SITUS BERITA TERBARU

Alumni Afghan: Eks Teroris Pasang Tarif 12 Juta? Itu Fitnah!!

Monday, July 1, 2013
[imagetag]
Berita seputar eks teroris di situs inilah..com (27/6/20130 yang mengklaim bahwa eks teroris pasang tarif 12 juta untuk menjadi nara sumber, ternyata mendapat tanggapan keras dari Ketua Forum Komunikasi Alumni Afghan Indonesia (FKAAI), Ahmad Sajuli.

Berikut ini adalah pernyataan lengkap ketua FKAAI.



Pada tanggal 27 Juni 2013, beberapa ikhwan menelpon saya tentang sebuah berita di salah satu situs berita lokal. Menurut mereka, berita itu menyakitkan dan sangat tidak pantas. Judulnya, �Jadi Narasumber, Eks Teroris Pasang Tarif 12 Juta.� Wah, melihat judulnya saja saya sudah pening, apalagi isinya. Ternyata benar, isinya bikin saya mengelus dada dan sakit hati. Kenapa?. Karena yang dikutip sang wartawan adalah pernyataan yang tidak bertanggung jawab dari orang yang saya kenal, orang yang selama ini saya anggap sebagai teman dan banyak membantu kawan-kawan saya, para eks teroris untuk bisa kembali ke masyarakat. Saya tak habis pikir.



Label eks teroris yang kami sandang sekarang, memang secara definitif tidak pernah jelas. Mudahnya, eks teroris adalah tahanan, narapidana dan eks narapidana yang tersangkut kasus terorisme dan sudah menyadari kesalahannya. Sejak bom Bali I hingga kini, eks teroris bermunculan dan menghiasi layar kaca. Hampir semuanya merupakan hasil kesadaran dari dirinya masing-masing maupun dorongan kolektif dari kawan-kawan seperjuangannya untuk memperbaiki kesalahan pemahaman dan tindak mereka di masa lalu serta kesadaran membantu pemerintah demi membuat Indonesia damai. Untuk hal itu, saya garis bawahi dengan tinta tebal, bukanlah hal mudah.



Sebagai gambaran, eks teroris pada masa lalunya, biasa hidup dalam bayang, gerakan bawah tanah. Jangankan bicara di televisi, bertemu dengan tetangga saja bila dianggap membahayakan gerakan, akan dihindari. Eks teroris juga hidup dalam kesederhanaan, selain karena pola hidup itu yang dipilihnya sebagai bagian dari pendekatan diri kepada semangat jihad, masa yang mereka habiskan didalam jeruji penjara juga tidak menghasilkan nafkah untuk keluarganya. Eks teroris mengusung ukhuwah tinggi diantara para ikhwan mereka, hal sama akan dilakukan kepada orang yang dipercayanya. Maka, menjauh dari lingkungan itu bisa berarti putus hubungan, putus silaturahim. Jadi, bukanlah perkara mudah bagi kami untuk kemudian mampu bicara di media, bicara di publik, lebih lagi bicara kepada aparat keamanan tentang apa yang kami lakukan dulu. Tak jarang, bila itu terjadi, cemoohan dan cacian dari kawan-kawan kami sendiri menjadi beban berat yang harus ditanggung. Belum lagi keraguan masyarakat akan komitmen kami untuk sadar.



Namun demikian, kami tetap ada dan terus berjalan. Kami melakukan sosialisasi pencegahan terorisme dimanapun kami bisa, baik itu dalam lingkup pengajian maupun di lingkungan sekitar. Atau bisa lebih luas bila kami mendapat undangan bicara di kegiatan sekolah, kampus, ormas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah, aparat keamanan hingga media massa. Bahkan secara swadaya, kami juga melakukan pembinaan untuk kawan-kawan kami yang belum tersadarkan didalam penjara. Apakah kami meminta honor bertarif untuk itu? Tidak!. Kalaupun kami menerima uang dari sebuah kegiatan, sudah menjadi kelaziman bila menjadi pembicara akan digantikan uang transport dan akomodasinya sebagai penghargaan atas waktu dan pengetahuannya. Kami rasa itu wajar saja.



Jangan sangka bila semua perjalanan kami sebagai pembicara atau narasumber lancar-lancar saja. Kami juga pernah tak dibayar, dilanggar dari perjanjian hingga tak dianggap sama sekali. Tapi kami legowo. Kami berusaha berbaik sangka bahwa ini adalah proses untuk kembali menjadi bagian dari masyarakat. Kami sadar bahwa langkah kami jauh dari sempurna. Tapi keberpihakan kami kepada masyarakat untuk tidak berbuat kekerasan dan berani maju untuk menghadang perluasan radikalisasi atas nama agama di negara ini seyogyanya juga dihitung sebagai poin penting. Kami tidak meminta penghargaan, tapi kami berharap dimanusiakan.



Dari rangkaian perjalanan untuk sadar, kami banyak ditemui banyak orang, dari tokoh, cendikia, ulama hingga rakyat biasa. Sebagian dari mereka kini menjadi teman bahkan sahabat, satu diantaranya adalah Zora A. Wongkaren atau Zora Sukabdi. Bersamanya, kami pernah mengikuti serangkaian kegiatan dalam rangka sosialisasi untuk masyarakat umum maupun rehabilitasi para narapidana terorisme. Perbedaan pendapat hingga perdebatan kami lalui, tapi semuanya bisa diatasi, tak ada masalah berarti. Paling tidak hingga 27 Juni 2013, ketika pernyataannya dimuat di situs inilah..com.



Satu hal yang menyakitkan buat kami adalah pernyataannya dalam artikel itu yang menyebutkan bahwa kami lebih mengutamakan uang daripada menyerukan pencegahan. Secara spesifik dia pun menyebut angka 12 juta sebagai tarif yang diminta eks teroris sebagai narasumber. Darimana dia bisa berpikir matematis seperti itu?. Tak adakah perhitungan psikologis yang dia perhitungkan mengingat dia adalah seorang psikolog yang khusus menangani para teroris?. Tak adakah simpati dan empati ketimbang emosi bagi orang-orang yang telah menjadi obyek penelitiannya selama ini?. Tak sadarkah dia bahwa pernyataannya menggeneralisir secara keseluruhan para eks teroris yang dengan sukarela telah mengambil resiko untuk muncul ke permukaan?.



Saya sedang tidak menebak-nebak apa yang kini dipikirkannya. Tapi yang jelas, Zora terganggu dengan pernyataannya sendiri. Buktinya, artikel yang mengutip pernyataannya dicabut sehari setelah tayang. Sejak tanggal 28 Juni 2013, artikel itu hanya bisa dilihat judulnya saja dalam lacakan google. Saya secara pribadi sudah menelponnya untuk meminta penjelasan, tapi Zora tidak menjawabnya.



Ada apa dengan Zora?. Selip lidah atau memang itu pendapat jujurnya?. Berita pelintiran atau memang apa adanya?. Kami tidak tahu. Yang pasti, hati kami tergores. Bila seorang Zora, psikolog terorisme, orang yang kenal dekat dengan para eks teroris begitu mudah menilai dan melontarkan pendapat buruk, bagaimana dengan orang lain?. Apa sebenarnya kami dibenaknya, atau dibenak masyarakat?.



Berbicara mewakili para eks teroris, saya mengkhawatirkan bila kasus ini akan memunculkan ketidakpercayaan dikalangan eks teroris kepada Zora secara pribadi maupun tokoh serta lembaga yang mengikutsertakan para eks teroris dalam kegiatannya. Untuk itu, dengan niat baik, kami meminta Zora untuk mengklarifikasi pernyataannya di situs inilah..com dan meminta maaf lewat media yang telah melansir pernyataannya itu. Bila dalam klarifikasinya dirasakan butuh untuk menunjuk hidung eks teroris yang dianggapnya pasang tarif, kami justru menunggu dan menantang keberanian Zora untuk melakukannya. Kami ingin tahu siapa orangnya.



Kami tidak ingin di adu domba, dipecah belah. Menurut kami kasus ini menguntungkan pihak lain yang ingin mendiskreditkan para eks teroris dan menganulir usaha kami untuk bangsa ini. Berusaha memunculkan dendam lama untuk memprovokasi kemarahan agar kami kembali berbuat salah. Tapi, Insya Allah kami sudah belajar. Jangan memadamkan api dengan api, jangan lawan fitnah dengan fitnah. Wallahu�alam.



Ahmad Sajuli

Ketua Forum Komunikasi Alumni Afghan Indonesia (FKAAI)
Sumber: http://radicalismstudies.org/terrori...tu-fitnah.html

Komentar: Sepertinya ada yang mau menyudutkan para Mantan teroris ?
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive