke-9, Vietnam ke-15, dan Indonesia ke-16. Thailand tetap menjadi pusat eksploitasi bersama
dengan Myanmar, Laos dan Kamboja yang memiliki risiko perbudakan tertinggi di kawasan tersebut.

Global Slavery Index juga memperkirakan ada lebih dari 29 juta orang yang hidup dalam kondisi perbudakan modern di seluruh dunia. Mauritania menempat peringkat pertama menurut Index, dengan estimasi proporsi penduduk diperbudak tertinggi dibandingkan negara lain di seluruh dunia. Negara Afrika Barat tersebut, dengan sistem perbudakan turun temurun yang telah mengakar, diperkirakan memiliki sekitar 150.000 budak dengan total populasi hanya 3,8 juta. Haiti, sebuah negara di kawasan Karibia di mana perbudakan anak juga marak terjadi,
menempati posisi kedua dengan Pakistan berada satu posisi dibawahnya.

Nick Grono, CEO dari Walk Free Foundation mengungkapkan, �Alangkah menyenangkan untuk berpikir bahwa perbudakan merupakan peninggalan sejarah, namun kenyataannya perbudakan telah meninggalkan luka mendalam pada kemanusiaan di setiap benua. Ini memang indeks perbudakan pertama namun telah dapat membentuk suatu upaya baik nasional maupun global untuk membasmi perbudakan modern di seluruh dunia. Kita sekarang tahu bahwa terdapat sepuluh negara yang menjadi tempat tinggal bagi lebih dari tiga perempat jumlah manusia yang hidup di bawah perbudakan modern. Negara-negara ini harus menjadi fokus utama upaya global.�

Profesor Kevin Bales, peneliti utama Global Slavery Index juga menambahkan, �Kebanyakan pemerintah negara tidak menggali lebih dalam ke masalah perbudakan karena alasan yang buruk. Memang ada beberapa pengecualian, namun banyak pemerintah negara yang tidak ingin tahu mengenai warganya yang tidak dapat memilih, hidup tersembunyi dan juga cenderung ilegal. Hukumnya memang ada, tapi alat dan sumber daya serta keinginan politik sangat kurang. Dan karena para budak tersembunyi ini sulit dihitung, mudah bagi pemerintah untuk berpura-pura bahwa mereka tidak ada. Index ini bertujuan mengubah semua itu.�

Maka tak heran kiranya, jika berpuluh atau beratus nyawa melayang akibat dari perbudakan ini, pemerintah terkesan cuci tangan. Padahal, bisa jadi, perbudakan di zaman modern ini berlangsung dari abainya pemerintah terhadap urusan rakyatnya sendiri.

Ironis benar situasi ini. Di kala peradaban dunia telah sedemikian hebatnya mengedepankan hak asasi manusia (HAM), pada saat yang bersamaan sebagaian manusia masih dikuasai oleh manusia lain, seperti yang terjadi ribuan tahun lalu saat manusia mulai mengenal
pertanian, sekitar 10.000 tahun yang lalu. Awalnya, para budak terdiri dari penjahat atau orang-orang yang tidak bisa membayar hutang. Ketika terjadi peperangan, kaum yang kalah juga diperlakukan sebagai budak oleh kaum yang menang.

Sejarah mencatat, perbudakan pertama-tama diketahui terjadi di masyarakat Mesopotamia (Sumeria, Babilonia, Asiria, Chaldea). Perekonomian kota yang pertama berkembang di sana, dilandaskan pada teknologi pertanian yang berkiblat pada kuil-kuil, imam, lumbung,
dan para juru tulis.

Perbudakan pun terjadi di masyarakat Mesir, India, Yunani, Romawi, Cina, dan Amerika. Perbudakan berkembang, seiring dengan perkembangan perdagangan dan industri. Permintaan budak meningkat untuk menghasilkan barang-barang keperluan ekspor. Kebanyakan orang
kuno berpendapat bahwa perbudakan merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Berbagai cara ditempuh seperti menaklukan bangsa lain lalu menjadikan mereka sebagai budak, atau membeli dari para pedagang budak.

Nasib serupa dialami bangsa Melanesia yang secara fisik mirip dengan bangsa Afrika, yaitu berkulit hitam dan berambut keriting. Wilayah huniannya membentang dari Thailand, Filipina, Malaysia, Indonesia, New Guinea, Australia, Timor, dan kepulauan Micronesia. Bangsa Melanesia sebelumnya terdorong ke pedalaman oleh migrasi bangsa proto-Malay dari Dataran Yunnan (Cina Selatan). Kedatangan bangsa Eropa selain menjajah bangsa proto-Malay, banyak pula suku bangsa Melanesia di Filipina, Papua New Guinea, Merauke, Fiji dan sekitarnya yang
dibawa dengan paksa. Mereka dapat diambil di hutan rimba wilayah Melanesia. Hasil perburuan manusia di wilayah Melanesia telah sangat menguntungkan Australia dan Belanda. (Melanesia: A Nation in a Coffin. by S. Karoba. http://www.westpapua.org.uk/, January 2000).

***

Di tahun 2013 ini, perbudakan modern telah memiliki berbagai bentuk, dan dikenal dengan banyak nama. Baik disebut perdagangan manusia, kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik mirip perbudakan (sebuah kategori yang mencakup jeratan hutang, pernikahan paksa, penjualan atau eksploitasi anak termasuk dalam konflik bersenjata), korban dari perbudakan modern memiliki kebebasan hidup mereka ditolak, dan digunakan dan dikendakikan dan dimanfaatkan orang lain untuk keuntungan, seks, atau bahkan sensasi dominasi.

Perkiraan prevalensi perbudakan modern adalah ukuran gabungan dari tiga faktor; perkiraan prevalensi perbudakan modern dari populasi, pengukuran pernikahan dibawah umur dan data dari perdagangan manusia yang masuk dan keluar dari suatu negara. Ketiga faktor ini jika
digabungkan dapat menghasilkan gambaran global yang rinci mengenai jumlah orang yang hidup dibawah perbudakan saat ini.

Index juga mengidentifikasi faktor-faktor yang menyoroti resiko perbudakan modern di setiap negara dan meneliti kekuatan respon pemerintah menangani masalah ini untuk 20 negara teratas dan terbawah dalam peringkat indeks. Index mengkaji prioritas yang diberikan dalam membasmi perbudakan modern, metode yang digunkan untuk mengatasi masalah tersebut, dan bagaimana upaya tersebut dapat ditingkatkan untuk setiap negara.

Global Slavery Index diciptakan melalui konsultasi dengan sebuah panel pakar internasional dari berbagai organisasi, think thank dan lembaga akademis internasional. Index ini telah disetujui oleh sejumlah tokoh seperti Mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, Mantan Perdana Menteri Tony Blair, Gordon Brown dan Julia Gillard, dan para dermawan terkemuka seperti Bill Gates, Sir Richard Branson dan Mo Ibrahim, serta para akademisi, pemimpin bisnis dan pembuat kebijakan. Laporan Global Slavery Index dapat ditemukan di www.globalslaveryindex.org

@JodhiY

sumber KOMPAS


Komentar:

Pertama: Hindari hutang yg tidak produktif. Hindari hutang yg tidak produktif. Hindari hutang yg tidak produktif. Alias hutang yg bukan untuk modal usaha.

Kedua: Waspadai juga isu tentang persaingan dagang minyak kelapa sawit, antara negara Indonesia dan negara-negara Eropa. Black campaign (kampanye hitam) bisa dilakukan dgn berbagai cara. Karena Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Kelapa sawit menjadi komoditas utama ekspor Indonesia.
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive