SITUS BERITA TERBARU

KontraS Pertanyakan Sikap Komnas HAM Terkait Pelanggaran HAM Berat di Aceh

Thursday, September 5, 2013
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan sikap pimpinan Komnas HAM, yang tidak menanggapi laporan pelanggaran HAM berat di Aceh, yang telah diserahkan oleh Komisioner Komnas HAM, Otto Nur Abdullah pada Mei-Juni lalu.

Dalam aksi yang dilakukan oleh KontraS serta perwakilan mahasiswa yang tergabung dalam Sekolah HAM untuk Mahasiswa, Rabu (4/9), mereka membawa poster-poster yang bertulisan desakan agar Komnas HAM menerima hasil tim pemantauan, serta membentuk Tim Penyelidik Pro-Justisia, sesuai kewenangan Komnas HAM yang diatur dalam UU Nomer 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM.

Aktivis KontraS, Muhammad Daud, mengatakan penyelidikan oleh tim pemantau Komnas HAM sebelumnya difokuskan pada lima kasus, yaitu peristiwa Rumah Geudong di Pidie, pembunuhan massal di Simpang KKA Aceh Utara dan Bumi Flora Aceh Timur, penghilangan orang secara paksa dan kasus kuburan massal di Kabupaten Bener Meriah, serta pembantaian massal di Jambo Keupok.

"Dari lima kasus itu, tiga diantaranya sudah pernah diselidiki oleh Komnas HAM, yaitu kasus rumah geudong, Simpang KKA, dan Bumi Flora. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut ke tingkap Pro-Justisia," ungkap staf Pemantau Impunitas Kontras, Muhammad Daud, kepada aceh online, Rabu.

Awal Agustus lalu, tim pemantau telah merekomendasikan dua hal dalam sidang paripurna Komnas HAM. Namun, lanjut Daud, rekomendasi itu tidak mendapat respon positif.

"Menurut Otto Nur Abdullah, ada kendala internal. Siti Noor Laila (Ketua KOmnas HAM) tidak merespon secara positif. Ada kendala internal di Komnas HAM, tetapi itu jangan dilihat sekedar prosedur teknis belaka, melainkan substansinya bahwa pelanggaran HAM di Aceh harus di proses dulu," ungkap Daud.

Berdasarkan catatan KontraS, Komnas HAM sejak awal tidak terlihat maksimal mengusut kasus pelanggaran HAM berat di Aceh.

"Padahal bukti-bukti sudah ada dan banyak tim yang terlibat. Pada tahun 1999 di era (Presiden) Habibire juga 'kan sudah pernah dibentuk sebuah tim untuk kasus-kasus di Aceh," tambah Daud.

Ia juga menyinggung DPR Aceh yang tidak secara langsung membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Menurut Daud, DPR dan pemerintah Aceh sebetulnya dapat bertindak mandiri dalam hal ini, karena KKR dimandatkan dalam Nota Kesepahaman Helsinki tahun 2005.

"Tetapi kita juga membicarakan pemulihan untuk korban, yang tidak harus beriringan dengan penuntasan kasusnya sendiri. Ini bisa dilakukan berdasarkan UU Pengadilan HAM tersebut," tambah Daud.

Sekitar 1000 orang menjadi korban kekerasan fisik serta perampasan kemerdekaan, akibat pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa pemberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Mayoritas korban adalah kaum perempuan dan anak-anak.

Pemerintah Aceh menjanjikan pemulihan fisik dan psikis serta bantuan ekonomi bagi para korban konflik, namun belum semuanya mendapatkan bantuan yang layak.(sumber)

Komnas HAM takut dilanggar juga,,, makanya nggak berani usut,,, [imagetag][imagetag]
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive