SITUS BERITA TERBARU

Sarang Korupsi & 'Copy Paste' BP-Migas, SKK MIGAS Diminta Dibubarkan saja!

Thursday, August 15, 2013
Kurtubi Desak Bubarkan SKK Migas
Rabu (14/8).

JAKARTA (Pos Kota) � Kasus dugaan suap yang menimpa mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kini menjabat Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan lemahnya sistem pengelolaan migas. �Yang salah sistemnya. Karena banyak celah yang bisa menimbulkan praktik suap,� ungkap pengamat perminyakan, Kurtubi, Rabu (14/8).

Karenanya, ia mendesak dibubarkannya SKK Migas. Untuk itu harus dicabut Undang-Undang Migas. Kembalikan pengelolaan migas ke awal, sebagaimana diatur Pasal 33 UUD �45.
Pemberian wewenang ke SSK Migas untuk mengelola migas merupakan salah kaprah. Sebab SSK bukanlah perusahaan.Pemerintah seharusnya menjual minyak sendiri melalui badan usaha milik negara (BUMN) seperti Pertamina. Sehingga uang hasil penjualan bisa langsung masuk ke kas negara. �Jadi Pertamina yang seharusnya menjual minyak, bukan SKK Migas,� tandasnya.

Kalau Pertamina macam-macam, pemerintah bisa mengawasi dengan mudah. Pemerintah bisa mengantung direksinya, karena Pertamina merupakan perusahaan negara. Selain sistem yang salah kaprah, ia melihat pribadi Rudi Rubiandini yang dikenal bersih di lingkungan ITB tergoyah. Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dijemput petugas KPK di rumahnya di Jalan Brawijaya VIII, Jakarta Selatan, Rabu (13/8) dini hari. Rudi Rubiandini diduga menerima suap dari Kernell Oil Pte Ltd, perusahaan trader crude oil asal Singapura. Disebut-sebut dugaan suap pertama diterima pada bulan Ramadan sebesar 300 ribu dolar AS. Kedua menerima 400 ribu dolar AS, seusai Idul Fitri.
http://www.poskotanews.com/2013/08/1...kan-skk-migas/

Salahkah Pembentukan SKK Migas?
Tue, 01-15-2013 20:38 WIB

Rencana pembentukan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) oleh Pemerintah, ditanggapi beberapa pengamat secara skeptis, dan bahkan ada yang mengancam untuk kemungkinan digugat. Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), mengemukakan dalam suatu media elektronik bahwa pembentukan SKK Migas tersebut merupakan tanda niat tidak baik pemerintah dan berlawanan dengan konstitusi. Menurut Marwan, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan agar yang menjalankan kegiatan usaha hulu migas adalah BUMN. Senada dengan Marwan, pengamat energi dari ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, juga mengatakan bahwa pembentukan SKK Migas berindikasi tidak sehat, lantaran membuat SKK Migas menjadi permanen melalui revisi UU Migas. Selain itu menurut Rakhmanto, pembentukan SKK juga akan menimbulkan ketidakpastian yang lebih besar karena pada gilirannya akan kembali digugat karena masih tidak sesuai amanat konstitusi.

Untuk memahami latar belakang Pemerintah dalam pembentukan SKK Migas tersebut dan menyikapinya secara obyektif, kiranya kita perlu mengetahui dan memahami betul isi dari Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012 mengenai putusan pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Sebagaimana telah kita pahami bersama, dalam putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 yang berujung pada pembubaran BP Migas, MK telah mempertimbangkan bahwa dengan dinyatakannya BP Migas bertentangan dengan UUD 1945, maka perlu kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas yang telah dibubarkan sampai terbentuknya aturan yang baru, termasuk kepastian hukum atas segala Kontrak Kerja Sama (KKS) yang telah ditandatangani antara eks BP Migas dengan Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap. Kepastian hukum tersebut dinilai penting oleh MK, karena dengan dinyatakannya BP Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha Migas yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat, sehingga dapat menyebabkan kekacauan dan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945 (lihat pertimbangan [3.20]).

Dari pertimbangan tersebut, terdapat 2 (dua) hal penting yang menjadi pendapat MK, yang juga menjadi landasan pertimbangan dari Amar Putusan MK, yaitu:
a. KKS yang telah ditandatangani antara eks BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa lain sesuai dengan kesepakatan (lihat Pertimbangan [3.21]);
b. Untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas, menurut MK, (sampai terbentuknya aturan yang baru) fungsi dan tugas BP Migas harus dilaksanakan oleh Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan c.q. Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas. Segala hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan MK, dilaksanakan oleh Pemerintah atau BUMN yang ditetapkan oleh Pemerintah (lihat Pertimbangan [3.22]).

Dalam Amar Putusan MK pada 1.1.7, hal ini ditegaskan kembali sebagai berikut: �Fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya Undang-Undang yang baru yang mengatur hal tersebut.

Dari pertimbangan dan Amar Putusan MK tersebut, sangatlah jelas, bahwa MK �memerintahkan� kepada Pemerintah agar sampai adanya UU yang baru, fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah c.q Kementerian terkait. Selain itu, MK juga memberikan opsi kepada Pemerintah, agar hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan MK, dilaksanakan oleh Pemerintah atau BUMN yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hal ini oleh MK, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hulu Migas pasca dibubarkannya BP Migas.

Menindaklanjuti keluarnya Putusan MK tersebut, dan dengan tetap memperhatikan setiap butir dari pertimbangan Putusan MK tersebut, Presiden pada tanggal 13 November 2012, langsung menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Perpres). Perpres tersebut intinya mengatur pengalihan pelaksanaan tugas, fungsi dan organisasi BP Migas kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, serta pemberlakukan segala KKS yang telah ditandatangani BP Migas sampai masa berlakunya berakhir.

Perpres yang kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dengan penerbitan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3135/K/ 08/MPF/2012 sebagai dasar pembentukan Satuan Kerja Sementara (SKS) Pelaksana Kegiatah Hulu Migas tersebut, merupakan langkah cepat Pemerintah, untuk pertama, melaksanakan konstitusi dalam hal ini Putusan MK. Kedua, memberikan kepastian hukum bagi para investor, baik investor dalam negeri maupun asing, dalam penyelenggaraan kegiatan hulu Migas agar tidak terjadi kekacauan dan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki UUD 1945 pasca dibubarkannya BP Migas.

Langkah cepat Pemerintah tersebut terbukti dapat memberikan �ketenangan� bagi para pelaku usaha di bidang Migas, termasuk juga ratusan karyawan BP Migas yang dibubarkan. Sehingga, kekhawatiran terjadinya �chaos� pasca dibubarkannya BP Migas, dapat terhindarkan.

Dalam perjalanannya, di dalam masa transisi yang bersifat sementara ini, beberapa pelaku usaha di bidang Migas mulai mempertanyakan legitimasi dari SKS Migas (yang dibentuk oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) dalam menjalankan penyelenggaraan kegiatan usaha hulu Migas, termasuk dalam melaksanakan KKS. Hal ini mengingat kata �sementara� dalam nomenklatur kelembagaan Satuan Kerja tersebut.

Sehubungan dengan itu, untuk lebih memberikan jaminan di masa transisi kepada pelaku usaha Migas, serta memberikan jaminan bahwa penyelenggaran kegiatan usaha hulu Migas di masa transisi tersebut tetap dilakukan secara akuntabel dan dimaksudkan untuk kemanfaatan rakyat seluas-luasnya, Pemerintah menilai perlu memperkuat kelembagaan satuan kerja tersebut dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip good governance, yaitu dengan membentuk SKK Migas. Arahnya tetap sama, tidak membuat suasana berusaha di bidang Migas menjadi �chaos�.

Pembentukan SKK Migas oleh Pemerintah itu pun, sifatnya juga sementara, sampai adanya aturan yang baru atau revisi UU Migas. Hal ini masih sejalan dengan Putusan MK. Selanjutnya, bagaimana dengan konstruksi baru dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hulu Migas, apakah akan dilakukan oleh BUMN atau badan khusus yang dibentuk untuk itu sebagaimana didengungkan oleh para pengamat, hal tersebut akan tergantung dari isi aturan yang baru atau revisi UU Migas tadi. Amanat dari Putusan MK memang revisi UU Migas, yang pada dasarnya menjadi domain dari parlemen (DPR).

Mengapa Bukan Perpu?
Mengapa Pemerintah tidak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) saja, sebagaimana diusulkan oleh mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris untuk menyelesaikan persoalan ini secara sekaligus? (bisnis.com 14/1). Memang betul, berdasarkan UUD 1945, Presiden dalam keadaan kegentingan yang memaksa, berhak menetapkan Perpu. Tetapi perlu diingat, walaupun Perpu dalam masa persidangan DPR berikutnya harus mendapat persetujuan DPR. Muatan Perpu pada hakekatnya disiapkan sendiri oleh Pemerintah, dan pada saat Perpu ditetapkan oleh Presiden, Perpu tersebut seketika berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Untuk awalnya, memang Perpu ini akan memberikan kesan adanya kepastian hukum dan jaminan yang cukup besar. Namun persoalan besar justru akan timbul, ketika Perpu yang telah ditetapkan oleh Presiden untuk digunakan sebagai landasan hukum penyelenggaraan kegiatan usaha hulum Migas, ditolak atau tidak mendapat persetujuan dari DPR (bisa karena subtansi Perpu yang dinilai tidak sejalan dengan Putusan MK, atau dinilai tidak sejalan dengan konstruksi atau konsep yang dibangun oleh DPR, atau kemungkinan alasan-alasan lainnya). Hal ini tentunya akan menimbulkan ketidakpastian yang lebih besar, serta ketidakpercayaan pelaku usaha Migas dalam berusaha di Indonesia.

Penyiapan revisi UU Migas, tidak bisa hanya dilakukan secara monopoli oleh Pemerintah sendiri dan dilakukan secara terburu-buru. Apalagi di era reformasi ini sangat dirasakan peran DPR cukup dominan dalam mewarnai pengajuan suatu Undang-undang. Selain itu, masukan dan pandangan luas masyarakat mengenai pola dan konstruksi penyelenggaraan kegiatan usaha hulu Migas, termasuk bentuk kelembagaan yang tepat sebagai penyelenggaranya, sangat diperlukan Pemerintah maupun DPR dalam menyusun revisi UU Migas. Putusan MK yang berakibat bubarnya BP Migas, harus dapat menjadi pelajaran bagi Pemerintah dan DPR, dalam membangun konstruksi penyelenggaraan kegiatan usaha hulu Migas yang sejalan dengan UUD 1945.

Oleh karena itu, langkah Pemerintah membentuk satuan kerja yang bersifat sementara untuk melaksanakan kegiatan penyelenggaraan usaha hulu Migas, dan secara paralel dengan itu, Pemerintah juga mempersiapkan revisi UU Migas guna pembahasannya dengan DPR, selayaknya tidak langsung ditanggapi dengan miring. Satuan kerja tersebut hanya sementara, sebatas untuk mengisi kekosongan hukum pasca dibubarkannya BP Migas, dan dibentuk untuk memberikan kepastian hukum serta jaminan di masa transisi bagi para investor dan pelaku usaha di bidang Migas. Pembentukan SKK Migas yang sifatnya sementara itu pun, tetap sejalan dan tidak melawan Putusan MK.

Kita menyadari bahwa tahun 2013 ini sebagai tahun politik. Tapi janganlah keberadaan SKK Migas yang bersifat sementara ini diungkit-ungkit terus untuk kepentingan politik, bahkan menjadi alat untuk bargaining politik. Biarkanlah SKK migas ini bekerja sebagaimana mestinya, dikawal agar tidak menyimpang dari tujuan pembentukannya

Hal yang justru lebih penting sekarang, adalah mendorong dan memberikan masukan yang rasional kepada Pemerintah dan DPR, untuk penyelesaian revisi UU Migas. Dimana isi dari revisi UU tersebut nantinya, diharapkan dapat mewujudkan penyelenggaraan kegiatan usaha hulu Migas yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat, dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal yang selaras dengan nafas dan arah dari Putusan MK.
http://setkab.go.id/en/artikel-7014-.html

Ketua MK Ungkap Penyebab Tertangkapnya Rubiandini
15 Aug 2013 08:50:33

Jakarta, Aktual.co � Penangkapan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, salah satunya dikarenakan enggan melaksanakan putusan MK atas UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas). Hal itu disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, di Jakarta, Rabu malam (14/8). "Memang Rudinya tidak mau dan menentang keputusan MK jadi wajar saja kalau ada seperti itu (penangkapan)," ucapnya. Akil menjelaskan, pada intinya konsep SKK Migas tidak serupa dengan BP Migas yang keberadaaanya inkonstitusional. "Padahal katanya luar biasa si Rudi ini, dosen teladanlah. Ya artinya yang ingin saya katakan profesor boleh, pintar boleh, tapi kalau masih mau terima sogok ya tidak benar," ujarnya.

Lebih lanjut, Ia menuturkan, keberadaan SKK Migas seharusnya tidak seperti BP Migas itu, dimana mereduksi kewenangan negara sehingga bertentangan dengan Pasal UUD 1945 pada intinya, penguasaan sumber daya alam tidak boleh dimonopoli. "Hak pengelolaan sumber daya alam yang disebut dalam Pasal 33 itu harus diturunkan dalam bentuk derajatnya, satu menguasai, dua mengelola, memberi izin dan sebagainya. Yang paling tinggi mengelola dipegang oleh negara," tandasnya.
http://m.aktual.co/hukum/085138ketua...nya-rubiandini

UU Migas, Ada "Celah" Melakukan Korupsi
Kamis, 15/08/2013

Jakarta � Tertangkap tangannya Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini oleh KPK saat menerima suap, semakin menguatkan pertanyaan banyak kalangan akan keberadaan UU Migas. Sejauhmana kekuatan regulasi tersebut dalam menerapkan aturan main yang adil dalam pengelolaan migas di Indonesia? Atau, apakah justru UU itu yang memuluskan langkah untuk melakukan tindak pidana korupsi? Pakar Hukum Tata Negara Margarito mengakui �lemahnya� UU Migas tersebut. Dia mengungkapkan bahwa lemahnya aturan itu karena di dalamnya banyak pasal dan ayat yang menggunakan kata - kata yang kurang jelas,bahkan tersamarkan dan yang lebih parah lagi bahasa yang dipakai dalam UU ini tidak spesifik dan terlalu banyak penggunaan istilah-istilah teknis yang sulit dimengerti banyak orang.

Lalu, di dalam UU Migas terlalu banyak ketentuan yang mendelegasikan Kementerian untuk membuat Peraturan Menteri dan Edaran Dirjen. Sehingga, UU Migas ini memunculkan celah yang bisa dimanfaatkan oknum untuk mengeruk keuntungan pribadi maupun golongan. "Ketidakjelasan dalam UU Migas ini mencakup arah perencanaan, pengelolaan, kebijakan, dan strategi migas nasional yang menjadi visi ke depan. Sehingga dalam banyak aspek, UU Migas cenderung masih memuat ketentuan yang bersifat sangat umum sehingga tidak operasional," jelas Margarito saat di hubungi Neraca, Rabu.

Lebih jauh lagi dia memaparkan, sudah seharusnya pemerintah segera mengkaji kembali pasal demi pasal dalam UU Migas tersebut untuk penyempurnaan ke depan. Ini ditujukan agar UU Migas bisa diimplementasikan dan benar-benar mampu mewujudkan pengelolaan sektor migas yang berkeadilan sosial, sehingga bisa menciptakan iklim investasi yang ramah dan adil. "Kelemahan dari pembuatan UU pengolahan sumber daya alam yang ada di Indonesia adalah banyaknya titipan dari asing yang melobi anggota dewan, dan tidak adanya ideologi yang cemerlang untuk menyejahterakan rakyat dan tidak adanya ketelitian dalam pembuatan UU serta tidak ada rasa nasionalisme yang tinggi," ujarnya.

Masalah utama pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, lanjut Margarito adalah konsentrasi kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria. Baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan koorporasi besar, di tengah puluhan juta rakyat bertanah sempit bahkan tak bertanah. "Undang-undang Migas yang sarat dengan kepentingan asing. UU tersebut juga sangat lemah hingga banyak pemegang kontrak menolak untuk mematuhi isi UU tersebut", imbuh Margarito. Hal senada dikatakan pengamat migas, Kurtubi. Dia mengatakan, sistem tata kelola Migas saat ini yang menjadi sumber utama permasalahan. �Undang-Undang Migas ini melanggar konstitusi dan merugikan negara karena 17 pasal sudah dicabut, namun oleh menteri ESDM, Jero Wacik dipertahankan. Ini yang membuat peluang lebar untuk korupsi�, ujarnya, kemarin.

Pasalnya, menurut dia, pengelolaan migas seharusnya tidak berada di bawah perusahaan atau lembaga SKK migas yang tidak bisa berbisnis sehingga apabila ingin menjual keluar harus melalui tender. Karena seharusnya milik negara dijual oleh perusahaan minyak negara sendiri. �Jadi, kita dirugikan oleh sistemnya�, papar Kurtubi. Untuk permasalahan ini, menurut dia, hanya ada satu solusi yaitu harus ada perubahan dan restorasi tata kelola Migas dengan mengembalikan pengelolaan Migas sesuai Pasal 33 UUD 1945. Bukan mengganti kepengurusan SKK migas. Pasalnya, peluang korupsi itu tentu akan tetap ada. �Bubarkan SKK Migas dan Cabut UU Nomor 22 Tahun 2001�, tandas Kurtubi.

Membuat UU Baru
Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, UU Migas harus dipercepat dalam pembahasannya dikarenakan UU ini sangat mendesak untuk disahkan. Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membubatkan BP Migas dan telah diganti oleh SKK Migas. Pendirian SKK Migas ini menimbulkan pertanyaan dimana seharusnya pemerintah menyerahkan pengelolaan migas melalui lembaga baru setelah keputusan MK itu. �SKK migas ini hanyalah perpanjangan tangan saja dari BP Migas sehingga dibutuhkan lembaga baru. Oleh karenanya, UU Migas perlu disahkan secara cepat untuk menentukan lembaga baru itu. Pengelolaan migas oleh SKK Migas telah melanggar konstitus dikarenakan tidak diatur oleh UU Migas yang baru dan semestinya SKK Migas dibubarkan,� kata Marwan kepada Neraca, Rabu.

Menurut Marwan, keberadaan SKK Migas juga sudah melanggar UU keuangan negara dikarenakan hasil yang diperoleh dari SKK Migas tidak diberikan kepada struktur APBN. Pengelolaan migas dari SKK Migas dilakukan secara sendiri dan tidak melibatkan atas struktur APBN dan hal ini bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. �Pemerintah dan DPR secara sengaja mengulur-ulur waktu atas pembahasan UU migas yang baru dan bisa dismpulkan bahwa mereka mendapatkan keuntungan dari keterlambatan pembahasan UU ini,� ujar Marwan. Marwan juga menuturkan setelah kekalahan pemerintah dalam judicial review UU Migas tempo hari, pemerintah kelihatannya sangat terburu-buru membentuk SKK Migas. Padahal, SKK Migas ini hanyalah wujud dan bentuk lain dari BP Migas yang terlikuidasi sebagai akibat dihapuskannya UU Migas. "Kalau BP Migas dinilai sudah tidak perlu, mengapa pemerintah membentuk SKK Migas lagi? Dan anehnya, hampir semua pejabat BP Migas dimutasi menjadi pejabat SKK Migas," ungkap dia. "Pada saat ini, saya mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan UU Migas sehingga jelas pengelolaannya dan tidak merugikan rakyat. Dengan tidak adanya UU Migas ini maka akan menjadi celah bagi praktek korupsi akan bisa masuk, seperti yang terjadi terhadap Rudi,� tambahnya.
http://www.neraca.co.id/harian/artic...akukan.Korupsi

-------------------------------

Begini aja, kalau dirasakan bahwa keberadaan SKK Migas itu hanya 'copy paste' saja dari 'BP Migas' yang sudah dibubarkan MK dulu, disarankan koalisi masyarakat yang anti-korupsi dan pro-rakyat, silahkan saja mengajukan gugatan kembali ke MK, siapa tahu kemudian MK akan membubarkannya kembali seperti BP Migas dulu. Sepertinya sih kalau melihat gelagatnya, dengan membaca nada bicara yang disampaikan Ketua MK diatas, ada tanda-tanda pihak MK akan membubarkan kembali lembaga SKK Migas itu kalau ada gugatan dari masyarakat kembali.


[imagetag]
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive