SITUS BERITA TERBARU

[Politik] Merpertanyakan Arab Spring

Friday, August 16, 2013
Quote:REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Adakah Arab Spring? Pertanyaan ini layak kita ajukan setelah militer Mesir, atas perintah pemerintah, bertindak brutal: membantai demonstran pro-Mursi. Tentu saja militer dan pemerintah selalu punya dalih. Mereka diprovokasi massa. Mereka membela diri karena diserang massa. Betulkah seperti itu? Apakah dalih semacam itu valid?

Untuk memudahkan membayangkan apa yang terjadi di Mesir saat ini adalah dengan membayangkan fase yang pernah dilalui Indonesia. Kita bisa melihat aksi massa yang terus menerus di masa kepresidenan Habibie maupun Gus Dur. Pada batas tertentu juga terjadi di masa Megawati maupun di awal pemerintahan SBY. Habibie dan Gus Dur demokrat sejati. Mereka tak menindas para demonstran itu. Kita tak membayangkan jika Habibie dan Gus Dur berjiwa kerdil hanya memikirkan kekuasaan, maka mereka bisa memerintahkan polisi atau militer untuk bertindak keras.

Dalam suatu transisi demokrasi memang dibutuhkan pemimpin yang sabar. Saat itu ada euforia publik. Ada pemahaman yang belum utuh. Seolah kebebasan dalam demokrasi bisa berarti kebebasan memaksakan kehendak. Selain itu, puluhan tahun dalam kungkungan otoritarian menciptakan energi potensial yang besar. Seperti air dalam bendungan. Begitu tanggul dijebol akan terjadi air bah yang dahsyat. Proses yang alamiah. Agar arus deras tak merusak maka harus dikelola tetap dalam kanal. Di sinilah pentingnya peran penguasa. Kini, publik di Indonesia makin dewasa dengan proses demokrasi. Kita juga beruntung tak melewati tahapan seperti di Mesir.

Apa yang terjadi di Mesir benar-benar keluar dari hakikat demokrasi. Pertama, pemerintahan yang sah dan hasil pemilu yang demokratis digulingkan begitu saja. Kedua, demonstrasi pendukung pemerintahan yang sah dihadapi dengan laras senjata. Argumen kaum �demokrat� di Mesir bahkan juga diamini kaum liberal keblinger di berbagai negeri termasuk di Indonesia. Ikhwanul Muslimin, kelompok yang memenangkan pemilu, dinilai sebagai penyusup demokrasi. Mereka dituduh bukan demokrat sejati. Mereka hanya akan memperalat demokrasi untuk kemudian mematikan demokrasi itu sendiri. Karena itu mereka layak untuk digulingkan.

Ada tiga masalah terhadap tuduhan itu. Pertama, tuduhan itu menafikan hasil pemilu. Kedua, tuduhan itu masih berupa asumsi tanpa dasar. Ketiga, tuduhan itu mengingkari hakikat demokrasi. Salah satu yang membuat demokrasi adalah sistem terbaik di zaman kini adalah karena dia memungkinkan siapapun bisa bergabung.

Syaratnya satu: menghargai perbedaan tanpa memperhatikan latar belakangnya. Sampai kini, dunia masih limbung menghadapi realitas Mesir. Dunia sedang keblinger. Sikap curiga sedang bertahta. Pembantaian oleh pemerintah Mesir memang mulai mengguncangkan. Tapi belum ada langkah konkret dari dunia.
El-Baradai, salah satu liberalis keblinger, mulai tersadar. Wakil presiden pemerintahan hasil kudeta itu dikabarkan akan mundur dari jabatannya.

Ia menilai pemerintah sudah melenceng. Kita belum tahu bagaimana dengan sikap para pembeo liberalis keblinger di belahan dunia lain, termasuk di Indonesia. Sikap Republika yang tegas menolak kudeta di Mesir dinilai sebagai �nafsu sapi�. Hal itu keluar dari mulut orang yang mengaku sebagai liberalis. Frasa itu jelas gegabah, picik, dan kerdil. Jelas tak memahami hakikat demokrasi. Ia diskriminatif. Ia hendak menegaskan bahwa mendukung Ikhwanul Muslimin di Mesir berarti mendukung PKS. Selain itu juga hendak menarik garis lurus PKS dengan Republika. Sudah pasti salah besar. Istilah �nafsu sapi� hendak ditarik dari kasus Luthfi Hasan Ishaq yang terbelik kasus daging sapi.

Contoh yang saya kemukakan ini memperlihatkan bahwa sebagian orang tak cukup jernih melihat persoalan di Mesir. Perbedaan latar belakang membuat mereka bersikap berbeda. Padahal kasus penggulingan Mursi harus dilihat dari perspektif demokrasi. Sedangkan penembakan oleh militer dan polisi terhadap demonstran pro-Mursi harus dilihat dari perspektif kemanusiaan. Mereka bukan teroris dan mereka bukan kelompok bersenjata. Namun kepicikan dan kekerdilan lebih mengemuka. Jika cara pandang yang diskriminatif, curiga, dan kerdil menjadi katalisator dalam melihat gelombang demokratisasi di dunia Arab, maka kita layak mempertanyakan keabsahan Arab Spring.

Kita bahkan bisa menilai hal itu hanya omong kosong belaka. Gelombang itu hanya alat untuk menata ulang dunia Arab agar sesuai dengan format zaman. Yang penting penguasanya tetap �our local friend�. Ikhwanul Muslimin bukanlah �our local friend� bagi dunia Barat dan para pembeonya di seluruh dunia.
Mari kita tunggu kelanjutan drama ini di Suriah, Irak, Tunisia, Sudan, bahkan mungkin akan ke Turki dan Iran. Kita juga layak merenungi penjatuhan Habibie dan Gus Dur dari perspektif ini. Kedua pemimpin ini sangat independen dalam mengukuhi kepentingan nasional.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/ko...an-arab-spring

Kalo bukan temen yang menang, bukan demokrasi... [imagetag]
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive