SITUS BERITA TERBARU

Bobroknya Birokrasi Jalur Merah Bea Cukai di Pelabuhan

Friday, July 12, 2013
Quote:[imagetag]

Jakarta - PT Pelindo (Persero) mengungkapkan tingginya proses bongkar muat barang (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok disebabkan banyaknya kontainer yang masuk Jalur Merah (JM) di otoritas kepabeanan.
Dwelling time merupakan total waktu yang diperlukan sejak kontainer keluar dari kapal yang datang hingga keluar dari pintu area pelabuhan.

Sebenarnya seperti apa mekanisme di Jalur Merah tersebut? Apa masalahnya?

Ekonom Dradjad Wibowo ternyata telah melakukan investigasi di Jalur Merah tersebut. Lewat beberapa aduan, ia mengungkapkan bobroknya birokrasi Bea Cukai di Jalur Merah pada beberapa pelabuhan Indonesia.

"Saya bahkan mendapatkan satu laporan pengaduan dari PT HMI yang dibuat tanggal 7 Juni 2013," jelas Dradjad kepada detikFinance, Selasa (9/7/2013).

Dradjad memaparkan secara ringkas kasusnya tersebut:
PT HMI mengimpor 295 bundles steel section with boron. Kewajiban pabean sudah diselesaikan tanggal 6 Juni 2011
DJBC cq KPU BC Tanjung Priok menetapkan tarif dan atau nilai pabean yang mengakibatkan PT HMI harus membayar tagihan kekurangan BM (Bea Masuk) dan PDRI (Pajak Dalam Rangka Impor) sebesar Rp 1,58 miliar. Karena PT HMI keberatan, mereka mengajukan banding ke pengadilan pajak. Pengadilan mengabulkan seluruhnya permohonan banding PT HMI pada 30 April 2013.
Meski sudah kalah di pengadilan, DJBC tetap belum mengizinkan pengeluaran barang. Akibatnya barang tertahan selama 730 hari hingga saat ini.
"Inkompetensi dan arogansi birokrasi seperti ini jelas tidak bisa ditolerir. Ini menjadi contoh khas bagaimana birokrasi Kemenkeu membunuh pelaku usaha. Ini bukan kasus pertama, dan tampaknya bukan yang terakhir Menkeu tidak menghentikan arogansi aparatnya. Seharusnya, aparat seperti ini bisa dipidana badan karena kezholimannya," tutur Dradjad.

Yang lebih ironis, sambung Dradjad, Bea Cukai mempunyai proporsi Jalur Merah yang luar biasa besarnya. Umumnya di seluruh dunia, proporsi Jalur Merah itu sekitar 5% dari total dokumen dan atau nilai impor barang.

"Memang bagi beberapa negara dengan tingkat ketidakpatuhan tinggi, proporsi tersebut lebih besar. Wajar, karena BC negara tersebut harus lebih prudent. Namun Indonesia mempunyai proporsi Jalur Merah yang amat sangat berlebihan," ungkapnya.

Sebagai contoh, pada tahun 2012 KPU (Kantor Pelayanan Utama) BC Tanjung Priok menerima dokumen PIB (Pemberitahuan Impor Barang) sebanyak 526.275 dokumen dengan nilai impor US$ 66,4 miliar. Jumlah kontainernya 1,69 juta kontainer, atau sekitar 141 ribu kontainer per bulan.

Ternyata proporsi Jalur Merah di KPU BC Tanjung Priok mencapai sekitar 22 persen. Ini berarti 4 kali lipat dari standar normal di dunia. Sebenarnya kalau proporsi Jalur Merah 8-10% mungkin bisa diterima mengingat risiko ketidakpatuhan di Indonesia.

"Hebatnya lagi, selama periode Januari sampai Juni 2013, JM di KPU BC Tanjung Priok bahkan naik menjadi hampir 26 persen dari 252.349 dokumen PIB," ungkapnya.

Bagaimana dengan Kantor BC yang lain? Dradjad justru mengungkapkan lebih parah. Di Tanjung Perak proporsi Jalur Merah mencapai 26 persen pada tahun 2012, dan 32 persen pada semester pertama 2013.

Di Tanjung Emas, proporsi Jalur Merah pada tahun 2012 mencapai 48 persen, yang naik menjadi 56 persen pada semester pertama 2013.

"Kita bisa melihat pada tahun 2013 ini DJBC justru semakin memperbesar Jalur Merah, yang sebenarnya sudah gila-gilaan proporsinya. DJBC terlihat semakin birokratis, semakin menumpuk kekuasaan. Di sisi lain, mereka tidak mempunyai aparat yg jumlahnya memadai untuk memeriksa semua itu. Belum lagi DJBC tidak memberi pelayanan 24x7 (24 jam, 7 hari)," paparnya.

"Itu sebabnya terjadi penumpukan kontainer yang luar biasa di berbagai pelabuhan. Itu sebabnya rata-rata Dwelling Time, menjadi lama sekali. Jika proporsi Jalur Merah diturunkan menjadi 8-10 persen, saya yakin Dwelling Time dan penumpukan kontainer bisa turun drastis," imbuh Dradjad.

"Saya tidak menginginkan kita kembali mengamputasi DJBC seperti jaman Orba dulu dan mengontrak lembaga asing. Namun sudah saatnya pemerintah merombak total DJBC mulai dari jajaran paling bawah hingga ke Dirjen-nya. Faktanya, DJBC saat ini sangat buruk dan lambat pelayanannya, menjadi salah satu bottleneck bagi lalu lintas barang, serta menyebabkan ekonomi biaya tinggi, inflasi, pelemahan daya saing dan kerusakan dunia usaha," tambah Dradjad lagi.


(dru/dnl)

Sumber
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive