SITUS BERITA TERBARU

4 Hal yang bisa dipelajari SBY dari mbah Soeharto soal ekonomi

Saturday, September 7, 2013
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah hampir 10 tahun memimpin Indonesia. Di akhir masa jabatannya, kondisi perekonomian nasional menghadapi ujian. Termasuk di sektor perekonomian.

Ujian tersebut antara lain terpuruknya nilai tukar Rupiah, tingginya tingkat inflasi, melambatnya laju pertumbuhan ekonomi, dan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Kondisi ini kemudian dikait-kaitkan dengan kondisi perekonomian di era kepemimpinan Presiden Soeharto.

Meskipun Soeharto sendiri tidak bisa menyelamatkan kondisi ekonomi nasional yang jatuh dihantam krisis ekonomi 1998, namun sekarang beberapa pihak seolah 'kangen' dengan kondisi ekonomi di era Soeharto. Ada beberapa kebijakan di kepemimpinan Soeharto yang dinilai bisa ditiru oleh Presiden SBY agar perekonomian Indonesia membaik.

nah apa saja yang bisa ditiru oleh SBY dari mbah Harto?

1. Tata kelola perdagangan
Kondisi neraca perdagangan Indonesia saat ini disebut lebih parah dibandingkan zaman Soeharto. Ekonom Didik J Rachbini menuturkan, penataan perdagangan wajib dilakukan untuk menghindari neraca defisit perdagangan makin lebar.

Kebijakan perdagangan kita gagal, semua defisit itu terjadi karena impornya besar. Untuk impor kita rakus ujar Didik usai diskusi di kantornya, Jakarta, Jumat (6/13)

Dia mengatakan, selama periode Januari-Mei 2013, defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai USD 2,5 miliar. Nilai ini lebih besar dari total defisit neraca perdagangan 2012 yang hanya USD 1,65 miliar, ucapnya.

Dalam pandangannya, masalah neraca perdagangan yang tidak seimbang sudah terjadi sejak lama. Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, masalah seperti ini mendapat prioritas untuk diselesaikan. Caranya dengan memperkuat sistem ketahanan pangan nasional agar Indonesia tidak tergantung pada impor dari negara lain.

Menurutnya, pemerintah saat ini dan pemerintahan selanjutnya bisa mengambil pelajaran dan mencontoh kebijakan di era Presiden Soeharto. Padahal zaman Pak Soeharto memimpin ini harus menjadi suatu perhatian dari pemerintah, tegasnya.

2. Swasembada pangan
Indonesia kini dikenal sebagai salah satu negara importir lantaran banyak komoditas kebutuhan masyarakat yang terpaksa harus dipenuhi dengan cara impor. Seperti bahan pangan mulai dari beras hingga kedelai pemerintah terus mendatangkannya dari luar negeri. Pemerintah membuka lebar-lebar keran impor akibat perjanjian perdagangan bebas pasca 1998.

Salah satu kondisi lebih buruk dibandingkan zaman Soeharto adalah tingginya harga kedelai. Padahal zaman orde baru Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai. Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) bercerita kejayaan kedelai Indonesia pernah terjadi zaman orde baru kepemimpinan Presiden Soeharto. Saat ini kedelai masih dikuasai dan dimonopoli oleh Badan Urusan Logistik (Bulog).

Masalah kedelai diatur pemerintah dimulai sejak 1979 - 1998 hampir 20 tahun dikelola dan monopoli oleh Bulog. Selama 20 tahun kehidupan petani dan pengrajin baik dan tahun 1992- 1993 kita sudah swasembada kedelai di Indonesia. Itu zaman keemasan kami, kata Ketua Gakoptindo Aip Syarifudin di Gedung KPPU, Jakarta, Kamis (5/9).

Aip mengatakan, sebenarnya Indonesia bisa kembali ke masa kejayaan kedelai pada 1992. Syaratnya konsisten pada aturan Perpres 32 tahun 2013. Dalam beleid ini diatur HJP (Harga Jual Pengrajin) serta dibatasinya kuota impor.

Kita pernah swasembada 1992 dan 1993. Sesungguhnya bisa terjadi lagi. Ada Perpres 32 tahun 2013 dilaksanakan konsekuen oleh pemerintah yang Sekarang sudah terbit. Tapi sama pemerintah dicabut lagi dan impor dibuka lebar lagi, berarti perdagangan bebas lagi. Dengan begitu importir bisa saling bunuh membunuh, ucapnya.

3. Genjot ekspor
Defisit neraca perdagangan yang diderita Indonesia saat ini disebabkan tingginya impor dan melempemnya angka ekspor. Turunnya ekspor Indonesia disebut-sebut terjadi karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada industri manufaktur semisal tekstil.

Saat Soeharto memimpin Indonesia, disebut-sebut neraca perdagangan selalu surplus karena ekspor yang besar. Zaman Pak Soeharto kita surplus perdagangan bahkan kita ekspor banyak dibandingkan impor. Kita dulu ekspor sawit, tekstil, ucap Ekonom Didik J Rachbini di Menara kadin, Jakarta, Jumat (6/9).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Tekstil Indonesia Ade Sudrajat yang mengatakan ekspor tekstil Indonesia saat ini kalah dengan Vietnam. Padahal Vietnam baru 10 tahun memulai usaha ekspor ini dan Indonesia sudah memulainya sejak 40 tahun lalu. Vietnam saat ini menduduki peringkat 3 dalam jumlah ekspor dan Indonesia tetap di peringkat 6.

Menurut Ade ini terjadi karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada pengusaha manufaktur. pemerintah Indonesia justru mempersulit ekspor tekstil. Salah satunya adalah adanya aturan Kementerian Keuangan yang diskriminatif yaitu mencabut fasilitas kemudahan impor ke negara ekspor.

Kalau mau dapat kemudahan harus masuk kawasan berikat tekstil. Tapi ini kan harus ada syaratnya lagi, tegasnya.

4. Pengelolaan BUMN
Di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hampir semua bahan pangan di impor. SBY mempercayakan ketahanan pangan pada barang impor, padahal Indonesia sendiri mempunyai banyak perusahaan negara bergerak pangan salah satunya Bulog.

Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan era kepemimpinan Soeharto di mana Bulog mendapat mandat khusus untuk menjaga ketahanan pangan.

Kebijakan yang dipegang oleh SBY ini akhirnya melahirkan banyak importir nakal yang mencari untung. Bahkan, lahir istilah kartel.

Ketua lembaga pengkajian penelitian dan pengembangan ekonomi (LP3E) Kadin Didik J. Rachbini mengatakan ada dugaan kuat indikasi kartel kedelai Indonesia yang menyebabkan melonjaknya harga kedelai sekarang ini.

Didik menyebut pangkal masalahnya di Kementerian Perdagangan, terutama dalam kaitan pemberian jatah impor. Sebab, Badan urusan Logistik (Bulog) justru mendapat izin mengimpor kedelai tak banyak.

[imagetag]

sumber
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive