SITUS BERITA TERBARU

Menjelang Suksesi: Kritik thd Kelemahan SBY Mulai Diungkit-ungkit Media Nasionalis

Monday, July 22, 2013
[imagetag]
Presiden SBY

SBY tak di garis depan saat harga daging, cabe & jengkol meroket
Senin, 22 Juli 2013 05:03:00

Tahun ini disebut-sebut sebagai tahun politik, sebelum dibukanya pintu gerbang peralihan kekuasaan pada 2014. Satu tahun menjelang berakhirnya kepemimpinannya sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono dihadapkan pada pelbagai persoalan. Tidak hanya menyangkut aspek politik dan penegakan hukum, tapi juga masalah ekonomi.

Seharusnya, tahun ini adalah tahun pembuktian kinerja Kabinet Indonesia Bersatu jilid II untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Tapi kenyataannya, negara tak berdaya menghadapi gempuran persoalan yang datang silih berganti tanpa henti. Tengok saja jeritan masyarakat manakala harga bahan kebutuhan pokok meroket tajam.

Dalam setahun ini, sudah dua kali persoalan bahan pangan membuat SBY marah kepada menteri-menterinya. Pertama, masalah bawang putih yang langka di pasaran. Saat itu, pasokan bawang putih langka di pasaran karena ada ratusan kontainer bawang impor yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak.

Kedua, yang belakangan ini menjadi isu paling hangat. Harga bahan kebutuhan pokok kompak naik gila-gilaan. Harga daging sapi menembus lebih dari Rp 100.000 per kilo gram. Bahkan, harga daging di Indonesia sempat disebut-sebut sebagai yang termahal di dunia.

Tidak hanya daging sapi, harga cabe rawit pun makin pedas. Di beberapa daerah, rata-rata harganya di atas Rp 80.000 per kilo gram. Bahkan, di beberapa kota, harga cabe rawit lebih mahal dari daging sapi.

Tak mau kalah, harga bawang ikut merangkak naik perlahan. Harga bawang saat ini rata-rata di atas Rp 50.000 per kg dan berpotensi menyentuh Rp 80.000 per kg jika terus dibiarkan. Sebelumnya, masyarakat cukup dibuat heboh saat harga jengkol naik tajam. Harga jengkol lebih mahal dari harga daging ayam.

Saat harga melambung tinggi, SBY menggelar rapat. Dalam rapat yang digelar di Lanud Halim Perdanakusuma, SBY marah ke Menteri Pertanian Suswono, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, dan Kepala Bulog Sutarto Alimoeso lantaran dinilai lamban dalam mengatasi persoalan harga-harga pangan yang mahal. Padahal, SBY seharusnya tidak hanya marah-marah ke menteri-menterinya, melainkan langsung mengambil alih penyelesaian 'krisis' pangan karena harga-harga yang melambung tajam.

M. Prakosa, mantan menteri pertanian era Abdurrahman Wahid atau Gus Dur angkat bicara. Menurutnya, seharusnya presiden ada di garda terdepan ketika bicara soal ketahanan dan kedaulatan pangan. Termasuk ketika menghadapi persoalan kenaikan harga bahan pangan yang selalu dialami rakyat setiap tahun. Menyerahkan kebijakan ke menteri terkait tidak akan menyelesaikan persoalan. Justru kenyataannya para menteri akan bertahan dengan kebijakan masing-masing, sehingga tidak ada sinkronisasi kebijakan. "Presiden harus turun tangan soal policy (kebijakan) Karena selalu ada polemik kalau disampaikan menteri. Presiden harus ambil sikap, kalau diserahkan ke masing-masing kementerian, mereka ambil kebijakan berdasar analisa sendiri dan muncul ego sektoral," kata Prakosa kepada merdeka.com, Minggu (21/7).

Dia tidak heran jika Menteri Pertanian Suswono dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan seolah tak kompak manakala menghadapi masalah pangan. Padahal, masalah kenaikan harga bahan pangan yang terjadi karena kekurangan pasokan selalu terjadi setiap tahun. Istilahnya, masalah klasik yang tidak selesai lantaran tidak ada kebijakan lintas sektoral yang tepat.

Prakosa sendiri tidak setuju jika masalah pangan dan lonjakan harga kebutuhan pokok hanya dibebankan ke menteri pertanian yang gagal menggenjot produksi pertanian. Padahal, kata dia, kebijakan sektor perdagangan di era perdagangan bebas juga mempengaruhi. "Pengalaman saya (sebagai menteri pertanian), tidak bisa dibebankan ke menteri pertanian. Semua sektor harus kerja sama ke sektor pertanian. Presiden yang bisa jembatani agar tidak ego sektoral," tegasnya.

Di era kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya, masalah pertanian dan ketahanan pangan langsung berada di bawah koordinasi presiden. Kebijakan strategis ketika menghadapi persoalan pangan tidak diserahkan ke menteri terkait. "Zaman dulu ditangani langsung presiden. Pimpin sidang terbatas menteri, diputuskan presiden dan dilaksanakan. Menteri hanya pelaksana harian," katanya.

Anggota Komisi IV DPR melihat, target swasembada pangan yang ditargetkan pemerintahan SBY bisa diwujudkan pada 2014, nampaknya jauh panggang dari api. "2014 tidak akan mungkin swasembada pangan. Mungkin baru terwujud 2019. Itu pun kalau pemerintah mulai serius dari sekarang," ucapnya.
http://www.merdeka.com/peristiwa/sby...l-meroket.html

Ekonomi Indonesia masih tumbuh di atas tumpukan utang
Senin, 22 Juli 2013 05:03:00

Setiap tahun ekonomi Indonesia tumbuh dengan meyakinkan. Sayangnya, pertumbuhan itu masih terjadi di atas tumpukan utang. Wajar saja jika itu terjadi, mengingat pemerintah belum mampu untuk menggali habis potensi penerimaan perpajakan. Sementara, di sisi lain, pengeluaran belanja negara semakin besar. Alhasil, pemerintah terpaksa masih harus berutang untuk menambal defisit anggaran.

Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang masih di atas 20 persen dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, rasio utang Indonesia pernah mencapai 56,6 persen terhadap PDB pada 2004. Untungnya, rasio utang tersebut terus menurun hingga menyentuh 24,1 persen PDB pada 2012. Mengapa pemerintah, seperti Indonesia, cenderung berutang untuk membiayai anggaran pendapatan dan belanja negaranya?

Salah satu alasannya adalah kontribusi rakyat, sebagai pemilik saham, melalui pembayaran pajak terhadap negara terbilang kecil. Dengan kata lain, makin besar pajak yang dibayar rakyat, semakin rendah ketergantungan negara terhadap utang. Sejak krisis ekonomi global akhir 2008, rasio pajak terhadap PDB nasional belum pernah menyentuh 13 persen. Tahun ini, rasio pajak ditargetkan mencapai 12,86 persen terhadap PDB.

Konsekuensi dari pilihan itu terangkum dalam perumpamaan yang terdapat dalam preposisi hasil buah pikir dua penerima Nobel Ekonomi, Franco Modigliani dan Merton Miller. Keduanya mengingatkan tentang risiko bagi perusahaan yang terus-menerus menerbitkan utang baru. Semakin besar utang yang diambil, makin tinggi ongkos yang harus dibayar. Salah satu ongkos yang harus ditanggung adalah setiap laba yang diterima perusahaan harus terlebih dulu digunakan untuk membayar kewajiban kepada pemegang obligasi atau kreditor, baru selanjutnya untuk dividen pemegang saham. Merujuk itu, jika pemerintah makin banyak berutang, maka semakin besar penerimaan negara yang digunakan untuk membayar bunga dan pokok utang. Sisanya baru untuk kebutuhan lain, semisal membangun infrastruktur, kesejahteraan rakyat, dan sebagainya.
http://www.merdeka.com/uang/ekonomi-...kan-utang.html

LSI : 70% Publik Kecewa Kepada SBY � Ibas
Tue, May 28, 3:14 pm

JAKARTA,BARATAMEDIA-Sebelumnya diberitakan, sebanyak 70 persen responden kecewa dan tidak puas dengan kepemimpinan Presiden SBY. Demikian hasil survei LSI yang dilakukan pada 21-23 Mei 2013. �Terlihat dari keputusan SBY yang ragu-ragu dalam memutuskan, dalam banyak kesempatan SBY terlihat ragu-ragu dalam menegakkan konstitusi,� ujar peneliti LSI (Lingkaran Survei Indonesia), Ardian Sopa, kemarin.(27/05)
Kata Ardian, survei tersebut dilakukan untuk memperingati 15 tahun reformasi sejak 1998. �Reformasi dianggap gagal melahirkan pemimpin nasional yang kuat,� tuturnya.

Dikatakannya, masyarakat yang menyatakan percaya akan kepemimpinan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat (PD) dari tahun ke tahun pun semakin menurun. �Penilaian terhadap aspek kepemimpinan juga terlihat dari survei di mana hanya 30,18 persen publik yang puas dengan kepemimpinan SBY,� pungkasnya. Survei menggunakan metode wawancara melibatkan 1.200 responden berusia di atas 17 tahun. Sementara itu, Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf mengatakan, adanya hubungan keluarga antara Ketua Umum SBY dan Sekjen Ibas bukanlah sebuah dinasti politik, apalagi bila dikaitkan sebagai KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). �Di dalam politik itu bukan KKN. Mas Ibas kan terpilih pada periode lama. Pak SBY terpilih secara demokratis,� ungkapnya.

Menanggapi hal itu, Ketua Fraksi Partai Demokrat itu berharap agar semua pihak bisa menghargai pilihan atau langkah yang dilakukan partainya. Nurhayati juga mengajak publik untuk tidak mengkhawatirkan posisi Presiden SBY karena bisa dipastikan tidak akan disibukkan dengan urusan partai.
Namun demikian, faktanya, terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat
http://www.baratamedia.com/read/2013...epada-sby-ibas

Demokrat becermin pada politik dinasti ala Bung Karno
Senin, 1 April 2013 14:06:10

Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi ketua umum Partai Demokrat dalam Kongres Luar Biasa (KLB) akhir pekan kemarin, tidak serta merta membuat partai berlambang bintang Mercy ini lepas dari masalah. Kali ini, Demokrat dituding telah melakukan pelanggaran terhadap AD/ART internalnya sendiri. Selain itu, posisi Sekretaris Jendral (Sekjen) yang dijabat oleh putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dinilai tidak elok dan menjadikan Demokrat partai keluarga Cikeas.

Wakil Sekretaris Jendral Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf menampik tudingan itu. Menurutnya, Partai Demokrat adalah partai modern yang tidak menganut paham partai dinasti. Dia mengatakan, persoalan Ibas yang masih menjabat sebagai seorang Sekjen bukan berarti Demokrat tidak profesional atau melakukan praktik Nepotisme politik. "Kalau orang yang tidak profesional tidak diangkat, ditempatkan, didudukkan itu adalah KKN tapi untuk politik karena politik itu adalah darah, kemudian kita tahu bahwa pak SBY tidak diangkat begitu saja man Ibas pun tidak diangkat begitu saja! Tapi berdasarkan mekanisme yang ada dan mekanismenya adalah demokrasi," imbuhnya.
http://m.merdeka.com/politik/demokra...ung-karno.html

Indonesia Bak Dikendali Autopilot, Akibat SBY Fokus Urusi Demokrat
9 Feb 2013 16:43:05

Jakarta, Aktual.co � Semakin SBY fokus mengurusi partainya Partai Demokrat, semakin benar juga anggapan banyak orang bahwa Indonesia adalah negera tanpa pemimpin. "Keadaan bangsa ini berjalan bak autopilot," ujar Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Masardi, di Jakarta, Sabtu (9/2). Adhie merasa heran, mengapa kalangan parlemen justru hanya berdiam diri dan tidak membuat keputusan dengan kebijakan Presiden SBY yang akan lebih memfokuskan penguatan Partai menuju perbaikan citra Partai Demokrat yang saat ini elektabilitasnya terus melorot,

Padahal tugas utama SBY, sesuai amanah konstitusi adalah bertindak selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan bagi 200juta lebih rakyat Indonesia, bukan malah asyik dengan posisi sebagai Ketua Dewan Pembina atau Ketua Majelis Tinggi suatu partai meski partai itu didukung belasan juta rakyat. "Saya heran kenapa parlemen terus membiarkan negeri ini dipimpin oleh (SBY) orang yang sudah cacat secara moral dan politik," kata Adhie Masardi..

Menurut Adhie, SBY sebagai seorang presiden kepala pemerintahan yang sekaligus menjadi kepala negara, terbukti telah gagal membawa negara menuju kemakmuran dan kesejahteraan sosial. Bahkan juga tidak bisa menjadi panutan. karena tidak memilliki suri ketauladanan. Tak hanya itu, SBY juga gagal sebagai pembina partai dengan banyaknya petinggi partai yang terjerat skandal korupsi.
http://www.aktual.co/politik/164630i...urusi-demokrat

Try Sutrisno:
Diplomasi Indonesia Era SBY-Boediono Atas Malaysia sangat Lemah
Wed, 25/08/2010 - 22:05 WIB

Jakarta, RIMANEWS. Diplomasi Indonesia atas Malaysia dinilai sangat lemah. karenanya, Malaysia sering sekali melecehkan bahkan tak jarang menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia. Hal tersebut disampaikan Try Soetrisno usai pertemuan antara pimpinan MPR dan Forum Komunikasi Purnawirawan TNI/Polri di Gedung MPR, Jakarta Pusat, Rabu (25/8). Menurut Mantan Wakil Presiden RI dan Mantan Panglima TNI itu, Pemerintah Indonesia harus bersikap lebih tegas dan berani terhadap Malaysia. hal ini penting agar berbagai pelecehan dan penghinaan terhadap bangsa Indonesia tidak terjadi lagi.
http://www.rimanews.com/node/2313

Diplomasi Soal Papua Lemah, RI Kian Tak Berwibawa
Senin, 6 Mei 2013 | 20:12 WIB

inilah..com, Jakarta - Pelecehan terhadap kedaulatan Indonesia kerap terjadi. Kini, soal perwakilan kantor Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Oxford Inggris. Berdalih diplomasi soft power, pemerintahan RI kian tak berwibawa. Waki Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengharapkan seharusnya pemerintah melakukan protes keras secara resmi kepada perdana menteri Inggris dan Ratu Inggris. "Karena Ingris sudah terlalu jauh menyampuri urusan dalamm negeri kita," ujar Priyo kepada wartawan di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/5/2013). Priyo mengatakan pemerintah harus memberitahu Duta Besar Inggris di Jakarta bahwa Indonesia bisa juga melakukan hal serupa kepada Inggris. "Kita juga bisa melakukan hal yang sama kepada mereka," tambah Priyo. Ia tidak sepakat jika Indonesia melakukan hubungan diplomatik kepada Inggris. Ia menuding, Inggris telah melakukan intervensi terhadap kedaulatan Indonesia. Sikap pemerintah Inggris membuat tidak nyaman masyarakat Indonesia. "Terus terang kami tidak senang dan nyaman terhadap pernyataan Inggris yang katanya bersahabat itu," tegas Priyo.

Sementara terpisah Ketua Forum Komunikasi Muslim Penggunungan Tengah Papua Ismail Aso menilai kantor perwakilan OPM di Oxford merupakan gunung es dari perlakuan Jakarta terhadap Papua. "Pemerintah abai dengan meninggalkan pola-pola dialog dalam menyelesaikan persoalan di Papua," ujar Ismail kepada inilah..com saat dihubungi di Wamena, Papua, Senin (6/5/2013). Lebih dari itu, kata Ismail menilai, diplomasi internasional ala pemerintahan SBY berjalan lemah. "SBY cenderung lemah dalam melakukan diplomasi internasional," sebut Ismail yang juga bekas aktivis Forum Mahasiswa Syariah se-Indonesia (Formasi) itu.

Ia membandingkan pola diplomasi era Presiden KH Abdurrahman Wahid dengan Presiden SBY khususnya dalam merespons persoalan Papua. Menurut Ismail, Gus Dur secara terbuka memberi ruang dialog kepada masyarakat Papua namun tegas terhadap upaya intervensi dari dunia internasional. "SBY sangat lemah. Persoalan Papua tidak hanya sekadar pendekatan kesejahteraan semata. Tapi dialog atara Jakarta dan Papua juga penting dilakukan," tandas Ismail. Sebagaimana maklum, akhir April 2013 lalu, OPM mendirikan kantor perwakilan di Oxford dipimpin Benny Wenda yang dikenal vokal di Eropa. Sebelumnya, pada Oktober 2008, Benny Wenda juga menginisiasi pembentukan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP).
http://nasional.inilah..com/read/det...a#.UexyXtLfCfc

Pemerintahan Sby Dinilai Pro Neoliberalisme
Maros, 11 maret 2011

Puluhan massa dari berbagai organisasi, yang tergabung dalam gerakan rakyat untuk kemerdekaan nasional, graknas, berunjuk rasa di fly over. Mereka menilai pemerintahan sby � boediono, pro imprealisme serta neoliberalisme, yang hanya menguntungkan pihak asing serta pihak tertentu. Mereka juga mengangap, banyak kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat seperti, rencana kenaikan bbm, kenaikan harga sembako, serta banyaknya pelanggran ham yang terjadi, tanpa adanya penyelesaian.
http://www.makassartv.co.id/index.ph...&Itemid=56

Sebelum Revisi Kontrak Karya Asing, Amandemen Dulu UU Pro Neoliberalisme
Rabu, 01 Juni 2011 , 22:45:00 WIB

RMOL. Ada yang berbeda dari pernyataan Presiden SBY dalam pidato Perayaan Hari Ulang Tahun Pancasila yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, siang tadi. SBY dengan tegas mengatakan harus ada revisi kontrak karya dengan pihak asing. Ini dilakukan agar kekayaan negara masuk ke kantong sendiri.

Namun, kalau SBY benar-benar anti neoliberalisme, harusnya ia bertindak cepat. Jangan dulu merenegosiasi kontrak karya dengan perusahaan asing, tapi lakukan dulu amandemen UU yang berbau neoliberalisme. "Yang jelas kalau SBY mau jadi nasionalis sejati, maka dia harus ambil tindakan secepatnya. Kalau bisa, besok, ia membentuk tim yang mengevaluasi beberapa UU neoliberalisme, misal UU Penanaman Modal Asing, UU Air, UU Perburuhan dan UU Migas," ujar Direktur Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan saat berbincang dengan Rakyat Merdeka Online, Rabu malam (1/6)

Lalu apakah tindakan SBY ini dilakukan karena ia mulai ditinggalkan asing, kemudian pernyataan ini dijadikan alat untuk menaikkan nilai tawarnya? "Bisa saja, karena memang ada indikasinya dari artikel Wall Street Journal, The Age, Sydney Morning Herald (yang menghujatnya)," ujarnya lagi. Tapi, itu tak jadi urusan, kata Syahganda yang jadi urusan adalah bagaimana kebijakan-kebijakan yang ada harus bersih dari kepentingan asing, demi menyejahterakan rakyat secara umum
http://www.rmol.co/read/2011/06/01/2...eoliberalisme-

Inilah Fakta & Data Neoliberalisme SBY- Boediono
Thu, 16/06/2011 - 00:12 WIB

Pembangunan ekonomi era SBY-Bediono kian melenceng dari konstitusi. Neoliberalisme hari demi hari kian menggerus laju perekonomian bangsa dan rakyat miskin makin dimiskinkan oleh kebijakan ekonomi neoliberal rezim ini. Berikut adalah sejumlah data yang berhasil penulis himpun dari berbagai sumber.

Di masa Raffles (1811) pemilik modal swasta hanya boleh menguasai lahan maksimal 45 tahun; di masa Hindia Belanda (1870) hanya boleh menguasai lahan maksimal selama 75 tahun; dan di masa Susilo Bambang Yudhoyono (UU 25/2007) pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan selama 95 tahun. Teritorial Indonesia (tanah dan laut) telah dibagi dalam bentuk KK Migas, KK Pertambangan, HGU Perkebunan, dan HPH Hutan. Total 175 juta hektar (93% luas daratan Indonesia) milik pemodal swasta/asing(Sumber : Salamuddin Daeng(SD), Insititut Global Justice (IGJ)

Sebanyak 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara, 50% lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. Hasilnya 90% dikirim dan dinikmati oleh negara-negara maju. Sementara China tidak mengekspor batubara, Sekarang kita harus bertarung di pasar bebas dagang dengan China Asean. Ibarat petinju kelas bulu diadu dengan petinju kelas
NEXT ....
http://www.rimanews.com/read/2011061...e-sby-boediono

---------------------------------

Kayaknya sudah menjadi seperti "kutukan" aja, bahwa setiap akan ada suksesi di negeri Nusantara ini, kan terjadi gonjang-ganjing dimana-mana. bahkan, nasib sang Presiden yang akan di suksesi pun, biasanya tidak enak.

[imagetag]

Lalu apa yang akan terjadi dengan SBY selanjutnya?
Tak baiklah kalau lengsernya dia tahun depan itu, negeri ini kembali gonjang-ganjing lagi seperti masa-masa lalu, yang biasanya mengorbankan sang Presiden sebagai 'tumbal' perubahan yang akan terjadi!



[imagetag] [imagetag] [imagetag]
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive